Koran Sulindo – Bulan September tampaknya akan dikenang menjadi bulan kelabu yang menyisakan “noda hitam” dalam perjalanan sejarah negeri ini. Selain peristiwa 30 September 1965, kita juga mengenal Peristiwa Madiun 1948 yang dikenal sebagai “Madiun Affair”. Selain menyisakan duka yang mendalam, penguasa selalu menciptakan kebohongan-kebohongan untuk menutupi kebenaran sejarah kedua peristiwa itu.
Itu sebabnya, sebagian besar masyarakat kita kini mengidap “penyakit” anti-komunis yang mendalam. Peristiwa Madiun dijadikan sebagai dasar untuk membenci dan membenarkan pemberangusan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan simpatisannya pada 1965/1966. Kendati tidak pernah terungkap dengan jelas, masyarakat kadung percaya pada propaganda rezim fasis militer Soeharto: PKI memberontak dan membunuhi ulama dan santri di 1948. Benarkah?
Selain Soeharto, peneliti dan sejarawan jarang memotret peran Hatta, Wakil Presiden I Republik Indonesia (RI) dalam tragedi yang merenggut nyawa anak bangsa itu. Mereka hanya tahu Peristiwa Madiun merupakan pemberontakan PKI melalui lewat Front Demokrasi Rakyat (FDR) berkisar 18 September hingga 21 September 1948. Dalam tempo singkat, pemerintah mempropagandakan PKI telah membunuh pejabat-pejabat negara baik sipil, militer, tokoh masyarakat, tokoh politik, tokoh pendidikan maupun tokoh agama.
Namun, berangkat dari pidato Soekarno pada 19 September 1948 sebagaimana dikutip DN Aidit dalam bukunya Aidit Menggugat Peristiwa Madiun mengatakan, “Bahwa peristiwa Solo dan peristiwa Madiun tidak berdiri sendiri, melainkan adalah suatu rangkaian tindakan.” Dari pidato ini, Aidit meyakini Peristiwa Madiun adalah provokasi pemerintah Hatta-Sukiman-Natsir. Provokasi yang berkaitan dengan program pemerintah Hatta soal Reorganisasi dan Rasionalisasi (Re-Ra) untuk membentuk tentara “profesional”.
Kisah itu bermula ketika Amir Sjarifuddin disingkirkan dari posisinya sebagai Perdana Menteri. Itu karena Persetujuan Renville dimana Amir sebagai wakil pemerintah menyetujui perundingan tersebut yang dianggap sangat merugikan Republik yang masih berumur sekitar dua tahun itu. Menurut Martin Hutagalung, penulis Amir Sjarifuddin: Seorang Komunis Sekaligus Kristen Taat bagian I yang dimuat Islam Bergerak pada Agustus 2016 menyebutkan, sebelum perundingan, Amir merombak kabinetnya.
Selanjutnya, pada 8 Desember 1947, Amir memimpin delegasi Indonesia berunding dengan Belanda. Delegasi Belanda dalam perundingan mengajukan penawaran yang sangat memberatkan Republik yang memuat 12 Prinsip Dasar yang intinya menyatakan: Wilayah RI hanya terdiri atas Yogyakarta, sebagian Jawa Tengah dan sebagian Jawa Timur. Kedaulatan akan diakui jika RI bersedia menjadi bagian negara Republik Indonesia Serikat (RIS), yang membentuk unie verband (persemakmuran) di bawah Kerajaan Belanda.
Tentu saja Amir menolak tawaran itu. Perundingan buntu. Frank Graham wakil Komisi Tiga Negara (KTN) dari Amerika Serikat (AS), tulis Martin, membujuk Amir dengan mengajukan 6 Pokok Tambahan. Salah satunya berbunyi akan mengadakan plebisit untuk menentukan apakah rakyat Indonesia akan memilih Republik Indonesia atau RIS. Hasil perundingan itu lalu dibawa Amir dalam rapat kabinet pada 3 hingga 5 Januari 1948. Koalisi kabinet Amir mendukungnya agar menandatangani 12 Prinsip Dasar dan 6 Pokok Tambahan itu.
