Harga Cabai Rawit Yang ‘Stabil’ Naik dan Turun

Hargai cabai rawit merah mencapai Rp 160 ribu per kilogram [Foto: Istimewa]

KALANGAN pengamat menyebutkan jika mahalnya harga cabai adalah hal yang biasa terjadi setiap tahun. Hal tersebut karena tingginya permintaan namun tak ada supply barang karena disebabkan musim hujan atau musim kemarau yang mengganggu aktivitas produksi cabai. Masalah yang sama selalu berulang setiap tahunnya.

Peneliti INDEF (Ekonomi Institute for Development of Economic and Finance) Rusli Abdullah mengungkapkan untuk tahun lalu dan tahun ini memang masalahnya berkaitan selain musim hujan ada juga masalah COVID-19 yang memberi dampak.

Dinas Pertanian (Dispertan) Kabupaten Garut mengatakan bahwa salah satu penyebab mahalnya harga cabai rawit di pasaran karena pasokan dari petani minim. Pasokan petani tidak mampu memenuhi kebutuhan pasar untuk komoditas tersebut.

“Terutama yang cabai rawit meski produksinya bisa tanam sepanjang tahun tapi serangan hama penyakit juga tinggi, produksi turun itu salah satunya harga menjadi naik,” kata Kepala Dinas Pertanian Beni Yoga dikutip dari Antara Garut, Selasa (9/3).

Dia menuturkan, Kabupaten Garut merupakan penghasil cabai, salah satunya jenis cabai rawit dan biasa memasok ke sejumlah daerah di kota besar seperti Bandung dan Jakarta.

Terjadinya kenaikan harga cabai di pasaran karena stok dari petani kurang akibat banyak tanaman cabai di Garut diserang hama dan juga faktor cuaca dengan curah hujan yang tinggi.

Melonjak pada Setiap Musim

Rusli Abdullah mengatakan, salah satu alasan kenaikan harga cabai di berbagai daerah adalah kurangnya pasokan dan suplai yang terbatas akibat musim.

Produksi cabai yang terhambat oleh musim kemarau menyebabkan pasokan terganggu.  Begitu juga di musim penghujan terjadinya gangguan hama dan busuk karena curah hujan tinggi menyebabkan pasokan juga terganggu.

Apalagi saat ini belum ada penciptaan varietas unggulan yang tahan terhadap perubahan iklim serta inovasi pada cara tanam.

Dalam kondisi ini, dia mengharapkan adanya upaya untuk mengurangi ketergantungan masyarakat terhadap cabai segar dan mulai menggunakan cabai bubuk atau sambal olahan agar produksi yang melimpah pada musim panen dapat terserap menjadi produk tahan lama.

“Jadi pemerintah harus mendorong masyarakat agar mereka lebih bisa adaptif terhadap cabai olahan,” kata Rusli.

Dalam kesempatan terpisah, pengamat pertanian dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia Kudhori mengatakan kondisi gagal panen atau rusaknya tanaman saat kemarau tidak hanya dialami cabai, namun juga tanaman hortikultura lainnya.

Namun, menurut dia, para petani seharusnya bisa mengantisipasi datangnya musim kemarau atau juga musim penghujan, karena BMKG secara rutin telah mengumumkan perkiraan iklim per tiga bulan sekali agar tidak terjadi kendala di daerah yang selama ini menjadi basis produksi cabai.

Peneliti Center for Indonesia Policy Studies (CIPS) Galuh Octania menambahkan penyebab lain minimnya produksi cabai adalah adanya ketakutan para petani untuk menanam di musim kemarau yang berkepanjangan, karena potensi gagal panen.

Menurut dia, pihak-pihak terkait harus bisa belajar dari kesalahan masa lalu karena siklus selalu terjadi tiap tahun. Seperti misalnya pola kemarau atau penghujan seperti saat ini dapat membuat produksi sejumlah komoditas pangan utama menjadi berkurang.

Sebagai informasi, Kementerian Pertanian terus melakukan berbagai upaya untuk menjamin ketersediaan komoditas strategis termasuk cabai rawit. Sebelumnya Direktur Jenderal Hortikultura, Prihasto Setyanto memastikan tidak ada impor untuk merespon kenaikan harga cabai yang terjadi dua bulan terakhir. Koordinasi dengan berbagai pihak untuk mempercepat pasokan dan meredam kenaikan harga cabai rawit telah dilakukan. “Kami sudah berkoordinasi dengan Badan Ketahanan Pangan, BUMN yakni PT Rajawali Nusantara Indonesia (RNI), Paguyuban Pedagang dan Pengelola Pasar Induk Kramat Jati, serta dengan para Champion Cabai Indonesia,” kata Prihasto.

Berbagai upaya jangka pendek yang dapat dilakukan untuk menstabilkan pasokan dan meredam kenaikan harga cabai rawit dibahas dalam rakor tersebut. BKP menggelar pasar cabai murah di 34 titik yang berlangsung dari tanggal 8-20 Maret. “Kita akan mendukung pendistribusian cabai dengan fasilitasi sarana distribusi yang dimiliki. Selain itu Ditjen Horti juga menyusun perjanjian kerjasama dengan RNI dalam upaya stabilisasi pasokan ini,” bebernya.

Pengamat Pertanian dari Institut Pertanian Bogor (IPB) Hermanto Siregar mengungkapkan memang di Indonesia produksi cabai masih tergantung pada musim. Jika saat panen raya maka stok cabai melimpah. Namun jika tidak stok akan menipis dan menyebabkan harga lebih mahal dari biasanya. “Sebenarnya persoalan supply demand biasa tapi masalahnya tidak ada pengembangan teknologi budidaya cabai di luar musim,” ujarnya. [S21]