Hari Pengantar Koran Nasional Dan Sejarah Surat Kabar Di Indonesia

Koran Cetak Suluh Indonesia. (foto: Sulindo)

Koran Sulindo – Setiap tanggal 8 Oktober, kita merayakan Hari Pengantar Koran Nasional. Peringatan ini dikhususkan untuk para pengantar koran yang telah menjadi jantung distribusi berita sejak surat kabar pertama kali terbit.

Mereka adalah individu yang mengantarkan berita ke pintu rumah kita setiap pagi, tanpa mengenal lelah, terik matahari, atau hujan deras. Tugas mereka tidak hanya sekedar mengantarkan kertas, tetapi juga memastikan masyarakat mendapatkan informasi terbaru dari berbagai belahan dunia.

Tak jarang kita melihat mereka berdiri di sudut jalan, atau bahkan berusaha menghindari anjing yang mengejar. Meskipun tantangan yang dihadapi beragam, dedikasi para pengantar koran tetaplah sama, menyampaikan berita dengan tepat waktu.

Pekerjaan yang tampak sederhana ini sebenarnya memiliki peran besar dalam membentuk budaya informasi di masyarakat.

Namun, perayaan ini juga menjadi momen untuk menengok perjalanan panjang sejarah koran di Indonesia, yang telah berkembang sejak masa kolonial hingga era modern seperti sekarang.

Sejarah Surat Kabar di Indonesia

Sejak zaman penjajahan Belanda, surat kabar sudah mulai menjadi alat komunikasi penting. Surat kabar pertama di Indonesia, Bataviasche Nouvelles, muncul pada tahun 1744 di bawah pemerintahan Gubernur Jenderal Van Imhoff.

Meskipun hanya terbit selama dua tahun, surat kabar ini menandai awal dari perjalanan panjang pers di Indonesia. Pada tahun 1828, muncul Javasche Courant, yang menjadi salah satu surat kabar resmi pemerintah Belanda, serta Het Bataviasche Advertantie Bla yang merupakan media komersial pertama di Hindia Belanda.

Pada periode ini, surat kabar mulai muncul di berbagai daerah, seperti Soerabaajasch Advertantiebland di Surabaya dan Semarangsche Advertetiebland di Semarang.

Memasuki akhir abad ke-19, perkembangan pers semakin pesat. Pada tahun 1885, di seluruh Hindia Belanda telah terbit 16 surat kabar berbahasa Belanda dan 12 surat kabar berbahasa Melayu, menjadikannya salah satu periode penting dalam sejarah pers Indonesia.

Zaman Jepang: Kontrol Ketat Pers

Saat Jepang menduduki Indonesia pada tahun 1942, mereka segera mengambil alih seluruh surat kabar yang ada. Kantor berita Antara, yang sebelumnya milik Indonesia, diambil alih oleh Jepang dan dijadikan bagian dari kantor berita Yashima, dengan pusatnya di Domei, Jepang.

Surat kabar digunakan sebagai alat propaganda untuk mendukung kekuasaan Jepang. Salah satu surat kabar yang terkenal pada masa itu adalah Tjahaja, yang terbit di Bandung dan menggunakan bahasa Indonesia.

Masa Kemerdekaan: Peran Penting Pers dalam Menyebarkan Berita Proklamasi

Pasca proklamasi kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945, surat kabar Soeara Asia menjadi yang pertama menyiarkan teks proklamasi pada tanggal 18 Agustus 1945. Pada masa ini, surat kabar memiliki peran penting dalam menyebarkan semangat kemerdekaan dan mendorong masyarakat untuk bersatu melawan penjajah.

Salah satu momen penting dalam sejarah pers Indonesia terjadi ketika surat kabar Berita Indonesia menyerukan rakyat untuk menghadiri Rapat Raksasa Ikada pada tanggal 19 September 1945, di mana Bung Karno memberikan pidato yang memperkuat dukungan rakyat terhadap pemerintah Indonesia yang baru merdeka.

Orde Lama dan Orde Baru: Masa Pengawasan Ketat dan Pembredelan

Pada masa Orde Lama, terutama setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959, surat kabar dihadapkan pada kontrol ketat. Banyak surat kabar yang dibatasi atau bahkan ditutup, termasuk Soerabaja Post dan Harian Pedoman di Jakarta.

Kebijakan ini terus berlanjut pada masa Orde Baru, di mana pembredelan menjadi salah satu ciri khas pengawasan terhadap pers.

Pembredelan adalah penghentian paksa terhadap penerbitan dan penyebaran surat kabar. Beberapa surat kabar yang terkenal mengalami pembredelan pada masa ini adalah Tempo, Detik, dan Sinar Harapan. Kebebasan pers sangat dibatasi pada era ini, dan hanya surat kabar yang sejalan dengan pemerintah yang diizinkan untuk terbit.

Era Reformasi: Kebangkitan Kebebasan Pers

Setelah kejatuhan Presiden Soeharto pada tahun 1998, Indonesia memasuki era Reformasi yang membawa angin segar bagi kebebasan pers. Salah satu langkah penting yang diambil adalah penghapusan Surat Izin Penerbitan Pers (SIUPP), yang sebelumnya menjadi alat untuk mengontrol pers.

Kebijakan ini mendorong lahirnya banyak media baru, dengan kebebasan yang lebih besar dalam meliput berbagai isu.

Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang pers juga diundangkan, menjadi tonggak penting dalam sejarah kebebasan pers di Indonesia. UU ini melindungi hak-hak jurnalis dan menjamin kebebasan media, yang hingga kini menjadi pilar penting dalam menjaga demokrasi di Indonesia.

Perjalanan panjang surat kabar di Indonesia tidak akan berarti tanpa peran pengantar koran. Mereka adalah jembatan antara informasi dan masyarakat. Pada Hari Pengantar Koran Nasional, kita diingatkan akan pentingnya profesi ini, yang meskipun sering kali dipandang sebelah mata, memiliki kontribusi besar dalam menyebarkan informasi ke seluruh penjuru negeri.

Di tengah perkembangan teknologi digital dan kemunculan media daring, peran pengantar koran tetap penting, terutama di daerah-daerah yang sulit dijangkau oleh teknologi.

Mari kita rayakan dan hargai dedikasi para pengantar koran yang setia mengantar berita, memberikan informasi yang penting bagi kehidupan kita sehari-hari. [UN]