Harga Daging Tak Kunjung Jinak

Presiden Joko Widodo saat meninjau kapal pengangkut ternak di Pelabuhan Tanjungpriok, Jakarta, 12 Desember 2015.

Koran Sulindo – Pemerintah seakan mati kutu menghadapi gejolak harga daging sapi. Memasuki awal Romadon 1437 Hijriah, harga daging sapi terus saja melambung. Bahkan, survei pasar Kementerian Perdagangan menyebutkan, dua pekan menjelang Ramadhan (20/5) harga daging sapi tingkat nasional rata-rata mencapai Rp 112 ribu per kilogram.  Menginjak  awal Ramadhan, 6 Juni lalu, harganya langsung melonjak hingga Rp 135 ribu per kilogran. Bahkan, di beberapa daerah, seperti Aceh, menyentuh harga Rp 150 ribu hingga  Rp 160 ribu per kilogram.

Lonjakan harga itu sebenarnya persoalan klasik–terkait hukum ekonomi supply dan demand–yang telah dialami masyarakat selama bertahun-tahun. Setiap kali menjelang Romadon, harga daging pasti melambung. Sementara pemerintah–-selaku pemegang kekuasaan yang dipercaya rakyat untuk mengatur sistem perekonomian nasional–seakan tidak berdaya memupus siklus lonjakan harga daging sapi tersebut.

Melonjaknya harga daging sapi ini tentu saja menjadi pertaruhan kredibiltas pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla karena dalam rapat koordinasi dengan seluruh menteri di Kantor Presiden awal Juni lalu, presiden berjanji akan menurunkan harga daging sapi menjadi Rp 80 ribu sampai  Rp 85 ribu per kilogram. “Saya perintahkan menteri-menteri, caranya saya tidak mau tahu, saya minta sebelum Lebaran harga daging harus di bawah Rp 80 ribu per kg,” tegasnya.

Menurut Jokowi, harga daging sapi di Malaysia dan Singapura berkisar Rp 50 ribu – Rp 55 ribu per kg. Sementara di Indonesia harga normal mencapai Rp 90 ribu hingga Rp 100 ribu per kg. “Jika di negara lain harga daging bisa di bawah Rp 80 ribu per kg, maka di Indonesia pun bisa terjadi,” ujar Jokowi.

Tak pelak, sejumlah strategi mulai disusun pemerintah untuk menekan harga, dari operasi pasar oleh Bulog, mendatangkan sapi lokal dari Nusa Tenggara Timur untuk memenuhi permintaan masyarakat Jabotabek, hingga membuka kran impor sapi potong dari Brazil dan Australia sebanyak 27.400 ton. “Pemerintah juga telah melakukan operasi pasar daging sapi dengan menjual 1.800 ton daging sapi di sejumlah wilayah di Tanah Air dengan harga Rp 80 ribu per kg, sesuai perintah presiden,” kata Menteri Pertanian, Amran Sulaiman.

Tapi apa mau dikata, sampai dengan Romadon tiba harga daging sapi tidak kunjung turun. Bahkan, tren harganya akan terus membumbung menjelang Lebaran. Sejumlah kalangan menilai, pernyataan Presiden Jokowi yang berjanji akan menurunkan harga daging sapi hanya isapan jempol belaka. “Mana buktinya? Sampai sekarang pun tidak ada tanda-tanda harga daging sapi akan turun,” ujar Sulistiani, warga Tangerang. Ia merasa kecewa karena harga daging sapi dan sejumlah barang kebutuhan pokok yang terus melonjak.

Ketua Umum Perhimpunan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia (PPSKI), Teguh Boediyana, menjelaskan bukanlah perkara mudah menekan harga daging sapi di bawah Rp 80 ribu per kilogram seperti permintaan presiden. “Walaupun dengan mendatangkan sapi lokal dari Nusa Tenggara Timur atau operasi pasar oleh Bulog, harga daging sapi sulit untuk turun,” jelasnya.

