Sosialisme Islam Tjokroaminoto
Sarekat Islam (SI) di bawah kepemimpinan Tjokroaminoto berkembang pesat dan memiliki jumlah anggota yang besar. Namun, masuknya Tjokroaminoto dan Abdoel Moeis ke lembaga bentukan pemerintah kolonial Belanda, volksraad, menimbulkan ketidakpuasan di kalangan sejumlah anggotanya, terutama dari golongan muda. Apalagi, kemudian, sebagian golongan muda itu banyak terpengaruh komunisme, yang disebarkan oleh HJFM Sneevliet, pendiri Indische Sociaal-Democratische Vereeniging pada tahun 1914.
SI pun gunjang-ganjing. Maka, pada tahun 1921, anggota yang berhaluan komunis dibersihkan dari SI. Mereka yang disingkirkan itu dikenal sebagai SI Merah dan kemudian membentuk Sarekat Rakjat.
Sehubungan dengan konflik internal itu, Tjokroaminoto pun menulis buku yang bertajuk Islam dan Sosialisme pada tahun 1924. Buku itu ditulis dalam bahasa Indonesia. Oleh banyak kalangan, buku ini dinilai sebagai karya penting dari cendekiawan Indonesia pada paro pertama abad ke-20.
”Cita-cita sosialisme di dalam Islam tidak kurang dari tiga belas abad umurnya, dan tidak boleh dikatakan bahwa ia terbit dari pengaruhnya orang Eropa. Kita tidak bermaksud mengatakan bahwa pada ketika itu sudah ada propaganda sosialisme yang teratur seperti sekarang ini, akan tetapi sesungguhnya asas-asas sosialisme itu telah dikenal dalam masyarakat Islam pada zaman Nabi Muhammad SAW dan asas-asas tersebut lebih banyak dilaksanakan dan lebih mudah daripada pelaksanaannya di Eropa dalam zaman mana pun juga sesudah zamannya Nabi kita itu,” tulis Tjokro dalam bukunya tersebut.
Menurut dia, jika suatu negara bersifat sosialistis, hendaknya pekerjaan kerajinan (kepabrikan, industri) diatur secara sosialistis dengan seluas-luasnya. “Maka dalam negara yang demikian itu, tanah itulah yang menjadi pokoknya segala hasil dan pokoknya pekerjaan industri besar, itu pun kalau dijalankan seluas-luasnya landsocialisme dan staats-sosialisme. Maka, sosialisme macam inilah yang terutama sekali dijalankan oleh Islam. Sejak Nabi Muhammad SAW memegang kekuasaan negara, segeralah diaturnya secara sosialistis dan semua tanah dijadikan milik negara,” katanya lagi.
Tjokro memang mendalami dengan baik aspek-aspek sosialisme dalam ajaran Islam, termasuk dalam praktiknya di kehidupan sehari-hari. Karena itu, ia dengan tegas menyatakan sosialisme sudah terkandung dalam hakikat ajaran Islam dan sosialisme yang ideal harus diarahkan oleh keyakinan agama Islam.
Ia juga menelaah secara kritis konsep sosialisme dari khazanah pemikiran Eropa, termasuk dari Karl Marx. Semuanya dibandingkan dengan dasar-dasar sosialisme dalam Islam. Yang menjadi pijakan Tjokro antara lain Surah al-Baqarah ayat 213 dan kepemimpinan Nabi Muhammad SAW, yang kemudian dilanjutkan oleh para sahabatnya. Menurut dia, pemerintahan Islam berpijak pada nilai-nilai kedermawanan, persaudaraan, kemerdekaan, dan persamaan. Hal-hal itulah yang menunjukkan sifat sosialis dalam Islam.
Menurut Tjokro juga, ada tiga perintah tentang kedermawanan dalam Islam, yang ketiganya ini masing-masing punya dasar sosialis. Pertama: kedermawanan dalam Islam akan membangun rasa rido mengorbankan diri dan rasa melebihkan keperluan diri sendiri. Kedua: kedermawanan dalam Islam akan membagi kekayaan sama rata di dalam dunia Islam, karena pemberian zakat adalah kewajiban, sebagai salah satu rukun Islam. Ketiga: kedermawanan dalam Islam akan menuntun perasaan orang, supaya tidak menganggap kemiskinan itu sebagai satu kehinaan, tetapi menganggap kemiskinan itu lebih baik daripada kejahatan.
Dalam suatu kesempatan, Tjokro juga mengungkapkan perbedaan orang-orang sosialis Barat, termasuk kaum komunis, dengan orang Islam yang menjalankan ajarannya. Dalam pandangan Tjokro, mereka yang menjalankan sosialisme Barat itu tersesat, karena memulai perjuanganya dari atas dan tidak dimulai dari dasar. “Mereka itu lalu segera menghendaki perubahan masyarakat, ada pula dari antara mereka yang tidak dengan berbuat sesuatu apa, hanya dengan membuka mulut berteriak-teriak ‘kuburlah kapitalisme dunia’. Teriakan yang serupa ini kalau bukan teriakan seorang yang bodoh, maka sedikitnya adalah seperti seorang yang berteriak di padang pasir. Nabi kita yang suci Muhammad SAW dalam melaksanakan sosialisme itu bertindak sebaliknya daripada yang dijalankan oleh orang-orang sosialis Barat, yaitu tidak dimulainya dari atas, tetapi dimulainya dari bawah. Tindakan beliau mula-mula mengubah sifat dan tabiatnya tiap-tiap orang, sehingga cakap untuk membangunkan masyarakat yang sosialistis, yaitu dengan terlebih dahulu membangun sifat dan tabiat yang menjadi dasar dan sandaran dari sesuatu negara yang tinggi tingkat sosialismenya,” katanya. [PUR]