Koran Sulindo – Pernikahan anak di Indonesia masih sangat tinggi. Council of Foreign Relations mencatat Indonesia merupakan peringkat ke-7 dari 10 di dunia dengan angka absolut pengantin anak tinggi. Di Asia Tenggara, pernikahan anak di Indonesia hanya kalah dari Kamboja.
Pernikahan anak terakhir yang ramai diberitakan media massa terjadi di Kabupaten Tapin, Kalimantan Selatan. Perkawinan tersebut terjadi antara seorang bocah laki-laki berusia 14 tahun dengan seorang bocah perempuan berusia 15 tahun. Perkawinan tersebut dilakukan secara siri dan tidak didaftarkan ke Kantor Urusan Agama (KUA) setempat.
Sebelumnya, masyarakat juga sempat digegerkan dengan pemberitaan di media massa tentang perkawinan dua pelajar SMP di Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan. Perkawinan itu dilakukan karena si bocah perempuan disebut-sebut takut tidur sendiri lantaran sudah tidak memiliki ibu, sedangkan bapaknya kerap keluar kota untuk bekerja. Perkawinan dua bocah itu kemudian ditolak oleh KUA setempat, meskipun sempat mendapatkan dispensasi atau izin dari pengadilan agama.
Menurut penelitian yang dilakukan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak serta Badan Pusat Statistik (BPS), pada 2016 tercatat 94,72 persen perempuan usia 20 tahun hingga 24 tahun berstatus pernah kawin yang melakukan perkawinan di bawah usia 18 tahun putus sekolah, sementara yang masih bersekolah hanya sebesar 4,38 persen.
Pernikahan anak memiliki dampak yang panjang bagi anak, yang pada ujungnya akan melestarikan kemiskinan.
“Anak dikawinkan akhirnya akan putus sekolah. Anak memiliki anak, tentu perlu bekerja untuk menghidupi anaknya. Yang terjadi kemudian adalah pekerja anak,” kata Deputi Tumbuh Kembang Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Lenny N Rosalin, beberapa lalu, seperti dikutip antaranews.com.
Karena putus sekolah dan tidak memiliki pendidikan tinggi, akhirnya anak tersebut bekerja apa adanya. Dampaknya, anak tersebut tidak mendapatkan upah yang layak sehingga akhirnya akan hidup dalam kemiskinan.
Idola
Pemerintah menyatakan ber komitmen untuk melindungi anak-anak Indonesia. Selain meratifikasi Konvensi Hak Anak melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990, Indonesia memiliki Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang telah diubah melalui Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014.
“Konvensi Hak Anak dan Undang-Undang Perlindungan Anak mengharuskan negara memberikan kepentingan terbaik bagi anak-anak. Perkawinan bukanlah kepentingan terbaik bagi anak,” kata Lenny.
Sebagai bentuk komitmen negara, selain ratifikasi Konvensi Hak Anak dan Undang-Undang Perlindungan Anak, perlindungan anak juga sudah masuk dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2015-2020.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak telah mencanangkan Indonesia Layak Anak (Idola) 2030 sebagai sasaran antara untuk mewujudkan Generasi Emas 2045.
Untuk mewujudkan Idola 2030, Kementerian merintis program Kabupaten/Kota Layak Anak, yang bersifat dari bawah ke atas, mulai dari Desa/Kelurahan Layak Anak dan Kecamatan Layak Anak.
Program Kabupaten/Kota Layak Anak memiliki 24 indikator yang intinya merupakan upaya-upaya perlindungan anak dan memberikan kepentingan terbaik anak berdasarkan Konvensi Hak Anak.
Direktur Keluarga, Perempuan, Anak, Pemuda, dan Olahraga Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Lisa Woro Srihastuti Sulistianingrum mengatakan pencegahan perkawinan anak harus dilakukan secara menyeluruh dan terpadu.
“Upaya pencegahan perkawinan anak harus dilakukan secara holistik, integratif, tematik, dan spasial. Harus melibatkan banyak pihak karena pemerintah tidak bisa bekerja sendiri,” katanya.
Pengadilan agama
Sementara itu Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Retno Listyarti mengatakan pengadilan agama merupakan benteng terakhir untuk mencegah perkawinan anak.
“Karena perkawinan di bawah umur harus mendapatkan izin atau dispensasi dari pengadilan agama, pengadilan agama jangan mudah memberikan izin,” kata Retno.
Pengadilan agama dan KUA memang memiliki ranah yang berbeda. Pengadilan agama merupakan bagian dari yudikatif, sedangkan KUA yang berada di bawah Kementerian Agama merupakan eksekutif. Bila pengadilan agama sudah mengizinkan dua anak menikah, KUA tidak boleh menolak untuk menikahkan mereka.
Untuk mencegah perkawinan anak kembali terulang, KPAI mendorong pendewasaan usia minimal perkawinan karena peningkatan kualitas sumber daya manusia akan bisa dicapai bila pernikahan tidak dilakukan pada usia yang terlalu muda.
KPAI mendorong usia perkawinan ditingkatkan dari sebelumnya perempuan 16 tahun menjadi 18 tahun, sedangkan laki-laki dari 18 tahun menjadi 21 tahun. Karena itu, KPAI mendukung DPR untuk merevisi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Usia minimal perkawinan yang diatur dalam undang-undang itu sudah tidak relevan dengan kondisi terkini.
“Sejak 1974 itu, sudah lama sekali. Memang perlu direvisi. Mungkin dulu orang tua kita menikah di usia muda masih relevan. Namun, di era sekarang sudah tidak lagi relevan,” kata Retno. [DAS]