Koran Sulindo – Perekonomian Indonesia pada Triwulan II/2020 mengalami kontraksi dengan laju pertumbuhan sebesar -5,32 persen secara tahunan (yoy). Kontraksi ini bahkan lebih dalam dari perkiraan banyak pihak, dan menjadi angka pertumbuhan terendah sejak era reformasi tepatnya sejak Triwulan I/1999 yang tumbuh -6,13 persen yoy.
Dalam lima tahun terakhir, pertumbuhan ekonomi Indonesia sejatinya sudah mengalami tren perlambatan sejak capaian tertingginya di Triwulan/II 2018 yang tumbuh 5,27 persen yoy. Sejak Triwulan III/2019, terjadi perlambatan terjadi di setiap kuartalnya dibandingkan dengan kuartal yang sama di tahun sebelumnya (yoy).
Peneliti Indef Eko Sulistyo mengatakan, pandemi virus corona atau Covid-19 hanya mengkonfirmasi akan rapuhnya strategi dan kebijakan ekonomi selama ini. Kemandirian, kata Eko, seakan diabaikan, sektor utama kontributor perekonomian yakni pertanian, industri, dan perdagangan tidak mendapat dukungan kebijakan yang cukup untuk mengakselerasi perekonomian.
Lebih dari itu, kata Eko, usaha-usaha skala UMKM baru dirawat dan keluar kebijakan pendukung meski pencairan lambat saat pandemi sudah tiba. Perlambatan perekonomian yang terjadi di Triwulan II/2020 menimbulkan tanya, apakah ini menjadi titik terendah atau justru malah menuju kepada situasi yang lebih parah?
“Tidak dapat dipungkiri bahwa hampir semua negara saat ini alami perlambatan ekonomi, namun banyak pelajaran berharga bahwa negara yang mampu mengendalikan pandemi, perlambatan ekonominya lebih moderat,” kata Eko beberapa waktu lalu.
Ibarat menginjak rem dan gas sama kuat, kata Eko, tidak akan membuat mobil berjalan kencang. Ada beberapa poin catatan atas kinerja perekonomian Indonesia Triwulan II/2020 dan rekomendasi kebijakan agar resesi teratasi dan rakyat terlindungi.
Pertama, kebijakan terlambat dan setengah-setengah dalam mengatasi pandemi. Implikasi dari terlambatnya respons kesehatan terhadap Covid-19 dan terlalu longgarnya pelaksanaan new normal di saat kasus positif Covid-19 masih terus meningkat, negara lain melawan virus Covid-19 dengan mengurangi interaksi dan kerumunan sambil memberikan bantuan sosial yang cukup, sehingga rakyat yang pekerjaannya berisiko kesehatan tinggi bisa di rumah dan bisa tekan penyebaran.
“Tapi data penduduk miskin dan rentan Indonesia yang terakhir diperbarui secara nasional tahun 2015 tidak lagi akurat untuk jadi acuan penyaluran bansos di 2020 sehingga PSBB rendah efektivitasnya,” ujar Eko.
Pada sisi lain, lanjut Eko, tanpa penurunan kasus Covid-19 yang nyata, pelaku ekonomi dan investor juga menahan langkah. Walau triliunan rupiah telah dialokasikan untuk permulihan ekonomi, dengan realisasi masih rendah dan penyebaran pandemi Covid-19 yang masih terus meningkat menunjukkan dampaknya pada angka pertumbuhan Triwulan II/2020.
Kedua, pertumbuhan ekonomi Indonesia negatif di Triwulan II/2020 ini menjadi pertumbuhan paling rendah di masa era reformasi. Padahal sejauh ini data menunjukkan bahwa triwulan II umumnya merupakan puncak dari pertumbuhan ekonomi secara kuartalan.
“Kali ini ceritanya berbeda, justru Triwulan II/2020 menjadi triwulan tanpa pertumbuhan ekonomi,” kata Eko.
Eko mencatat, ada tiga sektor yang mengalami pertumbuhan positif yaitu sektor pertanian, sektor informasi dan telekomunikasi, serta sektor pengadaan air listrik dan gas. Di luar itu hampir seluruh sektor mengalami pertumbuhan negatif selama Triwulan II/2020 dengan sektor transportasi dan pergudangan sebagai yang terendah.
