Koran Sulindo – Hari Sarjana Nasional diperingati setiap tanggal 29 September di Indonesia sebagai bentuk penghargaan kepada mereka yang telah berhasil menyelesaikan pendidikan tinggi dan mendapatkan gelar sarjana.
Peringatan ini pertama kali diinisiasi pada tahun 2014 oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Sejak saat itu, setiap tahunnya, hari ini dirayakan untuk mengapresiasi perjuangan para sarjana dalam meraih pendidikan serta peran mereka sebagai pendorong kemajuan bangsa.
Makna Hari Sarjana Nasional
Mengutip dari laman resmi STIE Kesuma Negara, Hari Sarjana Nasional tidak hanya sekadar perayaan simbolis, tetapi juga merupakan momen untuk menghargai upaya individu-individu yang telah mencapai salah satu pencapaian akademis tertinggi, yaitu gelar sarjana.
Di Indonesia, para sarjana dianggap sebagai salah satu faktor kunci dalam pembangunan negara. Mereka dipandang sebagai aset berharga yang memiliki potensi untuk berkontribusi secara signifikan dalam berbagai bidang, termasuk ekonomi, sosial, dan budaya.
Melalui keahlian dan pengetahuan yang diperoleh selama proses pendidikan, para sarjana diharapkan mampu menciptakan inovasi dan memberikan solusi atas berbagai tantangan yang dihadapi bangsa.
Namun, menurut catatan dari laman Institute Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), meskipun perayaan ini sudah berlangsung sejak tahun 2014, asal-usul historis yang pasti dari Hari Sarjana Nasional belum memiliki landasan yang jelas.
Kendati demikian, peringatan ini tetap dimanfaatkan sebagai momen penting untuk memberikan penghargaan kepada komunitas akademis serta peran besar yang dimainkan oleh para sarjana dalam membangun bangsa Indonesia.
Sarjana Pertama di Indonesia
Jika menilik lebih jauh ke belakang, sejarah sarjana di Indonesia sebenarnya telah dimulai jauh sebelum adanya peringatan Hari Sarjana Nasional. Indonesia telah melahirkan lulusan sarjana sejak masa kolonial Belanda.
Dilansir dari goodnewsfromindonesai.id, salah satu tokoh yang patut dikenang adalah Raden Mas (R.M.) Panji Sosrokartono, yang merupakan sarjana pertama Indonesia. Kartono, begitu ia biasa dipanggil, lahir pada tahun 1877 dan merupakan kakak dari Raden Ajeng Kartini, tokoh emansipasi perempuan yang terkenal.
Kartono dikenal sebagai sosok yang mendukung penuh gagasan-gagasan Kartini tentang pemberdayaan perempuan.
Riwayat pendidikan Kartono dimulai dari Europeesche Lagere School (ELS) di Jepara, sebelum kemudian melanjutkan ke Hogere Burger School (HBS) di Semarang. Pada tahun 1897, Kartono terpilih untuk melanjutkan pendidikan di Belanda melalui program pendidikan yang dikenal sebagai “politik balas budi” dari pemerintah Hindia Belanda.
Awalnya, Kartono mengambil jurusan teknik sipil, namun merasa tidak cocok dan akhirnya memutuskan untuk pindah ke jurusan Bahasa dan Kesusastraan Timur di Universitas Leiden.
Perjuangannya di Leiden tidaklah mudah, tetapi pada tahun 1901, Kartono berhasil lulus dari Fakultas Sastra dan Filsafat dengan gelar sarjana muda. Pencapaian ini sangat berarti karena ia menjadi orang Indonesia pertama yang meraih gelar akademis dari sebuah universitas di Belanda.
Keberhasilan Kartono membuka jalan bagi banyak anak pribumi lainnya untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi di Belanda.
Kartono: Sarjana, Aktivis, dan Intelektual
Kartono tidak hanya dikenal sebagai seorang sarjana, tetapi juga sebagai seorang aktivis yang aktif di Eropa. Pada tahun 1898, ia menyampaikan pidato berjudul Het Nederlancdsch in Indie yang mengkritik pemerintahan kolonial Belanda di Indonesia.
Meskipun penuh kritik, Kartono menyampaikan pidatonya dengan gaya yang elegan dan santun, mencerminkan kehormatan kaum terpandang di Indonesia pada masa itu.
Keberhasilan Kartono dalam dunia akademis tidak berhenti di situ. Ia melanjutkan pendidikannya hingga meraih gelar doktorandus dengan predikat Summa Cum Laude pada tahun 1908.
Dengan pencapaian tersebut, Kartono menjadi orang pribumi pertama yang meraih gelar doktorandus pada masa penjajahan Belanda. Gelar ini tidak hanya menunjukkan keunggulan akademis Kartono, tetapi juga simbol keberhasilan pendidikan anak pribumi di tengah tekanan kolonial.
Hari Sarjana Nasional: Momentum Refleksi
Peringatan Hari Sarjana Nasional menjadi lebih bermakna ketika kita melihat kembali sejarah perjuangan para tokoh seperti Kartono. Sarjana bukan hanya sekadar gelar, tetapi juga simbol dari tekad, dedikasi, dan pengorbanan untuk mencapai pendidikan tertinggi.
Di era modern, para sarjana diharapkan mampu melanjutkan warisan ini dengan memberikan kontribusi nyata bagi pembangunan bangsa.
Dengan segala tantangan yang dihadapi oleh Indonesia, para sarjana memainkan peran yang sangat penting. Mereka bukan hanya dituntut untuk menguasai ilmu pengetahuan, tetapi juga untuk menerapkan pengetahuan tersebut dalam upaya membangun masyarakat yang lebih adil, makmur, dan sejahtera.
Hari Sarjana Nasional bukan hanya peringatan tentang pencapaian akademis, tetapi juga sebuah refleksi tentang tanggung jawab besar yang diemban oleh para sarjana dalam membentuk masa depan Indonesia.
Peringatan Hari Sarjana Nasional setiap tanggal 29 September bukan hanya sekadar ritual tahunan. Ini adalah momen untuk mengenang perjuangan mereka yang telah berusaha keras meraih gelar akademis tertinggi dan juga mengapresiasi peran mereka dalam pembangunan bangsa.
Dari Raden Mas Panji Sosrokartono hingga generasi sarjana masa kini, semuanya memiliki peran penting dalam mengubah wajah Indonesia. Sebagai negara yang terus berkembang, peran sarjana akan semakin penting dalam menghadapi berbagai tantangan global. [UN]