Menurut Teguh, banyak faktor yang membuat harga daging sulit turun. Diantaranya, dampak dari kegagalan program swasembada di era pemerintahan sebelumnya yang telah menghabiskan dana Rp 18 triliun. Akar persoalannya sebenarnya simpel saja: kurangnya supply. Apabila supply-nya dipenuhi, maka otomatis harga akan terjaga.

Pemerintah rupanya sampai sekarang belum mampu memenuhi demand pasar lantaran supply-nya kurang. Sejumlah daerah penghasil sapi di berbagai wilayah Nusantara selama ini juga seolah tak bisa berbuat banyak untuk memenuhi tingginya permintaan daging sapi dari hari ke hari. Apalagi di saat menjelang lebaran.

“Program swasembada sapi gagal. Mestinya program ini yang diprioritaskan, pemerintah harus menggiatkan kembali swasembada sapi agar tidak terulang kembali kasus harga daging sapi melonjak setiap menjelang Ramadhan dan Lebaran,” papar Teguh.

Terkait impor, harga daging sapi kerap mengacu pada harga daging dan sapi impor lantaran sekitar 45 % kebutuhan daging nasional berasal dari impor. Karena acuannya harga impor, maka akan berbeda dengan harga yang ditetapkan pemerintah. “Solusi jitu untuk menurunkan harga daging sapi adalah pemerintah membeli daging sapi dengan harga pasar dari dalam negeri kemudian menjualnya dengan harga yang disubsidi,” tandas Teguh. “Dengan begitu, harganya tidak mengikuti mekanisme pasar melainkan ditetapkan oleh pemerintah.”

Pemerintah sendiri pun sampai sekarang tampak masih kesulitan merealisasikan harga jual daging sapi Rp 80 ribu per kilogram. Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Bidang Pengolahan Makanan dan Industri Peternakan, Juan Permata Adoe, mengaku ada faktor-faktor di luar kendali industri dan pemerintah yang menyebabkan harga daging sapi naik. “Salah satu penyebabnya adalah instabilitas harga pangan. Penyelesaiannya tidak gampang,” kata Juan, di acara fokus group diskusi yang digelar di Jakarta awal Juni lalu.

Jika ingin mencapai harga daging sapi Rp 80 ribu per kilogran, kata Juan lagi, dipastikan dapat diperoleh dari daging beku. Sementara untuk menurunkan harga daging sapi segar di pasar dapat dilakukan melalui impor dengan syarat pembatasan berat sapi maksimal 350 kilogran, masa penggemukkan 120 hari, dan pengenaan bea masuk 5 %.

Tapi, menurut Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo, belum turunnya harga daging sapi karena ada indikasi permainan oleh pihak tertentu.  Terkait dengan hal ini, dia sudah berkoordinasi dengan Menteri Perdagangan (Mendag)  untuk memetakan wilayah mana saja yang mengalami lonjakan harga untuk segera dilakukan operasi pasar. “Setelah diskusi dengan Menteri Perdagangan, ada indikasi permainan. Saya sudah berkoordinasi dengan Polri untuk bisa mengusut tuntas mafia daging,” tegas Tjahjo Kumolo.

Selain operasi pasar dan menindak mafia daging, strategi menekan harga dilakukan pemerintah dengan cara memangkas mata rantai pasokan daging lokal dari Nusa Tenggara Timur ke Jakarta. Di samping itu, pemerintah bekerjasama dengan koperasi dalam penyaluran daging sapi lokal dengan haga sesuai permintaan presiden.

Meski begitu, penurunan harga belum merata. Strategi pemerintah berujung tanpa hasil memuaskan. Harga daging masih saja membumbung tinggi di awang-awang. “Penurunan harga daging membutuhkan waktu,” kilah Amran Sulaiman.

Persoalannya, butuh waktu sampai kapan pemerintah bisa menjinakkan harga daging sapi? Akankah janji Presiden Jokowi hanya “isapan jempol”  belaka dan masyarakat menanti realisasi janjinya seperti menunggu Godot? [ARS]