Hanging Coffins. (Sumber: BBC)

Di balik tebing-tebing curam dan gua-gua sunyi di berbagai wilayah Asia, tergantung peti-peti mati yang menjadi saksi bisu dari sebuah tradisi pemakaman unik nan sakral. Dikenal dengan istilah hanging coffins atau “peti mati gantung,” tradisi ini mencerminkan keyakinan spiritual mendalam sekaligus cara masyarakat kuno memuliakan orang yang telah tiada.

Tradisi ini bukan sekadar bentuk pemakaman alternatif. Ia merupakan perwujudan dari pandangan hidup dan kematian dalam berbagai budaya. Dari lereng batu di Tiongkok, tebing terjal di Sagada, hingga ngarai karst di Toraja, masing-masing wilayah memberi nuansa berbeda dalam memaknai kepergian manusia.

Namun, bagaimana tradisi pemakaman yang begitu tidak lazim ini bisa muncul dan berkembang di berbagai tempat dengan budaya yang berbeda? Untuk memahaminya lebih dalam, mari telusuri jejak sejarah dan persebaran hanging coffins di beberapa wilayah Asia yang menjadikannya sebagai warisan budaya yang sarat makna.

Jejak Sejarah dan Persebaran

1. Tiongkok

Di Tiongkok, tradisi ini dikenal dengan nama xuanguan (悬棺) dan terutama dikaitkan dengan suku Bo, sebuah kelompok etnis kuno yang pernah mendiami wilayah Sichuan dan Yunnan. Praktik ini diyakini telah berlangsung lebih dari 3.000 tahun yang lalu. Peti mati dibuat dari batang kayu besar yang dilubangi, lalu ditempatkan pada balok-balok kayu menjorok dari permukaan tebing atau diletakkan di ceruk-ceruk batu alami.

Tujuan utama dari metode pemakaman ini adalah spiritual: posisi tinggi dianggap mempercepat perjalanan roh menuju surga atau dunia spiritual. Selain itu, menggantung jenazah juga dianggap lebih aman dari binatang liar dan membantu menjaga kesucian tanah untuk pertanian.

2. Filipina

Di kawasan Sagada, Provinsi Mountain, tradisi hanging coffins dilakukan oleh suku Kankanaey. Peti mati digantung di bawah overhang tebing atau diletakkan pada rak-rak batu. Ukurannya cenderung kecil karena jenazah ditempatkan dalam posisi janin—sesuai keyakinan bahwa manusia harus kembali ke tanah dalam posisi yang sama saat datang ke dunia.

Tradisi ini tidak berlaku bagi semua orang. Hanya tetua adat atau tokoh yang dihormati yang mendapat kehormatan untuk dimakamkan di ketinggian. Semakin tinggi posisi peti, semakin tinggi pula status sosialnya semasa hidup. Namun, masyarakat Sagada juga menggunakan gua sebagai tempat pemakaman alternatif yang lebih umum.

3. Indonesia

Di Sulawesi Selatan, masyarakat Toraja menyimpan warisan serupa. Peti mati yang disebut erong digantung atau diletakkan di celah-celah tebing, seperti di situs pemakaman Londa dan Ke’te’ Kesu’. Bagi masyarakat Toraja, tempat tinggi adalah lambang kedekatan dengan alam roh. Selain itu, praktik ini mencerminkan rasa hormat yang tinggi terhadap leluhur, disertai upacara adat yang meriah dan penuh simbolisme.

Makna di Balik Ketinggian

Meski dilaksanakan di berbagai budaya dengan latar geografis dan kepercayaan yang berbeda, praktik hanging coffins memiliki benang merah: keyakinan bahwa roh orang yang telah meninggal harus ditempatkan di tempat tinggi untuk memudahkan perjalanannya ke alam baka atau dunia leluhur.

Tebing dan gua bukan sekadar latar fisik, melainkan penanda spiritual. Posisi tinggi juga menjaga jenazah dari gangguan binatang, mencegah pembusukan yang cepat, serta membebaskan lahan subur untuk pertanian dan permukiman.

Dalam beberapa budaya, pemakaman ini juga menjadi simbol stratifikasi sosial—di mana hanya mereka yang dihormati, berpengaruh, atau berjasa yang pantas mendapat tempat di langit batu.

Meskipun kini banyak di antara peti-peti itu tampak usang oleh waktu, proses pemakamannya tidak pernah sembarangan.

Di Toraja dan Sagada, jenazah ditempatkan dalam posisi janin, sesuai dengan siklus hidup-mati yang dipercaya masyarakat. Peti mati juga dibuat dari batang pohon utuh yang dilubangi secara manual. Dan upacara adat yang melibatkan keluarga besar dan masyarakat sekitar, dengan doa, nyanyian, serta sesajen.

Sedangkan di Tiongkok, pemasangan peti di tebing yang tinggi dan sulit dijangkau masih menjadi misteri arsitektural yang membuat banyak peneliti bertanya-tanya.

Seiring berkembangnya zaman, tradisi hanging coffins perlahan mulai ditinggalkan. Pemakaman modern yang lebih praktis dan terjangkau menjadi pilihan utama. Namun, situs-situs pemakaman gantung yang tersisa kini menjadi pusat wisata budaya dan kajian arkeologi.

Di Sagada dan Toraja, peti-peti tua yang menggantung di tebing kini tak hanya memeluk sejarah, tapi juga menyapa wisatawan dari seluruh dunia. Mereka datang bukan hanya untuk melihat pemandangan eksotis, melainkan juga untuk menghargai nilai spiritual dan filosofi hidup yang terpatri dalam setiap kayu yang tergantung.

Hanging coffins bukan sekadar cara untuk menguburkan jenazah. Ia adalah narasi panjang antara manusia dan kematian, antara bumi dan langit, antara penghormatan dan keyakinan. Meskipun perlahan memudar, tradisi ini tetap menggantungkan pesan bahwa dalam kematian pun, manusia tetap mencari cara untuk dekat dengan yang ilahi. [UN]