Catatan Cak AT:

Alangkah ajaibnya republik ini. Kita pikir kita sudah cukup sering menonton drama hukum kelas wahid, lengkap dengan adegan ketukan palu, sorot kamera, dan narasi “demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.” Ternyata belum. Masih jauh dari kelas dua, apalagi dari kelas satu.

Kemarin (20/11/2025), rakyat diberi tontonan episode baru: bagaimana sebuah putusan bisa lebih absurd dari sinetron mistis jam sebelas malam, ketika logika ikut menyerah dan lari terbirit-birit meninggalkan ruang sidang pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat. Rakyat menyaksikan sidang itu via streaming.

Coba tengok nasib Mbak Ira Puspadewi dan kawan-kawan. Semua fakta persidangan —iya, semua— menunjukkan mereka tidak mengambil sepeser pun uang negara. Duit ASDP tidak bocor, tidak digerogoti, tidak dijilat, bahkan tidak dicolek. Semua hakim mengakui itu.

Hakim juga membuktikan, mereka tidak berniat korupsi, tidak menerima hadiah yang berbau sogokan, dan tidak main mata dengan siapa pun. Tapi entah bagaimana, tiba-tiba Mbak Ira dkk dikalungi vonis seolah-olah sedang memakai kalung mutiara palsu: tak cocok, tak nyambung, dan tak ada gunanya.

Lebih lucu lagi: ketua majelis hakim, yang biasanya jadi kompas moral sebuah persidangan, justru disingkirkan pendapatnya. Hakim ketua ini, bernama Sunoto, bilang begini soal pokok perkara yang diadili: “Ini keputusan bisnis. Tidak ada mens rea. Tidak ada kerugian negara yang terbukti.”

Tetapi dua hakim lainnya tampaknya sedang memakai Google Translate untuk menerjemahkan justice, dan hasilnya berubah jadi “asal ketok”. Padahal, pendapat Sunoto itu bukan pendapat kacangan. Ia bicara tentang Business Judgement Rule (BJR).

Anda pun tahu, BJR itu sebuah konsep hukum tingkat tinggi, pusat gravitasi tata kelola korporasi modern, semacam vitamin otak bagi direksi yang harus mengambil keputusan berisiko demi berkembangnya perusahaan. Tapi rupanya di ruang sidang itu, BJR dianggap seperti pengumuman liburan: bisa diabaikan.

Lalu muncullah alasan paling heroik dari majelis: bahwa para terdakwa telah “memperkaya orang lain”. Sebuah frasa dalam UU Tipikor yang diperlakukan seolah-olah “atau” di situ artinya “pokoknya salah”. Padahal, “atau” dalam bahasa hukum itu pilihan. Bukan paket lengkap. Bukan combo meal.

Dan celakanya, hakim tidak bisa menjelaskan bagaimana orang lain yang diperkaya itu? Siapa pula? Pemilik perusahaan? Loh, kapal-kapalnya justru diambil-alih ASDP, bahkan juga perusahaannya. Kalau begitu, siapa? Jin penjaga dermaga? Atau siluman akuntansi yang muncul tiap akhir tahun fiskal?

Dalam ilmu ekonomi paling dasar —yang bahkan pedagang cilok pun paham— setiap orang berhak mendapatkan keuntungan dari jual-beli. Ini fundamental law of jualan. Beli rumah 1 miliar, rawat 5 tahun, lalu jual 2 miliar. Itu bukan dosa. Itu wajar.

Yang tidak wajar adalah kalau saya jual rumah 1 miliar, lalu disuruh jual rugi 700 juta. Itu bukan transaksi, itu amal jariyah terpaksa.

Begitu juga dengan kapal-kapal yang, buka hanya dibeli, tapi diakuisisi ASDP. Kapal itu bukan ikan di freezer, tapi aset yang dirawat, dipelihara, dihitung depresiasi dan residual value-nya.

Usia 20–30 tahun bukan berarti wajib dijual murah. Kalau begitu, mobil klasik milik kolektor di Eropa yang harganya 12 kali lipat harusnya ditangkap KPK juga, karena “memperkaya orang lain”.

Tapi logika semacam itu rupanya sedang cuti. Hakim-hakim itu lebih sibuk main bisnis pasal, bukan bisnis akal sehat. Barangkali memang benar, logika mereka sedang diparkir di dengkul kaki, dan sayangnya dengkul itu pun tampaknya tidak protes.

Dan betapa ironisnya, vonis kali ini diberikan oleh majelis yang tahu persis bahwa hukuman semacam ini akan membuat para direksi BUMN se-Indonesia kelak gemeteran sebelum mengambil keputusan bisnis.

Mereka akan berpikir begini: “Kalau untung, dipuji. Kalau buntung, dipenjara.” Lah, bagaimana perusahaan bisa berkembang kalau direksinya dipaksa jadi cenayang?

Andaikan para hakim itu pernah berjualan cilok atau kacang rebus di pinggir jalan, mereka pasti paham bahwa orang berjualan tidak pernah menargetkan rugi. Hanya semut yang mau menjual gula lebih murah daripada harga gula —karena dia tinggal di sarangnya dan tidak butuh biaya operasional.

Penonton pun hanya bisa geleng-geleng kepala. Rasa-rasanya membacakan putusan semacam ini hanya cocok apabila para hakimnya memakai jubah bertuliskan “Plot Twist”.