Tingginya korban akibat protes disebabkan oleh penggunaan peluru tajam oleh tentara Israel.

Koran Sulindo – Jatuhnya puluhan korban jiwa di Gaza akibat peluru penembak jitu Israel bukan hanya mengerikan, itu benar-benar merupakan tindakan tercela.

Toh, di belahan bumi manapun kekuatan mematikan bukan satu-satunya cara menghadapi demonstran.

Mengklaim sebagai negara maju, Israel mestinya malu karena bahkan mereka yang dianggap sebagai bangsa terbelakangpun menjunjung tinggi kebebasan berpendapat dalam bentuk aksi protes.

Di AS penanganan aksi protes pada dekade 60-an dengan menggunakan meriam ari menuai kritik serius karena membuat orang-orang terluka.

Meriam air digunakan untuk memukul mundur aksi masa namun tekanan tinggi kadang-kadang membuat pemrotes cedera baik pada wajah atau anggota badan yang lain.

Sejauh itu, bagaimanapun meriam air tak merenggut kehidupan dan nyawa pemrotes.

Atau jangan-jangan Angkatan Bersenjata Israel (IDF) hanya mengenal peluru tajam?

Menyemprot ribuan pemrotes di Gaza dengan air tekanan tinggi mungkin bakal membuat tumbang puluhan pemuda yang marah. Air juga bakal mematikan ban-ban yang dibakar atau menyebabkan gegar otak satu atau dua orang.

Tapi yang pasti air tak bakal membunuh 60 orang dalam satu hari!

Sejauh ini  60 korban tewas 1.360 warga Palestina terluka oleh tembakan, termasuk 130 yang berada dalam kondisi serius atau kritis. Secara keseluruhan mereka yang terluka oleh bentrokan jumlahnya mencapai 2.771.

Lebih dari 40.000 warga Palestina turun jalanan di Gaza untuk menentang pembukaan Kedutaan AS di Yerusalem. AS memindahkan kedutaan dari Tel Aviv ke Yerusalem atas perintah Presiden AS Donald Trump.

Demo besar-besaran tersebut juga merupakan peringatan Hari Nakba memperingati 70 tahun ribuan warga Palestina terusir dari tanah mereka yang diduduki Israel.

Di banyak negara meriam air menjadi alat standar untuk mengendalikan kerumunan. Beberapa variasi seperti penggunaan pewarna juga ditempuh untuk ‘menandai’ pemrotes untuk tindakan hukum.

Secara moral sangat mengganggu ketika tak sekalipun Israel berpikir menggunakan pengendali kerusuhan non-mematikan. Kecuali bahwa IDF memang berniat membunuh setiap pemrotes!

Juga tidak masuk akal, Israel yang selalu menepuk dada pada inovasi dan kecerdasan justru gagal menemukan cara untuk menghentikan ribuan pemrotes.

Benar, pemrotes di Gaza melemparkan batu atau bom Molotov dan memotong pagar, namun mereka juga toh tak menghadirkan ancaman mematikan khususnya pada 13 batalyon IDF yang disebar sepanjang perbatasan.

Menengok jauh lebih dalam, penyebab protes bahkan tak pernah dipikirkan Tel Aviv.

Dirampas tanahnya, dikepung tembok dan terus menerus mengalami represi adalah bagian dari mengapa orang-orang Palestina menggelar protes.

Benarkan apa yang disebut sebagai March of Return itu layaknya sancaman eksistensial mereka yang mengklaim sebagai terhadap tentara terkuat di Timur Tengah?

Demonstran mungkin brutal karena dipenuhi kemarahan dan bahkan dipengaruhi, beberapa juga mungkin mengusung slogan-slogan Hamas, tapi yang jelas mereka tidak dipersenjatai untuk berperang menghadapi Israel.

Mereka adalah pemrotes, aksi unjuk rasa dan bukan batalyon infantri yang siap perang.(TGU)