Koran Sulindo – Secara ilmu politik orang yang aktif maupun tidak dalam kepengurusan partai politik (parpol) pada dasarnya tidak boleh menjadi anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Karena hakekatnya DPD merupakan lembaga kedua setelah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Jadi, tempatnya orang-orang parpol di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) atau parlemen. Hal itu sesuai tujuan dibentuknya parlemen adalah mewakili orang-orang dan mewakili kepentingan orang
“Sehingga hukum dasar orang partai berada di DPD adalah haram,” kata pengamat politik Universitas Gadjah Mada (UGM) Dr Abdul Gaffar Karim saat jadi pembicara dalam ‘Silaturrahim dan Dengar Pendapat Anggota DPD RI Drs HA Hafid Asrom MM dengan Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kulon Progo”, Jumat (14/4).
Ironisnya, menurut Gaffar Karim, di Indonesia hal ini diothak-athik, dengan maksud agar partai boleh masuk DPD. Itulah yang kata Gaffar Karim menjadi kesalahan mendasar sehingga membuat DPD ikut-ikutan menjadi rebutan bagi banyak orang.
Diingatkan Gaffar Karim bahwa latar belakang dibentuknya DPD adalah untuk memperjuangkan kepentingan daerah. Sehingga isi ‘kamar kedua’ atau DPD adalah harus diisi oleh wakil-wakil daerah, bukan wakil-wakil parpol.
“Jadi ‘isi’ DPD itu harus orang-orang daerah yang dipilih di daerah bukan karena kesamaan ideologi dengan orang lain,” katanya.
Mengingat anggota DPD merupakan orang-orang daerah dan dipilih di daerah, menurut Gaffar Karim, maka kesetiaannya tunggal yakni kepada daerah asalnya. Dijelaskan, anggota DPD dari DIY seperti Hafidh Asrom, GKR Hemas dan lain-lain merupakan contoh ideal orang-orang yang mewakili daerahnya. Karena dalam pikiran mereka tidak ada gangguan ideologi partai dan tidak harus menyamakan pendapatnya dengan orang-orang partai.
Dengan begitu, kata Gaffar Karim, yang harus mereka samakan, pendapatnya dengan orang-orang yang satu daerah, dan memperhatikan kepentingan daerah yang mereka wakili. Kalau anggota DPD dari Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), maka yang selalu ada dalam pikirannya hanya kepentingan masyarakat DIY. Nah, menurut Gaffar Karim, persoalan yang terjadi di DPD dipicu adanya konflik kepentingan.
“Munculnya perubahan tata cara jabatan di DPD karena ada orang ambisi yang ingin segera mendapat giliran menjabat. Idealnya sebuah lembaga dipimpin tuntas sampai masa baktinya selesai. Kalau DPD ya lima tahun,” ujar Gaffar Karim.
Wacana Lama
Pada kesempatan itu Hafidh Asrom mengatakan bahwa dirinya tidak kaget adanya peristiwa pergantian pimpinan DPD RI. Karena sejak periode pertama keanggotaan DPD isu atau wacana tentang masa jabatan pimpinan 2,5 tahun selalu menggema. Hal itu dilatarbelakangi adanya rasa mampu untuk menjadi pimpinan. Sehingga begitu melihat kesempatan langsung dimanfaatkan. Wacana pergantian pimpinan DPD 2,5 tahun itu, lanjut Hafid Asrom, sebenarnya sudah ada sejak periode pertama, yakni saat Ketua DPD dipegang oleh Ginanjar Kartasasmita. Namun wacana ini bisa diredam. Kemudian wacana itu muncul lagi saat periode kedua kala kepemimpinan Irman Gusman. Lagi-lagi wacana itu bisa diredam.
“Nah pada periode ketiga sudah tidak bisa lagi dibendung. Karena di situ banyak tokoh-tokoh yang sejak awal mengaku sebagai pendiri DPD. Mister X merasa yang mendirikan DPD karena yang bersangkutan dulu ketua kelompok utusan daerah,” kata Hafid Asrom.
Padahal, menurut Hafid Asrom, bila mengacu Undang-Undang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3) maka tata tertib (Tatib) nomor 1/ 2016 dan nomor 1/ 2017 tidak berlaku. Hal ini karena Mahkamah Agung telah mengeluarkan fatwa kedua tatib tersebut batal demi hukum, sehingga yang dipakai Tatib nomor 1/ 2014.
“Jadi yang berlaku Tatib nomor 1/2014 dengan masa jabatan pimpinan DPD RI lima tahun, sampai 2019. Dan agenda paripurna yang ricuh kemarin sebenarnya hanya membacakan keputusan MA, bukan pemilihan pimpinan,” kata Hafid Asrom. [YUK]