Setiap tanggal 19 Juli, masyarakat Myanmar memperingati salah satu hari libur nasional paling penting dalam kalender mereka: Hari Martir. Bukan sekadar perayaan, momen ini merupakan penghormatan mendalam terhadap para tokoh revolusi yang gugur demi memperjuangkan kemerdekaan bangsa.
Di tengah panasnya pergolakan kolonial dan semangat pembebasan, darah para pahlawan inilah yang menjadi pondasi berdirinya negara Myanmar seperti yang dikenal hari ini.
Menurut laman National Today, Hari Martir Myanmar memperingati peristiwa tragis yang terjadi pada 19 Juli 1947, saat sembilan tokoh penting pemerintahan bayangan Myanmar ditembak mati dalam sebuah rapat kabinet di Rangoon (kini Yangon).
Mereka adalah Jenderal Aung San, ayah dari Aung San Suu Kyi beserta rekan-rekannya, Ba Cho, Sao San Tun, dan enam lainnya. Kesembilan tokoh ini adalah figur utama dalam gerakan kemerdekaan Myanmar, yang saat itu masih dikenal dengan nama Burma.
Pembunuhan ini tidak hanya mengguncang bangsa, tetapi juga menjadi babak penting dalam sejarah negara tersebut. Para pelaku akhirnya dieksekusi, namun kematian para martir justru mengobarkan semangat perjuangan rakyat.
Tak lama setelahnya, pada 4 Januari 1948, Burma memproklamasikan kemerdekaannya dari Inggris dan dengan tegas memilih untuk tidak bergabung dalam Persemakmuran Inggris, menjadikan Myanmar sebagai negara yang sepenuhnya merdeka dan berdiri sendiri.
Untuk menghormati pengorbanan mereka, sebuah mausoleum dibangun di Yangon. Hingga kini, makam tersebut menjadi salah satu landmark penting yang ramai dikunjungi pada setiap peringatan Hari Martir.
Para pejabat pemerintah, pelajar, dan masyarakat umum datang untuk meletakkan bunga dan berdoa, sebagai bentuk penghormatan kepada para pendahulu yang telah menumpahkan darah demi masa depan bangsa.
Perayaan Hari Martir di Myanmar cenderung bersifat reflektif dan penuh kekhidmatan. Salah satu tradisi yang masih dilestarikan adalah pembacaan puisi tradisional yang memuji keteladanan para martir.
Walaupun tidak bersifat pesta rakyat, peringatan ini tetap memiliki makna mendalam, karena bukan hanya menandai kelahiran bangsa Myanmar, tetapi juga mengingatkan akan pengorbanan besar yang menyertainya.
Menyelami Myanmar Lebih Dalam
Myanmar, yang sebelumnya dikenal dengan nama Burma, resmi mengganti namanya pada tahun 1989. Nama Burma berasal dari mayoritas etnis Bamar di negara tersebut, sedangkan “Myanmar” dianggap lebih inklusif terhadap semua kelompok etnis yang ada. Sejak 2005, ibu kota negara ini resmi dipindahkan dari Yangon ke Naypyidaw.
Negara yang dijuluki “Negeri Seribu Pagoda” ini terletak di Asia Tenggara dan berbatasan dengan India dan Bangladesh di sebelah barat, Thailand dan Laos di sebelah timur, serta Tiongkok di utara dan timur laut. Dengan luas wilayah sekitar 676.758 kilometer persegi, Myanmar menyimpan kekayaan sejarah dan budaya yang belum banyak diketahui masyarakat internasional.
Berikut adalah tiga aspek kebudayaan dan warisan unik Myanmar yang turut membentuk identitas bangsanya:
1. Shwedagon Paya (Pagoda Emas)
Terletak di Yangon, Shwedagon Paya adalah salah satu situs paling suci dalam agama Buddha dan sekaligus landmark paling terkenal di Myanmar. Pagoda ini dilapisi emas, dengan stupa utama yang menjulang setinggi 99 meter, menciptakan siluet keemasan yang menguasai langit kota.
Konon, pagoda ini menyimpan delapan helai rambut suci milik Buddha Gautama, menjadikannya tempat ziarah yang sangat penting. Selain itu, permukaan pagoda dihiasi dengan ribuan batu mulia, termasuk berlian dan zamrud, mempertegas kemegahan dan sakralitasnya. Tempat ini tidak hanya menjadi pusat peribadatan, tapi juga lambang spiritualitas dan kekayaan budaya Myanmar.
2. Yoke Thé
Dalam dunia seni pertunjukan, Myanmar memiliki kekayaan budaya yang unik: boneka tradisional yang dikenal sebagai Yoke thé, secara harfiah berarti “miniatur”. Awalnya dimainkan untuk menghibur kalangan bangsawan, pertunjukan ini berkembang menjadi hiburan rakyat dengan karakter dan kisah yang mendalam.
Boneka Yoke thé biasanya terbuat dari kayu dan sangat rumit pembuatannya. Yang menarik, masyarakat Myanmar percaya bahwa boneka-boneka ini memiliki roh—entitas spiritual yang turut menghidupkan penampilannya. Pertunjukan ini biasanya melibatkan 26 karakter utama, termasuk dewa-dewa, hewan, monster, dan tokoh bangsawan. Pertunjukan Yoke thé tidak hanya menjadi hiburan, tetapi juga refleksi dari filosofi dan kepercayaan masyarakat Myanmar.
3. Wanita Bertato dari Suku Chin
Di negara bagian Chin, dekat perbatasan Myanmar dengan India dan Bangladesh, terdapat kisah pilu dari generasi wanita yang wajahnya dihiasi tato tradisional. Praktik ini bermula dari keinginan para orang tua untuk melindungi anak perempuan mereka dari penculikan oleh raja-raja Myanmar yang ingin menjadikan mereka selir.
Dengan menato wajah anak-anak perempuan, keluarga berharap mereka terlihat “kurang menarik” dan terhindar dari perhatian kerajaan. Namun, praktik ini juga mencerminkan posisi kelompok etnis Chin sebagai minoritas Kristen di negara mayoritas Buddha—sebuah posisi yang sering kali membuat mereka terpinggirkan dan mengalami diskriminasi.
Pemerintah Myanmar melarang praktik ini pada 1972. Kini, hanya sedikit wanita lanjut usia di wilayah tersebut yang masih menyimpan tato sebagai warisan terakhir dari budaya yang perlahan memudar. Wajah mereka menjadi saksi bisu dari sejarah panjang perlawanan, pengorbanan, dan keteguhan identitas budaya.
Hari Martir Myanmar bukan hanya sebuah peringatan akan gugurnya para pahlawan, melainkan juga pintu untuk memahami lebih dalam sejarah dan budaya negeri yang penuh warna ini. Dari pagoda-pagoda keemasan hingga pertunjukan boneka spiritual, dan dari wajah bertato suku Chin hingga puisi peringatan yang dibacakan setiap 19 Juli, Myanmar menunjukkan bagaimana bangsa dapat berdiri kokoh di atas luka dan warisan leluhurnya.
Hari Martir adalah pengingat abadi bahwa kemerdekaan bukanlah hadiah, melainkan hasil perjuangan berdarah yang harus dihargai oleh setiap generasi. [UN]




