Hajah Rangkayo Rasuna Said: Perempuan Ulama Pejuang

Rasuna Said pada tahun 1937.

Koran Sulindo – Usianya masih relatif muda, 22 tahun, ketika dirinya dijebloskan ke dalam sel Penjara Bulu, Semarang, di Jawa. Padahal, pengadilan pemerintah kolonial Belanda atas dirinya dilangsungkan di Landraad Payakumbuh, Sumatera Barat. Dan, itu terjadi tahun 1932.

Gadis belia tersebut menjadi narapidana politik karena lidahnya teramat tajam menggugat ketidakadilan pemerintah penjajah Belanda terhadap kaum pribumi. Lewat berbagai mimbar dan forum, ia tidak hanya memprotes kolonialisme, tapi juga menyerukan kepada bangsanya untuk berjuang merebut kemerdekaan yang telah direnggut penjajah.

Sejarah mencatat, dialah perempuan pertama di Indonesia yang menjadi korban dari Spreekdelict (delik mimbar), aturan yang dikeluarkan pemerintah kolonial Belanda untuk memberangus kebebasan berbicara di tanah jajahan. Para penjajah itu rupanya sangat ketakutan oleh kata-kata yang meluncur dari bibir seorang gadis cantik yang otaknya cemerlang dan nuraninya terang. Dialah Rasuna Said, seorang pengajar di Diniyah Putri, Padangpanjang, Sumatera Barat, sekaligus kader Partai Muslimin Indonesia (biasa disebut PMI atau Permi).

Tak pelak, tokoh pemuda pergerakan kemerdekaan Indonesia yang terkemuka, Soekarno, pun mengaggumi Rasuna. Insinyur muda yang menjadi Pemimpin Redaksi Majalah Fikiran Ra’jat itu pun kemudian membuat sebuah gambar sebagai protes ke Belanda atas pemidaaan gadis kelahiran Maninjau, Sumatera Barat, sekaligus sebagai apresiasi atas keberanian dan perjuangan Rasuna. Belakangan, keduanya pun menjadi sahabat, terutama setelah Indonesia berhasil memperjuangkan kemerdekaannya.

Koran Pemberita Makassar  edisi 11-16 Januari 1933 memuat jalannya sidang pengadilan Rasuna di Payakumbuh itu secara berseri. Begini antara lain petikan jalannya sidang yang dicatat wartawan koran itu ketika pemeriksa atau penuntut mengajukan berbagai pertanyaan kepada Rasuna. Ejaan penulisannya telah disesuaikan dengan Ejaan yang Disempurnakan untuk memudahkan pembaca Koran Suluh Indonesia.

“Apa maksudnya dengan perkataan-perkataan ‘Salam Putri dan Putra yang belum merdeka, tetapi yang akan merdeka’ dan perkataan ‘Gouvernement Belanda akan hilang’?” tanya pemeriksa.

Rasuna pun menjawab, “Menurut keyakinan saya, satu bangsa yang belum merdeka itu lama-kelamaan akan mendapat kemerdekaannya. Keyakinan yang saya katakan itu ialah akan membangkitkan semangat bangsa saya. Satu bangsa berhak akan kemerdekaan. Maksud saya mengataken ‘Gouvernment Belanda akan hilang’ ialah karena di sini, di Indonesia ini, orang Belanda yang memerintah.”

“’Pergerakan kemerdekaan telah seperempat abad berkobarnya di Indonesia ini’, apa maksudnya?”

“Pergerakan Indonesia telah seperempat abad berkobarnya dengan kaum penjajah.”

“Siapa yang menjajah?”

“Orang Belanda.”

“Betulkah pergerakan-pergerakan yang timbulnya sekarang di dalem waktu yang sangat sempit?”

“Betul!”

“Apa maksudnya?”

“Pergerakan umum umpamanya kalau telah sempit lalu yang hadir bergerak karena, di Indonesia, aturan-aturan telah sempit.”

“Apa yang kamu maksud dengen aturan-aturan itu?”

“Ialah peraturan atawa kebiasaan memperhamba.”