Dukungan serupa juga datang dari pimpinan nasional terutama dari Presiden Soekarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta, Sjahrir, Agus Salim dan Leimena. Orang-orang ini meyakinkan Amir bahwa rakyat akan memilih RI jika plebisit digelar. Presiden Soekarno bahkan menimpalinya dengan menyatakan “sudah saatnya untuk menggantikan pertempuran ke pemungutan suara.” Karena dukungan itu, Amir dengan penuh optimistis menandatangani Persetujuan Renville pada 17 Januari 1948.
Ia tak menyangka dua hari setelah persetujuan itu, Gerakan Pemuda Islam Indonesia dan Hizbullah justru menggelar demonstrasi di depan Istana Negara. Organisasi kemasyarakatan (ormas) sayap Partai Masyumi ini menolak Persetujuan Renville karena merugikan Republik. Demonstrasi itu menuntut pembubaran Kabinet Amir II. Tak mau diam, pendukung Amir besok harinya membalas demonstrasi tersebut. Kedua kubu saling bersitegang. Melihat kondisi itu, Presiden Soekarno memanggil Amir ke Istana dan memintanya untuk mundur dari jabatannya. Dalam keadaan marah, Amir menyerahkan mandatnya.
Kabinet Hatta
Setelah itu Presiden Soekarno meminta Hatta menyusun kabinet baru. Seperti yang ditulis dalam buku Manuskrip Sejarah 45 Tahun PKI yang terbit pada 2014, Kabinet Hatta resmi terbentuk pada 29 Januari 1948. Di dalamnya duduk orang-orang dari partai atau aliran lain, nasionalis, Katolik, sosialis kanan, di samping aliran Masyumi yang diwakili Hatta-Sukiman-Natsir. “Pada hakikatnya Kabinet VI Republik Indonesia adalah kabinet Masyumi yang dipimpin Drs. Mohammad Hatta,” tulis buku itu.
Menurut Supeno, tokoh Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo) dalam bukunya berjudul Sejarah Singkat Gerakan Rakyat untuk Kebebasan jilid I mengungkapkan, lahirnya Kabinet Hatta disambut gembira pihak Belanda dan AS. Sikap demikian, menurut Supeno, menjadi wajar mengingat kedua negara tersebut mengetahui betul sosok Hatta. Terlebih lagi program kabinetnya membuka jalan untuk melikuidasi hasil-hasil RI dan menguntungkan Belanda serta AS.
Ia menyebutkan, program kabinet Hatta terdiri atas empat pasal. Pertama, menyelenggarakan Persetujuan Renville – persetujuan yang awalnya mereka tolak. Kedua, mempercepat pembentukan negara Republik Indonesia Serikat (RIS). Ketiga, rasionalisasi untuk angkatan bersenjata dan terakhir pembangunan. Sejak itu, dalam waktu singkat Hatta acap mondar-mandir Yogyakarta – Jakarta dan mengadakan perundingan dengan Hubertus Johannes van Mook sebagai perwakilan pemerintah Belanda. Namun, hasilnya tidak pernah diumumkan.
Perundingan-perundingan semacam itu, kata Supeno, sering diselenggarakan pada 12 hingga 13 Maret 1948 serta diikuti antara 10 April dan 16 Juni pada tahun yang sama. Kemudian, kegiatan diplomasi lainnya adalah berupa kunjungan-kunjungan wakil luar negeri ke ibu kota Yogyakarta, terutama wakil-wakil dari AS. Menurut Supeno, campur tangan kaum imperialis terhadap masalah dalam negeri Indonesia semakin mendalam. “Dan ini semua merupakan latar belakang ‘Peristiwa Madiun’ yang tragis,” tulis Supeno.
Ia melanjutkan, dari empat pasal program kabinetnya, Hatta mengutamakan pelaksanaan Re-Ra. Perlu diketahui, sejak Revolusi Agustus meletus “Sayap Kiri” dari revolusi yang dipimpin PKI berhasil membentuk pasukan-pasukan bersenjata rakyat yang cukup besar dan kuat. Ketika Amir Sjarifuddin menjabat Menteri Pertahanan dan yang terakhir sebagai Perdana Menteri sekaligus, kekuatan-kekuatan tersebut dipelihara dan dijaga baik-baik. Ketika Amir tak lagi duduk dalam kabinet, juga tokoh-tokoh komunis dan tokoh-tokoh progresif lainnya, pasukan bersenjata tersebut tetap dijaga.
