Jenazah yang masih berlumuran darah itu dilemparkan begitu, bertumpuk-tumpuk di dalam gerbong untuk di bawa ke kota. Di dalam kereta, tubuh bergelimang darah itu tampak kemerahan juga darah yang menetes dari celah-celah gerbong.
Ketika kereta bergenang darah itu akhirnya tiba di kota, bau anyir menyeruak dan memicu orang-orang berkerumun. Gumam pelan segera menjelma menjadi pekik dahsyat penuh kengerian. Ya benar, kolonial Belanda memang tukang pamer kekejian yang sempurna.
Bahkan sebelumnya, agar menjadi contoh bagi ribuan rakyat yang menjadi saksi, semua korban yang tewas tertembus peluru itu dipenggal kepalanya. Ini peringatan kepada siapapun yang berani melawan penguasa, bakal bernasib sama.
Lalu, jenazah siapa yang bertumpuk-tumpuk mengenakan baju putih dengan lilitan jimat di gerbong kereta dan menjadi peringatan itu?
Itu adalah jenazah Haji Hasan, istri dan anaknya, Haji Bakar, Intasim, Sukanta, Engko, Udin serta Saedi. Kematian mereka dikenal sebagai ‘Pembantaian Cimareme’ yang terjadi pada tanggal 7 Juli 1919. Sejarah kemudian mencatat ‘Pembantain Cimareme’ adalah salah satu kejadian penting tahun 1919 yang memicu perdebatan sengit baik di tanah jajahan ataupun di negara induk Belanda.
Kematian Haji Hasan dan keluarganya adalah puncak perlawanan masyarakat Desa Cimareme melawan pemerintah kolonial. Dalam peristiwa itu tujuh orang meninggal, sementara 20 orang lainnya terluka akibat berondongan mimis marsose.
Sebagai seorang haji, keluarga Haji Hasan adalah keluarga terpandang di Cimareme. Ia adalah anak dari Kyai Tubagus Alpani, pemimpin pesantren di Cimareme yang merupakan keturuan bangsawan Banten. Ibunya, Djamilah adalah putri R Kartaningrat yang merupakan pendiri pesantren Cimareme.
Sebagai pemuka masyarakat, di Cimareme keluarga Haji Hasan juga memiliki tanah pertanian luas yang ditanami padi dan tembakau yang membuat Cimareme dikenal dengan ‘Bako Cimareme’. Ia juga mempunyai peternakan kuda waktu itu menjadi kekayaan dan status sosial penting. Keluarga itu juga mengusahakan kolam ikan mas yang luas dan kebun yang ditanami ratusan pohon kelapa.
Sejak muda Haji Hasan memang sudah menunjukkan sikap radikal, mungkin karena mengalirnya darah bangsawan sekaligus kyai yang membuatnya selalu terlibat permusuhan dengan pejabat Belanda.
Ia pernah berseteru dengan seorang kontrolir Belanda saat penduduk Cimareme diwajibkan kerja bakti untuk membuat jalan antara Sindangkulon dan Cibudug. Ia tersinggung sikap arogan kontrolir itu pada penduduk. Ia juga menolak tawaran pemerintah yang menawarinya sebagai pemimpin agama.
Mempelajari agama Islam di pesantren sejak muda, Hasan diharapkan dapat menggantikan kedudukan ayahnya sebagai seorang kyai. Ia justru lebih tertarik mendalami ilmu kesaktian dan mengajarkan pencak silat kepada para santri dan masyarakat sekaligus memobilisasi mereka dengan membentuk klub sepak bola. Klub itu dinamai Voetbal Merdeka Tani.
Kiprahnya yang intens di masyarakat, membuatnya tampil sebagai sosok berpengaruh. Selain itu sebagai pemimpin pesantren ia menggaet dukungan massa sekaligus legitimasi keagamaan.