“Itu ‘aturan-aturan yang sangat sempit sehingga Indonesia tidak bernapas lagi’, apa maksudnya dan apa artinya? Apa penghidupan orang Indonesia tidak senang hidupnya dan dari aturan-aturan apa yang tidak menjenangken?”

“Kata-kata ini semuanya adalah kata-kata sindiran semuanya.”

“Sesudah itu rakyat Indonesia minta merdeka, apa sebabnya?”

“Ya, karena tidak senang.”

“Kamu ada menerangkan bahwa, kalau Indonesia sebelum merdeka, Islam tidak akan sentosa dan Indonesia tidak pula aken merdeka….”

“Betul. Pergaulan hidup di Indonesia tidak akan sempurna kalau Indonesia belum merdeka dan agama pun tidak pula akan sampurna kalau Indonesia tidak merdeka”

“’Masyarakat Indonesia dirusakkan, begitu pun ekonomienya’, apa maksudnya?”

“Maksud saya ialah masyarakat Indonesia tidak akan selesai sebelun Indonesia merdeka.”

“Kamu ada mengatakan, ‘sebelum sempurna masyarakat itu hendaklah direbut dulu kemerdekaan Indonesia’. Begaimana direbut?”

“Diusahakan akan memerdekakan Indonesia dengen selekas-lekasnya, dengan menginsyafkan rakyat, memberi anggaran kerja yang dapat dikerjakan.”

“Kamu ada menerangkan imprealisme itu boekan orang Belanda, Inggris, Jepang, dll., tetapi adalah satu pahamnya, yaitu hendak menguasai kemerdekaan Indonesia. Apa yang dimaksudken dengan imprealisme?”

“Maksudnya ialah satu paham yang hendak mempengaruhi ekonomi dari bangsa lain.”

“Di mana sekarang ada imprealisme?”

“Imprealisme ada di seluruh dunia karena imprealisme itu bukanlah manusianya, nafsu yang hendak mempengaruhi ekonomi bangsa lain. Sepertid negeri Belanda, boleh jadi juga ada imprealisme Jepang, yaitu jang hendak mempengaruhi ekonomi bangsa Belanda.”

“Bagaimana orang lain bisa menguasai ekonomi orang lain dan apa artinya ekonomi?”

“Tentu dapat. Ekonomi artinya penghidupan orang lain.”

“Imprealisme itu akan memperbaiki rakyat. PMI tidak akan percaya, hanja sebaliknya. Sebab itu, PMI bekerja dengan haluan non-cooperation. Apa artinya dan apa maksudnya non-cooperation itu?

“Sifat Permi ‘menuju Indonesia Merdeka asal dengan non-cooperation’ dimaksudkan percaya kepada kekuatan sendiri. Tidak mau duduk dan bekerja dengan raad-raad yang diadakan oleh pemerintah. Politik itu dibagi dua, yaitu ada yang berhaluan dan ada pula yang tidak berhaluan non-cooperation.”

“Di manakah adanya imprealisme di Indonesia?”

“Imprealisme di Indonesia ada banyak. Ada imprealisme Inggris, Jepang, dan yang lain-lain, yang mempengaruhi rakyat dan ekonomi Indonesia dari dusun-dusun sampai di kota-kota.”

“Apakah dalam raad-raad tidak ada dibicarakan kepentingan di Indoensia, seperti di Volksraad misalnya?”

“Menurut kejakinan Permi, Volksraad tidak perlu, karena kami tidak akan bekerja bersama-sama dengen pemerentah. Di Volksraad cuma dibicarakan jang bagus-bagus saja, sedangkan soal kampung-kampung yang busuk-busuk tidak dibicarakan.”

“Kamu ada berkata bahw Hindia Belanda adalah yang bagus-bagus seperti jalan yang diaspal, gedung-gedung yang bagus-bagus dan yang buruk-buruk dinamakan Indonesia. Apakah perkataan-perkataan ini tidak menyindir pada gouvernment?”

“Tidak.”

