Ceritanya sederhana. Intinya cuma berisi kisah tentang seorang anak berkecukupan bernama Maria dengan sahabatnya Susi, yang berasal dari keluarga sederhana dan tinggal di gang belakang rumah.
Maria ingin betul ke Kebun Binatang, tetapi kedua orangtuanya yang sibuk, cuma bisa bergeser dari satu janji ke janji lainnya. Akhirnya Maria dengan kegigihannya dan segala cara berhasil sampai di Kebun Binatang bersama Susi, dengan upaya yang melibatkan banyak orang.
Cerita yang enteng dan menghibur. Banyak lucunya. Untuk zamannya, film ini bukan main. Lagi pula akting para pemainnya sangat luwes. Tidak tampak dibuat-buat seperti film-film Indonesia yang kurang bermutu.
Karena film ini film anak, maka sebagian besar pemainnya ya anak-anak. Akting mereka juga luar biasa membumi. Begitu dekat dengan sikap sehari-hari.
Film Bintang Ketjil ini diproduseri oleh Annie Mambo. Sutradara sekaligus penulis Wim Umboh dan Misbach Yusa Biran. Diperankan oleh Raden Ismail, Maria Umboh, Suzy Mambo, Nana Awaludin, Mansjur Sjah, Tuty S, AN Alcaff, Fifi Young, Noortje Supandi, serta Anna Susanty. Diproduksi tahun 1963.
Hasil ngobrol dengan pemeran utama Nana Awaludin atau Bung Nana, Sang Penyemir Sepatu, yang menyempatkan datang pada acara pemutaran film tersebut oleh Pusat Data Arsitektur di Auditorium Museum Bank Indonesia, Minggu sore tanggal 24 November 2019.
Berhasil didapuk cerita bahwa mereka, para pemain anak, memang berakting secara natural. Wim Umboh hanya mengarahkan, lalu para pemain cilik itu dipersilahkan berimprovisasi sendiri. Luar biasa ya!
Pada zamannya menurut Nana, para pemain film memang cukup diberi arahan sedikit oleh sutradara lalu dipersilahkan berimprovisasi . Ternyata mutu akting pemain film Indonesia di ‘Zaman Lekra’ itu jauh lebih hebat daripada pemain sinetron di televisi yang setiap hari diputar saat ini.
Yang menarik diamati dalam film Bintang Ketjil ini adalah, ada lapangan rumput yang sekarang sudah menjadi Masjid Sunda Kelapa. Lapangan rumput gersang di mana kisah ini berawal.
Semula memang kurang bisa diidentifikasi dan sempat bertanya-tanya, ketika shoot di lapangan rumput dan tampak sekilas patung ayam di pucuk bangunan, mirip seperti yang ada di gereja Ayam, Menteng, dekat Bappenas.
Pertanyaan saya terjawab ketika seorang arsitek senior yang berkecimpung pada bangunan kuno, yang duduk tepat di sebelah saya menjawab, bahwa lapangan rumput tersebut sekarang sudah menjadi Masjid Sunda Kelapa!
Ada tampak juga di film ini Kebun Binatang pertama di Jakarta sebelum pindah ke Ragunan, yaitu di Taman Ismail Marzuki. Ada pertigaan Cikini Raya, dengan bangunan kantor pos yang bentuknya sama.
Lalu bundaran air mancur Bank Indonesia dengan pemandangan sekelilingnya yang sama sekali lain dengan sekarang, tetapi bentuk air mancurnya masih sama. Juga Bundaran HI, dengan Hotel Indonesia yang masih persis sama, sementara sekelilingnya kosong melompong.
Lalu ada rumah berarsitektur Jengki yang baru dibangun di jalan Wijaya, Kebayoran, yang jadi rumah Maria dalam film ini. Ada Taman Lembang yang begitu mudah dikenali karena tidak berubah banyak.
Jalan-jalan di Jakarta tampak lengang. Mobil-mobil kuno berseliweran satu dua. Tapi tukang becak sudah ada loh!
Pusat Pengembangan Perfilman (Pusbangfilm) Berhasil Merestorasi Film Lawas Nasional
Sebagian masyarakat Indonesia, pada tahun 2019 ada yang beruntung kecipratan bisa nonton Film Bintang Ketjil besutan Wim Umboh dan Misbach Yusa Biran ini.
Memang sudah ada rencana dari Pusbang Film (Pusat Pengembangan Film) Kemendikbud akan memutar film ini di bioskop-bioskop sehingga bisa dinikmati orang banyak. Dengar kabar sebenarnya sudah sempat diputar di Bandung, Yogya, Solo, Medan, dan Surabaya, khusus undangan.
Restorasi yang dilakukan oleh Pusbangfilm Kemdikbud dengan Render Digital Indonesia ini sungguh luar biasa. Terutama buat orang awam seperti saya. Karena tidak ada gambar yang berkedip-kedip atau kotor penuh titik hitam. Juga tidak ada penampakan yang terlalu gelap seperti foto yang kurang cahaya.
Tidak ada juga gambar-gambar rabun yang menyakitkan mata. Yang ada adalah film dengan kualitas gambar yang terang, jernih dan enak ditonton. Tidak kalah dengan film-film dokumenter yang bisa kita tonton di kanal tv berbayar.
Ternyata bukan hanya film lawas ini yang diselamatkan oleh Pusbangfilm. Masih ada koleksi sejumlah 700 film layar lebar yang rencananya akan ditindaklanjuti. Kabarnya sudah empat film yang berhasil direstorasi yaitu, Kereta Api Terakhir (1981) di tahun 2019; film “Darah dan Doa” (1950) pada tahun 2013; “Pagar Kawat Berduri” (1961) pada tahun 2017, dan; “Bintang Ketjil” (1963) pada tahun 2018.
Ada lagi yang menarik. Walaupun film ini dibuat tahun 1963. Yang notabene adalah masa-masa Lekra dan Partai Komunis, tetapi tidak ada sedikit pun propaganda ke arah itu. Atau tidak ada setitik pun bau amis politik. Film ini benar-benar hanya film anak yang bercerita tentang anak-anak. Sungguh film yang indah.
Jika film ini jadi diputar di bioskop-bioskop, film Indonesia yang digawangi oleh sutradara ternama ini sungguh sangat patut ditonton.
Nikmatilah akting para pemainnya. Puaskanlah mata anda dengan pemandangan Jakarta di tahun 1963. Banjiri mata anda dengan perempuan-perempuan berkebaya, serta anak-anak dengan rok mini dan kaos kaki pendeknya. Reguklah di telinga anda salam yang khas Indonesia. Berapa pun harga tiketnya, anda tidak akan rugi.
Karena, film ini menggambarkan sejatinya Indonesia yang kaya budaya dan benar-benar Indonesia! [Nora E /laporan pandangan mata]