Seperti tahun-tahun sebelumnya, tahun ini bangsa Indonesia kembali memperingati Hari Kesaktian Pancasila, 1 Oktober. Kali ini, peringatan dilangsungkan secara virtual dengan protokol kesehatan Covid-19. Sebanyak 57 petugas terlibat dalam Upacara Peringatan Hari Kesaktian Pancasila yang berlangsung di Monumen Pancasila Sakti, Jalan Raya Pondok Gede, Lubang Buaya, Jakarta Timur, selama 30 menit mulai pukul 08.00.
Selain petugas, turut hadir dalam Upacara Peringatan Hari Kesaktian Pancasila Presiden Republik Indonesia yang bertindak sebagai inspektur upacara. Teks Pancasila dibacakan Ketua Dewan Perwakilan Daerah RI, sementara naskah Undang-Undang Dasar RI tahun 1945 dibacakan oleh Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat RI, serta Ikrar dibacakan dan ditandatangani oleh Ketua Dewan Perwakilan Rakyat RI.
Kemudian, hadir pula Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi RI, Panglima TNI, Kepala Kepolisian Negara RI, serta para menteri, pimpinan lembaga negara/instansi pusat. Sementara itu, para pimpinan tinggi madya atau sederajat diwajibkan mengikuti Upacara Peringatan Hari Kesaktian Pancasila, yang dilaksanakan secara virtual, dari kantor masing-masing.
Hari Kesaktian Pancasila diperingati agar sejarah kelam peristiwa Gerakan 30 September (G30S) tak terulang kembali. Kita tahu, pada 30 September 1965 malam menjelang 1 Oktober dini hari, telah terjadi rencana pembunuhan terhadap enam jenderal senior dan beberapa orang lainnya. Sebelumnya mereka diculik dari rumah masing-masing oleh sejumlah tentara Cakrabirawa yang loyal kepada Partai Komunis Indonesia (PKI).
Pimpinan PKI menuduh, para jenderal tersebut akan melakukan makar terhadap Presiden Soekarno dengan membentuk “Dewan Jenderal”. Para korban yang terdiri dari enam jenderal dan satu perwira TNI Angkatan Darat itu adalah Letnan Jenderal Anumerta Ahmad Yani, Mayor Jenderal Raden Soeprapto, Mayor Jenderal Mas Tirtodarmo Haryono, Mayor Jenderal Siswondo Parman, Brigadir Jenderal Donald Isaac Panjaitan, Brigadir Jenderal Sutoyo Siswodiharjo, dan Lettu Pierre Andreas Tendean.
Sementara Jenderal TNI Abdul Haris Nasution yang menjadi sasaran utama, selamat dari upaya pembunuhan tersebut. Namun, putri beliau, Ade Irma Suryani Nasution dan ajudannya, Lettu CZI Pierre Andreas Tendean tewas di tangan para tentara pembelot tersebut.
Selain mereka, beberapa orang lainnya juga turut menjadi korban. Mereka adalah Bripka Karel Satsuittubun (Pengawal kediaman resmi Wakil Perdana Menteri II dr. J. Leimena), Kolonel Katamso Darmokusumo (Komandan Korem 072/Pamungkas, Yogyakarta), dan Letkol Sugiyono Mangunwiyoto (Kepala Staf Korem 072/Pamungkas, Yogyakarta).
Para korban tersebut kemudian dibuang ke suatu lokasi di Pondok Gede, Jakarta yang dikenal sebagai Lubang Buaya. Jenazah mereka baru ditemukan dua hari kemudian pada tanggal 3 Oktober.
Pasca pembunuhan, pihak PKI langsung menguasai dua sarana komunikasi vital: studio RRI di Jalan Merdeka Barat dan kantor Telekomunikasi yang terletak di Jalan Merdeka Selatan. Melalui RRI, PKI menyiarkan pengumuman pihaknya telah mengambil tindakan tegas terhadap para perwira tinggi anggota “Dewan Jenderal” yang berkomplot akan mengkudeta pemerintah. Diumumkan pula terbentuknya “Dewan Revolusi” yang diketuai Letkol Untung Sutopo.
Mengingat belum adanya kepastian kabar mengenai Letjen Ahmad Yani, Mayjen Soeharto sebagai Panglima Komando Strategi Angkatan Darat kala itu mengambil-alih komando Angkatan Darat. Sementara Kolonel Sarwo Edhi Wibowo, yang menjadi Komandan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD), berupaya menghimpun pasukan dari Divisi Siliwangi dan Kavaleri.