Keterangan dan pembelaan Rasuna yang cerdas, tegas, dan berani itu membuat pemerintah kolonial Belanda semakin berang. Ia diajtuhi hukuman 1 tahun 2 bulan dan diasingkan ke Jawa serta dijebloskan ke penjara di Semarang.

Toh, jeruji besi penjara tak membuat Rasuna jera memperjuangkan nasib bangsanya. Setelah bebas, selain lewat mimbar-mimbar, Rasuna juga memperjuangkan kemerdekaan bangsa melalui tulisan-tulisan. Ia pada tahun 1935 membuat majalah Raya, yang kemudian dibredel pemerintah kolonial Belanda karena isinya banyak mengecam pemerintah.

Namun, ketika pindah ke Medan, Rasuna kembali menerbitkan media massa. Ia membuat koran Menara Poetri. Sayangnya, koran ini terpaksa ia hentikan penerbitannya karena banyak pelanggan yang menunggak pembayarannya. Namun, perjuangannya untuk mengabdikan diri kepada bangsa dan negaranya terus ia lanjutkan lewat berbagai aktivitas, bahkan sampai akhir hayatnya, 2 November 1955.

MAJALAH Fikiran Ra’jat yang dipimpin Bung Karno dalam edisi nomor 24, terbit 9 Desember 1932, memberitakan penangkapan Rasuna Said oleh polisi kolonial Belanda. ”Dalam rapat oemoem P.M.I. di Padang seorang kaoem iboe bernama Rasoena Said telah kena spreekdelict dan ditahan preventief,” demikian ditulis majalah itu.

Penahanan Rasuna Said juga kembali disinggung majalah tersebut pada edisi nomor 35, terbit 24 Februari 1933, dengan judul berita “Rasoena Said dapat teman boeat 8 hari”.  Isi beritanya sebagai berikut.

“Rasoena Said beloem lagi beberapa mendjalankan pengorbanannja, sekarang (6 Februari ’33) telah mengiring di tempat itoe djoega [hotel prodeo di Pajakomboeh] Sdr. Mardiani Djali dan Fatimah Reno, doea pengadjoer Islam nationalism Nahdatoelnisaijah P.N.N., P 8 hari lamanja, karena ditoedoeh beropenbaar zonder beritahoe dan membiarkan anak-anak dalem vergadering jang terseboet. Bertambah njata bagi kita sekarang bahwa pergerakan Ra’jat soedah dekat dan hampir dipoentjaknja.

“Diwaktoe kaoem Iboe telah berani mengorbankan dirinja dalem pergerakan  Ra’jat tanda kemerdekaan soedah sangat dekat.

“Ketahoei dan jakinlah!!!

“Begitoe saudara Bsd. K. dari Pajakomboeh toelis pada kita.”

Dengan memakai nama samaran Soemini, Bung Karno dalam Fikiran Ra’jat juga menggambar ilustrasi simbolis tentang penangkapan dan penahan Rasuna Said. Ilustrasi itu diberi tajuk “Salam dari Pendjara”, dengan keterangan berbunyi “Saodara poeteri Rasoena Said kini meringkoek dalam penjara boeat satoe tahoen tiga boelan lamanja oentoek Indonesia Merdeka. Hidoeplah Indonesia Merdeka!”

Tak diketahui kapan Bung Karno dan Rasoena Said bertemu langsung untuk pertama kalinya. Namun, tercata, menjelang kemerdekaan, Rasuna Said adalah satu dari dua perempuan yang menjadi anggota Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Satu perempuan lain adalah ialah Siti Soekaptinah.

Setelah kemerdekaan Indonesia, Rasuna Said aktif di Badan Penerangan Pemuda Indonesia dan Komite Nasional Indonesia. Juga duduk dalam Dewan Perwakilan Sumatera mewakili daerah Sumatera Barat. Ia diangkat sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Serikat (DPR RIS), kemudian menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung setelah Dekret Presiden 5 Juli 1959 sampai akhir hayatnya. Semasa hidupnya, Rasuna Said juga aktif di Persatuan Wanita Republik Indonesia (Perwari).