Di samping itu, kata Supeno, pengaruh PKI dalam TNI juga tidak bisa diremehkan. Hatta tentu saja mengetahui semua ini. Maka, PKI harus dipreteli. Untuk mengupayakan hal tersebut, maka pertama-tama yang dilakukan Hatta adalah melenyapkan pengaruh PKI dalam angkatan bersenjata RI dan membubarkan pasukan-pasukan bersenjata yang langsung dipimpin PKI. Berdasarkan fakta itu, tujuan program Re-Ra menjadi jelas: menghabisi “kaum merah”. Selain ditujukan untuk PKI, juga ingin mengganti opsir-opsir TNI terutama yang bersimpati kepada kaum kiri.
Pertemuan antara kelompok imperialis dengan Hatta, kata Supeno, terletak pada kenyataan, kedua-duanya menganggap komunisme sebagai musuh terbesar dan paling berbahaya. Dengan demikian, nampaknya tesis kaum progresif Belanda pada akhir tahun 20-an menjadi benar: Hatta menaruh simpati pada fasisme. Kebencian Hatta terhadap komunisme barangkali juga disebabkan sebuah peristiwa yang tidak akan ia lupakan selama hidupnya. Ia dipecat dari Konferensi Internasional Anti Imperialisme dan Kolonialisme pada 1930. Ia dianggap nasionalis reformis.
Sejak Hatta melaksanakan politiknya dalam pemerintahan, Indonesia lambat laun berubah menjadi neo-koloni. Perubahan tersebut karena peran utama dari Hatta. Sesungguhnya, kata Supeno, watak Hatta sebagai komprador asing dengan jelas dicerminkan dalam manifesto 1 Novembernya pada 1945. Dalam manifesto itu Hatta mengatakan “kita akan memerlukan pertolongan bangsa asing dalam pembangunan negeri kita berupa kaum teknik dan kaum terpelajar, pun juga kapital asing.”
Program Re-Ra
Tepat pada Maret 1948, Hatta melaksanakan program Re-Ra. Kali pertama yang kena program ini adalah Divisi V (Jawa Timur). Di sini program Hatta ini sama sekali tanpa hambatan. Mulus. Bahkan Divisi V segera dimobilisasi dan pemerintah pusat segera memerintahkan agar Divisi IV (Panembahan Senopati) menjalankan program Re-Ra. Tidak seperti Divisi V, program Hatta ini mendapat penolakan secara tegas. Divisi ini dipimpin oleh Kolonel Sutarto.
Di masa Jepang, Sutarto masuk Peta, daidan Wonogiri dan diberi pangkat shodanco. Untuk menunjukkan protes terhadap kebijakan Re-Ra, Divisi Panembahan Senopati berdemonstrasi dan protes. Aksi itu mendapat dukungan dari rakyat Surakarta. Pasalnya, sosok ini dicintai rakyat karena berjasa besar dalam melucuti tentara Jepang dan melancarkan revolusi di Surakarta. Selama perang kolonial pertama pada Juli 1947, ia memimpin pasukannya di front Semarang. Karena pengaruhnya yang besar itu, Sutarto dijadikan musuh nomor satu oleh AS.
Penolakan serupa sesungguhnya datang dari Panglima Besar Jenderal Sudirman. Akan tetapi, Hatta berkeras. Ia bahkan mengeluarkan dekrit pada 15 Mei 1948, atas nama Menteri Pertahanan dan Wakil Presiden, Mohammad Hatta mengeluarkan Dekrit Re-Ra dan membubarkan TNI-Masyarakat, Tentara Laut Republik Indonesia, Dewan Kelasykaran Seberang dan Pepolit, melalui Penetapan BP KNIP dalam UU Nomor 3/1948. Penertiban terhadap pasukan-pasukan yang dibubarkan diserahkan kepada Divisi Siliwangi.
Hatta sebagai Perdana Menteri pada 17 Juni 1948, tanpa disangka mengeluaran satu komunike yang menyatakan, bahwa pemerintah RI menganggap usul yang diajukan wakil-wakil Australia dan AS sebagai hal yang baik. Usul yang diajukan Critchley (Australia) dan de Bois (AS) adalah membentuk suatu pemerintah federal sementara, mengurangi angkatan perang dan agar Republik menyerahkan kedaulatan pada pemerintah federal sementara itu.
