Hakim Sarmin: Revolusi Mental Saja Tak Cukup

Pentas Hakim Sarmin/Aji Wartono

Koran Sulindo – Tak sedikit – bahkan jumlahnya mencapai puluhan – para hakim ataupun jaksa yang notabene sebagai benteng terakhir di mana orang mencari keadilan justru menerima suap, dan tertangkap OTT oleh KPK, yang akhirnya masuk bui. Terakhir, kasus yang menggegerkan adalah tertangkapnya Ketua MK Akil Mohtar dan juga Hakim Konstitusi Patrialis Akbar.

“Kita menyadari, dalam laporan tahunan, saya juga sudah memaparkan bahwa kita tidak menutup mata pada 2016 banyak pejabat pejabat pengadilan yang terkena OTT (operasi tangkap tangan). Tetapi kita tidak boleh putus asa, justru itu memberi semangat saya untuk lebih meningkatkan pengawasan, dan penertiban terhadap penyimpangan yang dilakukan pejabat pengadilan,” kata Hakim Agung Hatta Ali, ketua Mahkamah Agung (MA) untuk periode 2012-2022 dalam konferensi persnya, di Jakarta, Selasa (14/2), sebagaimana dikutip Berita Satu.com.

Tentu, banyaknya oknum penegak keadilan yang terbelenggu kasus hukum menjadi keprihatinan bagi bangsa dan negara Indonesia. Tingkat kepercayaan masyarakat terhadap lembaga Yudiktif, tak pelak, merosot.

“Revolusi mental saja tak cukup. Perlu ada revolusi hukum,” tegas Hakim Sarmin kepada rekan-rekannya sesama hakim, Rabu (29/3) malam di Concert Hall Taman Budaya Yogya (TBY)

Siapakah Hakim Sarmin yang begitu lantang dan bahkan menggalang para hakim untuk melakukan revolusi hukum?

Sarmin adalah seorang tokoh dalam lakon ‘Hakim Sarmin’ yang diangkat oleh Teater Gandrik, dan dipentaskan di Concert Hall TBY, tanggal 29 dan 30 Maret ini, yang kemudian disusul di TIM Jakarta pada 5 – 6 April mendatang. Sebagai sutradara adalah Djaduk Ferianto, pembuat naskah adalah Agus Noor serta pemeran utama sebagai Hakim Sarmin adalah Butet Kartaredjasa.

Lakon Hakim Sarmin dipentaskan dengan latar belakang suasana yang ganjil: ketika semua hakim memilih masuk “Rumah Sakit Jiwa.” Para hakim yang tak mau masuk Pusat Rehabilitasi, kemudian dikabarkan mati terbunuh — mayatnya dibuang ke lubang buaya. Isu pembersihan hakim-hakim pun menebarkan kecemasan. Dikatakan oleh Dokter Menawi Diparani, yang menjadi pimpinan di Pusat Rehabilitasi, telah terjadi wabah kegilaan yang berbahaya karena sulit dikenali gejala-gejalanya. Kegilaan dengan cepat menjalar, lebih menakutkan dari wabah sampar.

Kepentingan politik, ambisi kekuasaan, siasat licik untuk saling menjatuhkan, semakin membuat ketegangan di antara para tokoh dalam lakon ini. Proyek Rehabilitasi pada satu sisi dianggap sebagai jalan keluar untuk mengatasi “wabah kegilaan,” tapi pada sisi lain dianggap pemborosan anggaran dan dicurigai sebagai sebuah proyek yang membahayakan kekuasaan; terlebih-lebih ketika isu pemberontakan hakim merebak, dan melibatkan Pak Kunjaran Manuke (Komandan Keamanan), Bung Kusane Mareki (seorang politisi muda yang ambisius), dan Sudilah Prangin-angin (seorang pengacara yang menjadi penasehat Pimpinan Kota). Sementara Mangkane Laliyan (Pimpinan Kota) sendiri makin terlihat lelah karena penyakitnya yang tak kunjung sembuh.

Lakon ini mengisahkan sebuah jaman, ketika keadilan dan kegilaan tak lagi bisa dibedakan. “Kegilaan dimulai dari pikiran,” begitu kata Hakim Sarmin. Sementara Dokter Menawi Diparani dianggap tak lagi bisa mengendalikan para hakim yang menjadi pasien di Rumah Sakit Jiwa yang dipimpinnya, ketika para hakim itu mulai menggerakkan “Revolusi Keadilan.” Dengan gayanya, Hakim Sarmin berkata, “Revolusi selalu diawali oleh mereka yang gila.”

Pentas Hakim Sarmin/Aji Wartono

Menurut Butet, lakon Hakim Sarmin ibaratnya sebuah sanepa, nglulu atas situasi  carut marut kondisi hukum di negeri ini. Banyak hal-hal ganjil yang sulit diterima akal sehat, tapi diam-diam diamini masyarakat. Sebuah kekacauan lama-lama dianggap biasa. Bayangkan, para aparat hukum – polisi, pengacara, jaksa dan hakim – masih konsisten memain-mainkan perkara. Bahkan Hakim Konstitusi bisa ditembus suap, banyak keputusan hukum kontroversial, dokumen-dokumen pengadilan bisa hilang dicuri oleh orang dalam sendiri.

“Lakon Hakim Sarmin merespon kegilaan itu, dan mengimajinasikan apa yang bakal terjadi jika seluruh kekuasaan dalam kehidupan ini diserahkan dan dipercayakan kepada para hakim saja,” ujar Butet kepada Koran Sulindo.

Lakon yang membongkar kegilaan masyarakat di tengah carut-marut hukum ini menjadi sebuah tontonan menarik ketika dimainkan oleh Teater Gandrik. Guyonan dan pengadegan gaya Teater Gandrik, akan membuat lakon Hakim Sarmin ini menjadi tak sekadar penuh tawa, tetapi juga ironi yang membuat kita (dipaksa) memikirkan kembali kewarasan kita. ‘Waras”, menurut Agus Noor, tidak hanya bermakna “sehat”, tetapi juga “tetap terjaganya kesadaran” ketika situasi dan kondisi sudah terjangkiti kegilaan. Rakyat yang waras, lanjutnya, adalah rakyat yang masih mencoba mempertahankan kesadaran hidup dan kewaspadaan daya pikirnya. Ronggowarsito mengingatkan “eling lan waspada”, sementara Rendra menyebut kewarasan itu sebagai daya hidup rakyat yang tetap menjaga akal sehat.

Rakyat yang waras, menurut Agus Noor, terus melakukan apapun yang bisa mereka kerjakan untuk menjaga kesadaran. Ini bukan semata kekuatan sipil yang memiliki kesadaran untuk membantu peran negara, tetapi juga kenyataan faktual betapa negara sebagaimana digagas Ernest Renan, yakni negara yang dibentuk berdasarkan kesepakatan untuk bersama-sama mencapai keadilan dan kehidupan bermartabat, justru dipenuhi aparatur yang tidak mampu mewujudkannya. Rakyat yang waras memang mengindikasikan tingkat kedewasaan dalam bernegara.

“Saya membayangkan Anda yang menonton pementasan Hakim Sarmin ini, pastilah termasuk rakyat yang masih waras,” kata Agus Noor. [YUK]