Rasuna dan Bung Karno semasa hidupnya dikenal sebagai dua orang sahabat dekat. Ketika terjadi pemberontakan PRRI/Permesta di sejumlah daerah, Rasuna mendukung Bung Karno untuk memadamkan pemberontakan tersebut.

Dalam “Rapat Pantja Sila” yang digelar di Bandung pada 1958, Bung Karno mengajak Rasuna untuk ikut berpidato. Rasuna dipersilakan menyampaikan orasinya terlebih dulu.

Dalam kesempatan itu, Rasuna mengecam pemberontakan PRRI/Permesta sebagai gerakan subversif. “Mereka membentuk PRRI yang tidak revolusioner sama sekali, tetapi reaksioner. Saya sangat malu sebagi seorang putri dari karena petualangan ini justru adanya di Minangkabau,” kata perempuan yang lahir di Desa Panyinggahan, Maninjau, Kabupaten Agam, Sumatera Barat, 15 September 1910, itu.

Bung Karno pun memuji Rasuna Said sebagai Srikandi Indonesia. Putra sang Fajar memuji kegigihan Rasuna Said dalam berjuang fisik menentang penjajahan. Juga memuji ketangguhan mental Rasuna Said, walau sempat dijebloskan ke penjara, dan tetap setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Tampaknya, Bung Karno memang sengaja mengajak Rasuna untuk hadir dalam rapat umum itu. Karena, sebulan sebelumnya, pada 15 Februari 1958, Dewan Perjuangan PRRI di Padang, Sumatera Barat, mengeluarkan ultimatum pemberontakannya terhadap pemerintahan yang dipimpin Bung Karno.

Perjalanan Rasuna sebagai pejuang memang sangat panjang, yang telah ia mulai sejak masa remaja. Semasa masih menimba ilmu di Sekolah Diniyah Putri, Padangpanjang, yang didirikan Rahmah El Yunusiah pada 1923, Rasuna sudah aktif berpolitik. Ia menjadi Sekretaris Sarekat Rakyat Cabang Padangpanjang, organisasi yang berafiliasi ke Partai Komunis Indonesia. Ketika itu, Rasuna juga telah diminta oleh Rahmah El Yunusiah untuk menjadi salah seorang pengajar di Sekolah Diniyah Putri.

Ketika Sarekat Rakyat dibubarkan oleh pemerintah kolonial Belanda setelah terjadinya Pemberontakan Silungkang tahun 1927, Rasuna bergabung dengan Partai Sarekat Islam pada tahun 1928. Rasuna dipercaya menjadi ketua cabang Maninjau. Setahun kemudian, ia menikah dengan Dusky Samad, seorang pengajar di Sekolah Thawalib yang juga pejuang pergerakan kemerdekaan. Namun, karena kesibukan masing-masing, rumah tangga mereka tidak bertahan lama. Dari pernikahan ini, pasangan tersebut dikaruniai seorang anak perempuan, yang diberi nama Auda Zaschkya Dusky.

Pada tahun 1930, Rasuna Said bergabung dengan Persatuan Muslimin Indonesia (Permi atau PMI). Bersama dengan Rasimah Ismail dan Ratna Sari, ia menjadi propagandis perempuan yang mengampanyekan modernisasi pendidikan, persamaan hak antara perempuan dan laki-laki, reformasi pergerakan Islam, serta upaya memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.

Ketika Ketua Permi, Muchtar Loethfi, dibuang ke Boven Digoel oleh Belanda, Rasuna Said mengambil alih kepemimpinannya. Ketika sedang menyampaikan pidatonya yang diberi judul “Langkah-Langkah Menuju Kemerdekaan Rakyat Indonesia” pada Kongres Perempuan Permi di Padangpanjang tahun 1932, Rasuna pun ditangkap polisi mata-mata pemerintah kolonial Belanda dan kemudian dijebloskan ke Penjara Bulu, Semarang. [Purwadi Sadim, Redaktur Pelaksana Koran Suluh Indonesia]