Koran Sulindo – Amerika Serikat (AS) akhir September 2008. Gedung House of Representative semacam DPR AS riuh karena penghitungan suara terbanyak soal memberi dana talangan kepada korporasi karena krisis keuangan yang menimpa negara itu. Wacana bantuan keuangan menjadi diskusi publik AS pada waktu itu karena krisis keuangan yang bermula dari krisis kredit perumahan (subprime mortgage).
Krisis itu lalu berdampak kepada memburuknya kondisi ekonomi global secara menyeluruh. Hampir di semua negara baik di kawasan Amerika, Eropa maupun Asia merasakan dampak krisis keuangan global tersebut. Dan pada umumnya yang terdampak adalah negara yang fundamental ekonominya rapuh.
Keriuhan itu akan tetapi bukan karena perwakilan rakyat AS di gedung parlemen tersebut sedang terjadi perdebatan hebat antara Partai Demokrat dan Partai Republik tentang rencana pemberian bantuan keuangan terhadap perusahaan-perusahaan keuangan raksasa di negara itu. Perdebatan mereka hanyalah mengenai kompromi yang belum tercapai.
Pada akhirnya tercapailah kesepakatan antara kedua partai tersebut. Seperti yang dilaporkan telegraph.co.uk pada waktu itu, Presiden George W. Bush menyambut baik kesepakatan yang terjadi di DPR tentang pembahasan rencana pemberian bantuan keuangan kepada perusahaan-perusahaan keuangan raksasa itu. Kesepakatan itu disebut menjadi sinyal yang kuat terhadap pasar di seluruh dunia bahwa pemerintah AS serius memulihkan kepercayaan dan stabilitas keuangan negara tersebut.
Bush menilai tanpa upaya pemberian bantuan dana itu, krisis ekonomi yang terjadi bisa menjadi bencana bagi AS. Seperti halnya Bush, kandidat calon presiden AS dari Partai Demokrat pada waktu itu Barrack Obama juga cenderung setuju akan rencana pemberian dana bantuan kepada perusahaan-perusahaan keuangan seperti Goldman Sachs dan Citigroup.
Obama yang waktu itu populer sebagai pembawa harapan bagi AS mengatakan, pihaknya cenderung mendukung paket kebijakan itu. Ia tidak ingin saling menyalahkan soal penyebab krisis keuangan tersebut. Terpenting, kata Obama, memahami pilihan yang akan dihadapi presiden berikutnya.
Soalnya bukanlah tentang keriuhan itu. Namun, lagi-lagi dalam krisis keuangan solusinya selalu tunggal: bailout alias dana talangan. Juga selalu menyisakan masalah yang terkadang menciptakan skandal atau yang pasti menyengsarakan publik. Itu pula yang dirasakan masyarakat AS setelah 5 tahun kebijakan itu dilaksanakan.
Citra Obama sebagai pembawa harapan negeri itu mempengaruhi kepercayaan masyarakat AS yang cenderung percaya kebijakan dana talangan itu akan berdampak positif terhadap perekonomian AS. Terlebih Obama menyebut, dana-dana talangan tersebut akan dibatasi penggunaannya. Dana talangan itu hanya digunakan untuk menyelamatkan perusahaan dan tidak boleh dipakai sebagai bonus para CEO perusahaan keuangan raksasa di Wall Steet itu.
Dana yang digelontorkan pemerintah AS waktu itu mencapai US$ 700 miliar. Dan itu diberikan kepada perusahaan-perusahaan seperti JP Morgan, Citigroup, Merrill Lynch, Goldman Sachs dan lain-lain. Dana tersebut tentu saja sebagian besar berasal dari pajak rakyat AS yang secara nyata sama sekali tidak berkaitan dengan kepentingan perusahaan-perusahaan besar itu tersebut.
Berjarak 5 tahun dari kebijakan itu dan Obama terpilih menjadi presiden, masyarakat AS dalam Secrets and Lies of the Bailout menyebut kebijakan tersebut sebagai kebohongan. Kenyataannya dana talangan yang berasal dari pajak rakyat itu hanya menyelamatkan Wall Street dari keserakahan dan ketidakjujuran mereka. Semunya hanya kebohongan terbesar dan paling kompleks sepanjang sejarah negara tersebut.
