Sekretaris Tim Kampanye Nasional Hasto Kristiyanto.

Koran Sulindo – PDI Perjuangan mempersilahkan masyarakat atau kelompok manapun untuk menonton film G30S/PKI.

Namun, partai berlambang moncong putih itu mendorong agar warga bangsa belajar dari berbagai kejadian yang menyangkut perjuangan pendiri bangsa memastikan persatuan nasional dalam kerangka NKRI.

Menurut Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto, hal yang perlu dilakukan dengan memperbanyak produksi film nasional dengan narasi persatuan.

“Kita melihat ya, nonton itu sah-sah saja. Saya saja dulu setiap tahun menonton. Karena kala itu hanya stasiun televisi yaitup TVRI. Jadi diputarkan film itu. Bahkan kepulan asapnya pun kita hapal,” kata Hasto menanggapi polemik pemutaran film G30S/PKI, Jakarta, Jumat (28/9).

Hasto menjelaskan, rezim Orde Baru, stasiun TVRI selalu menayangkan setiap 30 September. Di era itu, banyak larangan, termasuk membaca karya Proklamator RI Bung Karno.

Ketika Reformasi 1998 terjadi, kata Hasto, ada upaya untuk melihat kejadian seputar tragedi 1965 secara jernih. Dalam konteks itu, kata Hasto sebenarnya perlu juga menghadirkan film-film lain yang berisi narasi persatuan nasional. Berbeda dengan film G30S/PKI yang narasi dominan adalah konflik.

“Misalnya film-film soal pembacaan detik-detik proklamasi, Sumpah Pemuda, tentang Hari Santri dan 10 November. Itu kan hal bagus karena bagaimana nation and character building itu sangat penting,” paparnya.

Karena itulah, menurut Hasto, sangat diperlukan untuk membangun narasi yang mempersatukan, dengan belajar dari sejarah berbagai macam bentuk konsolidasi negara RI.

“Misalnya belajar dari kasus PRRI/Permesta yang saat itu bekerja sama dengan pihak asing,” kata Hasto.

Hasto melanjutkan, belajar soal perjuangan bangsa, seperti kasus PRRI/Permesta, setidaknya akan membawa ke alam pikir soal kondisi Indonesia yang sangat strategis. Indonesia yang secara geografis terletak di antara dua benua, selalu tidak lepas dari kepentingan asing.

“Bayangkan saja, pemerintahan baru terbentik saat itu, tapi ada pemberontakan dengan melibatkan asing. Kemudian ada berbagai konsolidasi kekuasaan lain yang tak mudah. Pemberontakan PKI 1948 juga jadi pelajaran sejarah bagi bangsa kita,” beber Hasto.

“Pembelajaran sejarah sangat penting, supaya kita menatap masa depan dengan sejarah itu. Dan itu terbukti bahwa Pancasila yang menyatukan kita bersama,” imbuhnya.

Hasto menekankan bahwa isu musiman menjelang peringatan peristiwa G30S/PKI harus bisa ditanggapi secara bijak. Yakni belajar dari sejarah kelam masa lalu, selanjutnya melakukan langkah-langkah rekonsiliasi untuk menatap masa depan.

Diungkapkan Hasto, harus diingat juga bahwa Indonesia diakui oleh berbagai negara dalam melakukan rekonsiliasi. Indonesia dilibatkan dalam mendamaikan konflik saudara di Kamboja. Termasuk berusaha mendamaikan konflik Korea Selatan-Korea Utara. Terbukti di Asian Games terakhir di Jakarta, delegasi kedua negara muncul bersama-sama saat upacara pembukaan.

“Kalau mereka memberikan apresiasi terhadap kepemimpinan kita, kita punya daya kemampuan dalam membantu negara-negara dalam menyelesaikan konfliknya. Kenapa kemudian dari dalam diri kita sendiri, selalu melihat masa lalu dan kemudian tidak merancang proses rekonsiliasi untuk masa depan bagi anak cucu kita?” kata Hasto. [CHA]