Setelah daerah di sekitar Istana Merdeka dan Medan Merdeka berhasilkan dibersihkan dari pasukan PKI, operasi pengamanan ditujukan ke Pangkalan Halim Perdana Kusama dan sekitarnya yang dijadikan basis gerakan G30S. Soeharto mengirim pesan kepada Presiden Sukarno, melalui ajudannya Kolonel KKO Bambang Widjanarko, agar segera meninggalkan kompleks Halim, selambat-lambatnya pukul 24.00.
Menjelang petang hari, sebagian pasukan PKI yang merasakan tekanan mulai menyingkir keluar dari Halim. Perintah Presiden melalui Brigjen Supardjo agar menghentikan gerakan PKI, menimbulkan kerumitan bagi tokoh-tokoh PKI DN Aidit, Sjam, dan Pono.
Selepas Magrib, dipimpin Kapten Heru dan Kapten Urip, pasukan RPKAD berhasil menguasai gedung RRI dan Telkom. Mereka tidak mendapat perlawanan karena anak buah Letkol Untung telah melarikan diri. Gedung Telkom yang waktu itu dijaga Pemuda Rakyat juga dapat dengan mudah dikuasai kembali.
Akhirnya, Presiden Sukarno beserta rombongan berhasil meninggalkan Pangkalan Halim Perdanakusuma, melalui jalan darat menuju Bogor, tepat pada pukul 23.30, tanggal 1 Oktober 1965.
Pada pukul 01.00 dini hari tanggal 2 Oktober 1965, Mayjen Soeharto memerintahkan kesatuan-kesatuan RPKAD dibantu oleh Batalyon 328 Kujang/Siliwangi, satu kompi tank dan satu kompi panser Kavaleri untuk membebaskan Pangkalan Halim. Kepada pasukan-pasukan yang ditugasi pun dipesankan, agar dalam melaksanakan perintah ini sedapat mungkin menghindarkan pertumpahan darah serta menghindarkan pengrusakan terhadap benda-benda yang berguna.
Demikianlah sekitar pukul 03.00 pagi, pasukan tersebut bergerak menuju sasaran yang telah ditentukan. Dan pada pukul 06.00 pagi, lapangan udara Halim telah dapat dikuasai kembali.
Gerakan pengamanan selanjutnya dilakukan di daerah Lubang Buaya yang diduga kuat dijadikan tempat pembunuhan terhadap tujuh orang perwira tinggi Angkatan Darat. Baku tembak pun terjadi di Lubang Buaya antara pasukan RPKAD dengan para pemberontak, sehingga jatuh beberapa korban.
Pada pukul 14.00, gerakan pengamanan oleh satuan-satuan RPKAD dan Yon 328 Kujang di sekitar Cililitan dan Lubang Buaya dihentikan karena para pemberontak telah melarikan diri ke luar kota. Dengan telah dikuasainya Halim dan bubarnya pasukan pemberontak, maka gagallah Gerakan 30 September yang didalangi PKI. Para pemimpin pemberontak meninggalkan Halim menuju Pondok Gede, dan selanjutnya menyelamatkan diri dari kejaran pasukan RPKAD.
Pada tanggal 16 Oktober 1965, Presiden Sukarno melantik Mayjen Soeharto menjadi Menteri/Panglima Angkatan Darat di Istana Negara. Lima bulan kemudian, pada tanggal 11 Maret 1966, Sukarno memberi Soeharto kekuasaan tak terbatas melalui Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar).
Bung Karno memerintahkan Soeharto mengambil “langkah-langkah yang sesuai” untuk mengembalikan ketenangan dan untuk melindungi keamanan pribadi dan wibawanya. Kekuatan tak terbatas ini pertama kali digunakan oleh Soeharto untuk melarang PKI.
Langkah untuk mengamankan rakyat dari G30S pun terus berlanjut dengan sejumlah operasi yang dijalankan. Di antaranya, operasi Trisula di Blitar Selatan dan Operasi Kikis di perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Melalui operasi itu, para tokoh PKI ditangkap. Ketua PKI DN Aidit yang dituding sebagai dalang pemberontakan ditemukan tewas tertembak dalam operasi tersebut. Sementara, sebagian tokoh PKI diadili di Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub) dan beberapa lainnya dijatuhi hukuman mati.
Setelah kejadian tersebut, 30 September diperingati sebagai Hari Peringatan Gerakan 30 September (G30S) dan hari berikutnya, 1 Oktober, ditetapkan sebagai Hari Kesaktian Pancasila. [Gab]
Baca juga :
- CIA dan Misteri G30S
- Apa dan Siapa Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia)