Kelangkaan Beras

Seperti desa-desa lain di Priangan yang subur, kehidupan di Cimareme, Banyuresmi, Garut, Jawa Barat tergolong relatif baik. Rakyat tak terlalu kesulitan mendapatkan uang baik dari mengerjakan tanah atau menjadi buruh perkebunan yang selalu kekurangan tenaga.

Namun, dengan lebih banyak tanah-tanah subur diubah menjadi perkebunan di era tanam paksa, wilayah ini konsisten mengalami kekurangan pangan. Sepanjang tahun 1914 hingga 1917, daerah ini defisit 400.000 ton beras. Jumlah itu merupakan 13 persen produksi beras di Jawa.

Selain karena jumlahnya yang terbatas, beras juga bukan merupakan komoditas yang dijual bebas. Pengadaan dan persediannya dimonopoli pemerintahan kolonial dengan menunjuk bupati dan para begundalnya sebagai makelar.

Tak hanya sulit membeli beras, petani juga wajib menjual gabah hasil panen kepada pemerintah berdasarkan luas sawah. Setiap pemilik satu bau sawah wajib menjual padi 1 pikul gabah ke pemerintah, namun untuk sawah yang dianggap subur gabah yang harus dijual adalah 3 pikul. Khusus di Garut, jumlah gabah yang harus disetor petani makin besar jumlahnya yakni 4 pikul per bau. Kewajiban itu tidak berlaku bagi petani yang yang memiliki sawah kurang dari 0,5 bau.

Meskipun dibayar kontan, harga beli pemerintah sebesar 4,5 gulden/pikul dianggap jauh dari harga pasar yang mencapai 7,5 gulden per pikul.

Pemerintah juga menunjuk kantor lurah, camat dan wedana atau kabupaten sebagai tempat pembelian gabah, termasuk stasiun kereta api dan tempat penggilingan padi. Petani juga wajib mengangkut sendiri gabahnya ke tempat-tempat pembelian-pembelian yang sudah ditunjuk itu.

Bau adalah ukuran di pedesaan untuk menyebut lahan seluas 0,75 hektar sementara ukuran pikul sama dengan ukuran berat 60 kg.

Selain mengatur tata niaga, pemerintah juga membatasi persediaan yang boleh dimiliki petani menjadi paling banyak 3 pikul. Mereka yang ketahuan menyimpan gabah melebihi batas akan disita dan dikenai denda 100 gulden. Ancaman serupa juga diberlakukan kepada pedagang yang persediaannya melebih batas.

Memperlancar distribusi beras, pemerintah kolonial mengenjot sistem pengangkutan beras dari wilayah yang surplus ke daerah yang minus gabah seperti Priangan. Sementara untuk mengoperasionalkan sistem monopoli yang mencekik itu pemerintah menyiapkan anggaran 5.000 gulden untuk setiap kewedanaan. [TGN]

* Tulisan ini pernah dimuat pada 9 Juli 2019