Kenyataannya, pemberian dana talangan kepada korporasi besar itu sebagai bentuk dukungan “buta” terhadap sistem keuangan yang tidak bisa dikendalikan. Justru kebijakan dana talangan tersebut memperburuk krisis perekonomian rakyat AS. Justru memperlebar kesenjangan, ketidakadilan yang berujung kehancuran.
Seperti 2008, kebijakan untuk mengatasi krisis perekonomian yang disebut akibat wabah virus corona juga sama. Pemerintah AS, misalnya, menggelontorkan dana talangan sekitar US$ 2 triliun atau sekitar Rp 32.525 triliun untuk menyelamatkan perekonomian yang terpukul akibat Covid-19. Kali ini namanya disebut sebagai stimulus.
Disebut-sebut, ini merupakan stimulus alias bantuan perekonomian terbesar dalam sejarah yang digelontorkan pemerintah AS. Dari jumlah itu, sekitar US$ 100 miliar disalurkan kepada rumah sakit dan fasilitas kesehatan di AS yang sangat membutuhkan peralatan medis dan pakaian pelindung tenaga medis. Selanjutnya, sekitar US$ 500 miliar dipinjamkan kepada perusahaan-perusahaan termasuk maskapai penerbangan. Lalu, sekitar US$ 377 miliar akan dihibahkan kepada usaha kecil dan menengah.
Dari jumlah itu kita tahu dana talangan yang diberikan kepada korporasi nilainya terbesar dari semua sektor yang mendapat bantuan dari pemerintah AS. Hal penting lainnya adalah bantuan atau dana talangan ini selalu pula beriringan dengan mencuatnya skandal keuangan yang kemudian acap menjadi “kambing hitam” dari krisis perekonomian yang terjadi.
Pada 2008, misalnya, publik AS dijejali pemberitaan seorang Bernie Madoff. Ia merupakan broker saham, penasihat investasi sekaligus investor. Madoff menjadi berita utama di koran-koran seluruh dunia terutama di AS pada 2008. Ia ditangkap karena dituduh melakukan kecurangan finansial terbesar dalam sejarah AS yang disebut sebagai skema Ponzi.
Padahal, sebelum krisis keuangan meletus di AS, Securities and Exchange Commission (SEC) tidak pernah mau menyelidiki dugaan penipuan yang telah dilakukan Madoff sejak 1992. Padahal, umumnya orang tahu termasuk Goldman Sachs, Chase Manhattan dan JP Morgan dana yang dikelola Madoff tidak halal.
Satu-satunya kesialan Madoff dan akhirnya penipuannya selama ini terbongkar karena krisis keuangan yang terjadi pada 2008. Dari kasusnya itu, lewat pemberitaan Madoff seolah-olah menjadi dalang pemicu krisis keuangan AS pada 2008.
IMF dan Bailout
Terlepas dari persoalan itu, lantas apa yang menjadi dasar kebijakan dana talangan ini? Soal ini, mau tidak mau kita harus mengkaitkannya dengan Dana Moneter Internasional (IMF). Lembaga yang didirikan pada 1944 ketika Perang Dunia II sedang berkecamuk di berbagai belahan dunia terutama di Eropa dan Asia.
Di samping menciptakan tatanan baru sistem moneter dunia, IMF yang dibentuk setelah Perang Dunia II itu merupakan lembaga yang anti-komunis. Selain mengawasi rekonstruksi kapitalis Eropa, lembaga ini sejak awal diberikan hak untuk mengintervensi langsung negara-negara lain. IMF karena itu lembaga yang tidak demokratis. Kedudukan negara-negara anggota tidak sama. Porsi yang paling besar dipegang oleh AS karena keunggulan finansialnya. Dengan kenyataan itu, AS memastikan dirinya sebagai pengendali mutlak atas semua keputusan di lembaga tersebut.