Mengetahui Sutarto menolak programnnya, Hatta kemudian menyusun strategi. Menurut Supeno, Kolonel Sutarto menjadi target untuk dilenyapkan. Itu lalu menjadi kenyataan setelah permulaan Juli 1948, Sutarto dibunuh secara pengecut di waktu malam hari. Ia ditembak dengan jarak dekat dari belakang. Pemerintah tidak pernah serius menuntaskan pembunuhan ini. Walau pembunuhnya dapat ditangkap, tetapi pengusutan tidak dilakukan. Malahan jaksa agung melepaskannya kembali dengan alasan tidak dapat dituntut.
Menurut Aidit, dalam bukunya Aidit Menggugat Peristiwa Madiun pada 1964, teror terhadap Kolonel Sutarto itu berkaitan dengan program Re-Ra Kabinet Hatta-Sukiman-Natsir. “Karena kasusnya tidak pernah tuntas, maka saya tidak heran kalau pembunuhan terhadap Sutarto merupakan pelaksanaan program Re-Ra dengan cara spesial,” kata Aidit.
Setelah peristiwa itu, pimpinan nasional dan wakil-wakil dari luar negeri mengadakan pertemuan pada 21 Juli 1948. Komplotan – begitu Supeno menyebutnya – itu membahas penggulungan dan pelenyapan PKI dari panggung politik Indonesia. Pada hari itu di sebuah tempat peristirahatan Sarangan – di lereng timur Gunung Lawu – pertemuan itu dihadiri dua orang dari AS dan enam orang dari Indonesia. Dua orang AS itu adalah Gerard Hopkins, penasehat urusan politik luar negeri Presiden Truman serta H.Mevle Cochran, wakil AS dalam Komisi Jasa-jasa Baik.
Sedangkan perwakilan Indonesia adalah Soekarno, Hatta, Sukiman, Natsir, Mohammad Rum dan Kepala Kepolisian Negara Sukanto. Dalam pertemuan itu dibicarakan apa yang dikenal dengan nama Red Drive Proposals yaitu rencana AS untuk membasmi kaum komunis dan kaum revolusioner lainnya yang disetujui oleh pemerintah Hatta. Ketika pertemuan itu diberitakan dalam berbagai koran dan majalah, tidak ada bantahan sama sekali dari pihak yang hadir dalam pertemuan itu.
Sebagai pelaksanaan Red Drive Proposals, pemerintah Hatta menerima US$ 56 juta dari State Department AS lewat Biro Konsultasi AS di Bangkok. Suar Suroso lewat bukunya Akar dan Dalang yang terbit pada 2013, pembendungan pengaruh komunisme di Eropa dan Jepang memang merupakan kebijakan luar negeri AS lewat Presiden Truman pada 1948. Kebijakan Truman itu lalu dikenal dengan “Doktrin Truman”. Intinya membendung perluasan pengaruh komunis. Semula kebijakan tersebut ditujukan untuk Eropa dan Jepang, lalu segera meluas ke negara-negara lainnya termasuk Indonesia.
Sejak itu, mulailah provokasi-provokasi terhadap PKI. Dimulai dari penculikan dua anggota PKI Solo pada awal September 1948. Setiap kejadian peristiwa buruk, PKI atau FDR selalu menjadi kambing hitam. Gedung-gedung Pesindo, Partai Sosialis dan Sarbupri (Serikat Buruh Perkebunan) di Sragen, Nganjuk, Tulungagung diserbu dan diduduki oleh tentara. Kesatuan Brigade Mobil Polisi Bojonegoro di bawah pimpinan Asmaun dilucuti dan masih banyak kejadian lainnya.
Puncak dari provokasi itu adalah Peristiwa Madiun yang menelan korban jiwa anak bangsa dari kedua belah pihak. Peristiwa itu terjadi karena provokasi dan propaganda pemerintah yang menuduh PKI/FDR telah mendirikan Negara Soviet Madiun. Aidit dalam pembelaannya tentu saja membantahnya. Tenaga rakyat dimobilisasi PKI/FDR pada waktu itu untuk melawan tentara kolonial Belanda. Sama sekali tidak ada niat berperang melawan pemerintah Indonesia. Musso, Amir, Maruto Darusman, Oey Gee Hwat, Djokosujono dan lain-lain menjadi korban dari peristiwa itu.
Aidit berkesimpulan Peristiwa Madiun adalah provokasi. Dan yang mesti bertanggung jawab atas itu semua adalah pemerintahan Hatta-Sukiman-Natsir. [Kristian Ginting]