“Menariknya, sungguhpun sektor pertanian mengalami pertumbuhan positif di triwulan II, tetapi sektor akomodasi dan makan minum tetap mengalami perlambatan ekstra dalam yaitu sekitar 22 persen sebagai imbas turun drastisnya perjalanan selama pandemi,” ujar Eko.
Ketiga, sektor unggulan tumbang. Berdasarkan lapangan usahanya secara tahunan terlihat bahwa pertumbuhan sektor-sektor yang memiliki kontribusi besar bagi PDB yaitu sektor industri dan sektor perdagangan juga mengalami perlambatan yang cukup dalam.
Sektor industri dari pertumbuhan 3,54 persen yoy pada triwulan II tahun lalu menjadi -6,19 persen yoy pada Triwulan II/2020. Hal yang sama juga terjadi pada sektor perdagangan dari tumbuh 4,63 persen yoy pada Triwulan II/2019 sekarang -7,57 persen yoy di Triwulan II/2020.
Keempat, kontraksi konsumsi rumah tangga. Dari sisi pengeluaran terlihat sekali bahwa di Triwulan II/2020 konsumsi rumah tangga mengalami kontraksi yang sangat besar di mana pertumbuhannya -5,51 persen yoy, menandakan daya beli yang turun drastis. Pertumbuhan minus pada sisi konsumsi ini yang pertama kali selama era reformasi, padahal 57,85 persen perekonomian sangat bergantung dari laju konsumsi rumah tangga.
“Ketika posisinya konsumsi rumah tangga minus, maka sangat mengganggu terhadap keseluruhan dari komponen pembentuk PDB,” kata Eko.
Perekonomian Melambat
Kelima, hampir semua perekonomian daerah mengalami perlambatan. Dari sisi kewilayahan terlihat bahwa hampir semua daerah mengalami perlambatan ekonomi. Pulau Jawa tumbuh -6,69 persen yoy, demikian halnya Pulau Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, serta Bali dan Nusa Tenggara juga mengalami pertumbuhan negatif.
“Hanya Maluku dan Papua yang tumbuh positif. Jatuhnya perekonomian di Pulau Jawa membuat struktur PDB terkontraksi sangat dalam karena dominasi porsi ekonomi Pulau Jawa (58,55 persen), terlebih lagi Jawa juga merupakan pusat pandemi Covid-19,” ujar Eko.
Keenam, kesejahteraan petani tergerus dan waspada lonjakan harga beras di akhir Kuartal IV/2020. Nilai tukar petani nasional (gabungan) per Juli 2020 sebesar 100,9. Angka ini turun drastis dari posisi 104,16 di Januari 2020. Pun dengan nilai tukar petani sub-tanaman pangan (turun dari 104,21 menjadi 100,17), sub-tanaman hortikultura dari 105,15 menjadi 99,17, sub-pekebun rakyat turun dari 107,43 menjadi 100,19 dan sub-nelayan dari 101,11 menjadi 100,01.
“Harga komoditas yang diterima petani turun, namun disisi lain kebutuhan hidup rumah tangga petani terus meningkat. Hal ini terlihat dari indeks konsumsi rumah tangga petani yang meningkat dari 105 (Januari 2020) menjadi 105,75 (Juli 2020). Di sisi lain, indeks harga yang diterima petani (gabungan) turun dari 109,37 pada Januari 2020 menjadi 105,85 di Juli 2020,” kata Eko.
Sudah menjadi siklus tahunan bahwa akhir kuartal IV (Desember) dan awal separuh kuartal I (Januari-Februari) harga beras berada pada level tertinggi. Hal ini disebabkan pada periode tersebut berada pada musim tanam raya. Sebagai informasi, pada Desember 2019, harga beras medium di tingkat penggilingan beras sebesar Rp9.566/kg. Pada Februari 2020, harganya meningkat 3 persen menjadi 9.844/kg.
“Jika siklus kenaikan harga beras ini tidak di kelola dengan baik maka dikhawatirkan rally recovery resesi ekonomi akan panjang,” ujar Eko. [Wisnu Kiting]