Dalam perkembangannya, IMF mempromosikan kerja sama ekonomi internasional dan memberikan pinjaman jangka pendek kepada negara-negara anggotanya jika sedang mengalami krisis keuangan atau kesulitan likuiditas untuk perdagangan internasional. Soal dana talangan ini, IMF lantas mensyaratkan negara-negara yang meminjam untuk menjalankan serangkaian reformasi ekonomi. Yang paling populer “ajimat” dari IMF itu adalah program penyesuaian struktural (SAP).
Program IMF sesungguhnya memiliki 3 komponen yaitu paket pembiayaan, reformasi structural dan kebijakan ekonomi makro. Akan tetapi, kebijakan dana talangan ini dalam Insights into the IMF bailout debate: A review and research agenda menyebutkan, sebagian besar penelitian menemukan bahwa kebijakan dana talangan sebagaimana yang ditawarkan IMF itu berdampak negatif. Sebagai contoh periode 1973-1998 untuk 11 negara di Amerika Latin dan 13 negara di Asia setelah menerima dana talangan dari IMF, kinerja ekonomi negara-negara tersebut justru semakin memburuk.
Dampak negatif ini diperkirakan karena program yang ditawarkan tidak tepat atau terjadinya moral hazard akibat dana talangan dari IMF. Secara khusus kegagalan kebijakan IMF itu tampak terjadi di Indonesia sejak 1997/1998. Ketika itu, Indonesia mengalami krisis moneter karena merosotnya nilai rupiah. Pemerintah Soeharto lantas meminta dana talangan kepada IMF senilai US$ 23 miliar. Lalu, bantuan itu terus berlanjut hingga 15 Januari 1998 di mana Soeharto menandatangani Letter of Intent (LoI) paket bantuan selama 5 tahun senilai US$ 43 miliar dari IMF.
Namun, pada Desember 1997, pemerintah telah memberikan bantuan likuiditas dengan total Rp 144,3 triliun kepada 48 bank (mayoritas swasta). Dengan LoI itu, IMF menganjurkan pemerintah Soeharto melikuidasi 16 bank yang sudah tidak mungkin diselamatkan. Ini justru memicu rush di samping pemilik bank diduga menyalahgunakan bantuan tersebut. Ini pula yang dikenal sebagai skandal Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Catatan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyebutkan skema BLBI itu tidak tepat sasaran dan merugikan negara senilai Rp 138 triliun.
Meski sudah punya pengalaman buruk pada 1998, pemerintah Indonesia tampaknya masih tetap percaya terhadap skema dana talangan untuk menangani krisis 2008. Karena krisis itu, pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono waktu itu berpendapat perlu menyelamatkan sektor perbankan untuk menjaga kepercayaan investor. Lewat Komite Stabilisasi Sektor Keuangan (KSSK), pemerintah menggelontorkan dana talangan senilai Rp 6,7 triliun kepada Bank Century (Bank Mutiara) untuk menghindari situasi rush.
Berjalannya waktu, dana talangan ini justru menjadi skandal. BPK, misalnya, menemukan 9 kejanggalan dalam upaya menyelamatkan bank tersebut. Salah satunya dana talangan itu ditransfer ke beberapa rekening nasabah bernama Boedi Sampoerna senilai US$ 18 juta.
Lalu bagaimana dengan krisis ekonomi saat ini karena wabah corona? Pemerintah telah memutuskan memberi stimulus ekonomi kepada usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) dan korporasi besar karena terdampak Covid-19. Khusus untuk perusahaan besar, stimulus yang digelontorkan senilai Rp 179,48 triliun. Khusus insentif perpajakan untuk perusahaan besar mencapai sekitar Rp 179,48 triliun.
Skema ini tentu saja tidak berbeda dengan program penyesuaian struktural ala IMF atau yang disebut President and Director of the Centre for Research on Globalization Michel Chossudovsky dalam Towards A New World Order? The Global Debt Crisis and the Privatization of the State sebagai penyesuaian global. Dengan kata lain, kebijakan tersebut hanya memusatkan kekayaan dan investasi korporasi dalam jumlah besar. Bila kebijakan dana talangan terbukti gagal selama bertahun-tahun dan kerap menimbulkan skandal, lantas sampai kapan kita akan terus menggunakannya? [Kristian Ginting]