Totalitas Tjokro untuk memperjuangkan nasib bangsanya bersama SI membuat dia berhenti bekerja. Untuk mendapatkan pemasukan, ia membuka pondokan bagi beberapa pemuda di rumahnya yang kecil, yang letaknya di sebuah gang sempit di Surabaya, Gang Peneleh, di tepi Sungai Kalimas. Inilah rumah bersejarah, rumah yang dapat dikatakan sebagai Rumah Kebangsaan pertama di negeri ini. Karena, pemuda-pemuda yang mondok di sana bukan hanya mendapat tempat bernaung, tapi juga kerap “diasah” oleh Tjokro, sehingga kelak sejarah mencatat para pemuda itu menjadi tokoh-tokoh penting dalam pergerakan perjuangan kemerdekaan Indonesia dan juga setelah Indonesia merdeka.
Pemuda yang tinggal di rumah Tjokro antara lain Soekarno, Abikoesno Tjokrosoejoso, Hermen Kartawisastra, Kartosoewirjo, Alimin, dan Muso. Nama yang belakangan itu pada tahun 1948 memimpin pemberontakan Partai Komunis Indonesia di Madiun, Jawa Timur, menentang pemerintah Republik Indonesia.
Untuk menyebarluaskan gagasan kebangsaannya, Tjokro rajin menulis di majalah dan surat kabar. Ia juga menjadi kontributor tetap majalah Bintang Soerabaja.
Di bawah naungan SI, Tjokro membuat NV Setia, yang menerbitkan harian Oetoesan Hindia. Pemimpin redaksinya Tjokro. Di korannya “sendiri” itu, Tjokro tampaknya merasa lebih leluasa untuk melontarkan protes dan kecamannya kepada pemerintah kolonial Belanda, bahkan dengan nada yang sangat keras. Akibatnya, Oetoesan Hindia dibreidel Belanda pada tahun 1923. Namun, Tjokro tak jera. Dua tahun kemudian, bersama Agoes Salim, ia menerbitkan harian Fajar Asia di Yogyakarta.
Selain menjadi pejuang pergerakan kemerdekaan cum wartawan, Tjokro juga menjadi pengacara. Ia sering beracara di pengadilan, membela anggota-anggota SI yang dituduh melanggar hukum. Ia terkenal sebagai pengacara yang cerdas dan piawai. Bahkan, seorang hakim Belanda di depan suatu persidangan pernah menyatakan “kekaguman”-nya dengan cara menyindir Tjokro: ”Sayang, dia bukan keluaran sekolah tinggi.”
Rupanya, Tjokro mendengar. ”Bagaimanapun juga, lebih baik daripada sarjana hukum yang suka lupa hukum seperti Tuan,” katanya kepada hakim itu.
Ketika pemerintah kolonial Belanda atas desakan banyak tokoh dan organisasi kaum pribumi, termasuk SI, membentuk volksraad (dewan rakyat) pada 1918, SI menetapkan Tjokroaminoto dan Abdoel Moeis sebagai wakil mereka. Di lembaga bentukan Belanda itu, Tjokro tetap menyuarakan kepentingan bangsanya dengan nada yang keras. Ia kerap mengecam keputusan dan tindakan pemerintah kolonial serta orang-orang Belanda di perusahaan, pabrik, dan sebagainya yang seenak-enaknya saja memperlakukan buruh Indonesia.
Dengan sikapnya yang keras dalam membela bangsanya, Tjokro menjadi “target operasi” polisi penjajah. Ia akhirnya ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara selama sembilan bulan. Pemerintah penjajah Belanda menuding Tjokro sebagai tokoh SI di balik pemberontakan petani di Cimareme, Garut, Jawa Barat.
Pengaruh Hadji Oemar Said Tjokroaminoto memang sangat besar di masyarakat, terutama di Pulau Jawa. Tak mengherankan jika pemerintah kolonial Belanda memberi julukan “Raja Jawa tanpa Mahkota” kepada Tjokroaminoto. Bung Karno juga sangat mengagumi Tjokro.
Dalam buku otobiografi, Penyambung Lidah Rakyat, Soekarno mengungkapkan, dirinya kerap mengikuti ke mana saja gurunya itu pergi. Bahkan, kata Bung Karno, ia selalu duduk di depan kaki Tjokro ketika idolanya itu mengajar atau bertemu dengan koleganya.
“Saya mencoba mengikuti bukan saja Tjokroaminoto. Tetapi, segala ajaranTjokroaminoto, aku coba, aku ikhtiarkan, aku usahakan, aku laksanakan, oleh karena aku kagum kepada guruku yang bernama Hadji Oemar Said Tjokroaminoto,” kata Bung Karno ketika berpidato pada Kongres Gerakan Wanita Partai Sarekat Islam Indonesia (Gerwapsi) di Istora Senayan, Jakarta, 1 Maret 1966.