Harmoni Aremania-Viking: Wajah Baru Keamanan Swakarsa Sepak Bola Indonesia

Achmad Ghozali, anggota Presidium Nasional Suporter Sepakbola Indonesia (PN-SSI) memberi keterangan. (Foto: Wien)

MALANG, Koransulindo.com – Sebuah fenomena langka tersaji di Stadion Kanjuruhan, Malang, pada 22 September 2025. Laga panas antara Arema FC dan Persib Bandung justru menjadi panggung rekonsiliasi, di mana harmoni antara Aremania dan Viking menjadi bukti bahwa keamanan pertandingan bisa lahir dari kesadaran kolektif suporter itu sendiri.

Momen yang terjadi di Malang bukan sekadar pertandingan Liga 1 biasa. Ini adalah sebuah prototipe, cetak biru bagi penyelenggaraan pertandingan sepak bola yang mengedepankan keamanan swakarsa (self-initiated security). Hal ini diutarakan oleh Achmad Ghozali, anggota Presidium Nasional Suporter Sepakbola Indonesia (PN-SSI), Jumat (26/09/2025) yang ditemui Sulindo di kota Malang.

“Ketika ribuan suporter Viking (pendukung Persib) disambut hangat oleh Aremania (pendukung Arema FC), lengkap dengan tradisi berbagi makanan dan minuman, kita menyaksikan pergeseran paradigma fundamental. Rivalitas sengit selama 90 menit di lapangan tidak harus menjalar menjadi permusuhan destruktif di tribun.

Fenomena ini menjadi antitesis dari model pengamanan konvensional yang terlalu bergantung pada aparat keamanan.” ujar Sam Aka, panggilan akrab Achmad Ghozali.

Keamanan swakarsa yang ditunjukkan Aremania dan Viking lahir dari kultur persaudaraan, sebuah ikatan ketimuran yang menempatkan tamu sebagai saudara. Inilah kunci yang selama ini hilang dalam diskursus keamanan sepak bola nasional: keamanan partisipatif yang berasal dari suporter, bukan keamanan represif yang dipaksakan dari luar.

Dari Tragedi Menuju Transformasi

Malang, sebagai kota yang menanggung luka mendalam dari Tragedi Kanjuruhan, memiliki tanggung jawab moral untuk memelopori perubahan.

“Apa yang dipertontonkan pada laga melawan Persib adalah manifestasi dari pembelajaran pahit tersebut. Suporter kini menyadari bahwa nyawa jauh lebih berharga dari sekadar fanatisme buta.

Konsep keamanan swakarsa ini secara esensial adalah implementasi dari prinsip “saling menjaga”. Referensinya bukan lagi pada regulasi FIFA yang kaku, melainkan pada kearifan lokal dan semangat gotong royong.” Lanjut Sam Aka.

Ketika Aremania memastikan Viking aman dan nyaman sejak tiba hingga kembali pulang, mereka sedang membangun sistem keamanan organik yang paling efektif. Sistem ini tidak memerlukan barikade kawat berduri atau gas air mata, melainkan kepercayaan dan rasa hormat.

Prototipe untuk Liga Indonesia: Mereplikasi Kultur Persaudaraan
PSSI dan PT Liga Indonesia Baru (LIB) harus melihat peristiwa di Malang ini sebagai studi kasus yang sangat berharga. Model Aremania-Viking bisa dan harus direplikasi di laga-laga berisiko tinggi lainnya.

Beberapa elemen kunci yang bisa diadopsi antara lain:
1. Dialog Terbuka Antar-Kelompok Suporter: Jauh sebelum hari pertandingan, perlu ada komunikasi intensif yang difasilitasi oleh klub dan pihak terkait untuk membangun kesepahaman.
2. Aktivasi Simbol-Simbol Persatuan: Tradisi berbagi, seperti yang dilakukan Aremania, adalah “social currency” yang sangat kuat. Ini mengubah narasi dari “lawan” menjadi “tamu terhormat”.
3. Kepemimpinan Inklusif: Peran dirigen, ketua korwil, dan tokoh suporter sangat vital dalam menyebarkan pesan damai dan memastikan anggotanya patuh pada komitmen bersama.

Sepak bola Indonesia berada di persimpangan jalan. Kita bisa terus terjebak dalam siklus kekerasan yang memalukan, atau kita bisa memilih jalan baru yang ditunjukkan oleh Aremania dan Viking. Harmonisasi di Malang adalah bukti sahih bahwa masa depan keamanan stadion ada di tangan suporter yang dewasa, yang memilih sportifitas, persaudaraan, dan kemanusiaan di atas segalanya. [Wien]