Ilustrasi: Petani tebu

Koran Sulindo – Masih hangat-hangat jadi presiden, Joko Widodo melakukan kunjungan ke Kabupaten Jember, Jawa Timur, akhir 2014 itu. Ini kali kedua Jokowi mengunjungi ujung utara Pulau Jawa itu setelah sebelumnya datang menjadi juru kampanye nasional PDI Perjuangan.

Setiba di lapangan terbang, ia langsung ke rumah Arum Sabil, Ketua Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI). Saat kampanye pemilihan presiden sebulan sebelumnya, Wakil Presiden Terpilih Jusuf Kalla, juga mendatangi rumah Arum.

Sama seperti Kalla, Jokowi dijadwalkan berdialog langsung  dengan para petani tebu.

Dalam jagongan itu, Presiden Jokowi diminta mencopot menteri perdagangan saat itu, Rachmat Gobel,  yang mengizinkan impor gula rafinasi melebih keperluan industri. Mendag juga disebut tidak mampu memberantas mafia impor gula rafinasi.

Jokowi berulangkali mengatakan akan menghentikan impor gula. “Kalau memang merugikan petani, dan gula di Indonesia cukup, gampang saja, kita setop impor gula,” kata Jokowi di depan ribuan petani di padepokan milik Arum di Desa Tanggul Kulon, Kecamatan Tanggul, Jember, itu.

Jokowi siang itu dibombardir keluhan para petani, dari  harga gula yang rendah hingga hal yang berurusan dengan rendemen tebu.

Petani asal Semboro, Jember, Rupiah, mengatakan harga gula milik petani di pasaran tidak bisa mencapai harga pokok penjualan (HPP) sebesar Rp8.500,00.

Rozi, petani asal Kabupaten Lumajang mengingatkan Jokowi tentang pentingnya meremajakan mesin-mesin tua di sejumlah pabrik gula (PG) karena berpengaruh pada hasil produksi. Dengan mesin sisa zaman Belanda itu, 1 kuintal tebu dengan rendemen 7 persen, petani hanya bisa menghasilkan 5 kilogram gula.

Jokowi berjanji segera menghitung persoalan berkait tebu dan gula, termasuk kemungkinan subsidi untuk petani.

“Saya ke sini untuk mendengarkan keluhan dari panjenengan semua. Dengan begini saya tahu persoalan petani apa, dan bapak ibu sekalian pasti juga punya solusi,” kata Jokowi.

Swasembada Gula 2017

Waktu kampanye Pilpres, Capres Jokowi dan Cawapres Kalla mencanangkan swasembada gula tahun ini. Tidak perlu kecerdasan seorang jenius untuk tahu target itu jauh api dari panggang.

Beberapa waktu sebelum kedatangan Jokowi di Jember itu, Kementerian Perdagangan mengimpor gula mentah (sugar raw) sebanyak 3,2 juta ton, padahal kebutuhan gula rafinasi yang digunakan untuk industri makanan dan minuman itu hanya 2 juta ton.

Gula impor dengan harga yang jauh lebih murah dari gula lokal itu membanjiri pasar lokal. Akibatnya? Harga gula produksi petani jatuh, gula produksi pabrik lokal tak  dierap pasar karena lebih mahal dengan kualitas lebih rendah. Belum lagi gula rafinasi itu hanya untuk industri makanan minuman, perlu diolah lagi agar aman dikomsumsi.

Sekarang Mendag lama sudah dicopot. Tapi baru sekitar 6 bulan di kursinya Mendag yang baru, Enggartiasto Lukito, sudah mengizinkan impor gula sebanyak 1,5 juta ton, belum termasuk impor 400 ribu ton untuk industri makanan-minuman. Kememdag menyatakan sepanjang 2017 ini, kebutuhan gula untuk industri diproyeksikan mencapai 3,5 juta ton. Dengan matematika sederhana dan pengalaman-pengalaman sebelumnya, impor gula selama 2017 sudah dipastikan di atas 3,5 juta ton.

Sama seperti garam, jumlah kuota gula ditentukan Kemendag. Namun berbeda dengan garam yang harus lewat rekomendasi Kementerian Kelautan dan Perikanan, soal gula keputusan hanya di 1 tangan.

Tak heran angka-angka ini mungkin tak mengagetkan:  Saat ini produksi gula konsumsi dalam negeri telah mencapai 2,5 juta ton dari total kebutuhan gula konsumsi 3 juta ton per tahun. Kekurangan 0,5 juta ton itu sudah ditambal impor 1,5 juta ton selama 6 bulan pertama 2017. Pasar dalam negeri jelas akan berlimpah-ruah, belum lagi tambahan dari kelebihan  impor gula tahun sebelumnya.

Seperti lingkaran setan, impor jauh lebih tinggi dari kebutuhan, harga jual petani tebu tetap dibiarkan di atas gula impor, dan produksi pabrik lokal tidak laku di pasar terjadi lagi pas peringatan 72 tahun kemerdekaan Republik Indonesia kini.

Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) Jabar memprotes masuknya puluhan ton gula rafinasi di gudang distributor/pedagang di sekitar Pelabuhan Cirebon, saat ribuan ton gula petani tebu tak laku terjual. Sekretaris DPD APTRI Jabar Haris Sukmawan mengatakan hasil sidak yang dilakukan timnya, sebuah gudang distributor di Jalan Benteng di sekitar Pelabuhan Kota Cirebon, pada 3 Agustus menumpuk 40 hingga 50 ton gula rafinasi. Tapi ketika polisi datang, gula itu sudah lenyap seperti disulap.

Asosiasi Petani Gula menyatakan terjadi penumpukan stok gula tani sebesar 250.000 ton di Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Sulawesi Selatan karena tidak terserap pabrik gula.

Stok gula milik PT Rajawali Nusantara Indonesia (RNI) dari hasil musim giling tahun ini masih menumpuk hingga mencapai 30.000 ton.

“Biasanya stok selalu habis. Akan tetapi, pada tahun ini suplai gula pasir melimpah dan sulit masuk pasar, padahal produksi gula setiap hari 2.500 hingga 3.000 ton sampai musim giling tebu berakhir,” kata Direktur Utama RNI, B. Didik Prasetyo, 13 Agustus, seperti dikutip Antaranews.com.

Di pasar, distribusi gula sisa impor 2016 terus berjalan sehingga tak memberi ruang gula tani bisa masuk.

Ketua Umum APTRI Soemitro Samadikun mengatakan, sejauh ini ada kelebihan impor gula yang diindikasikan dengan banyaknya rembesan gula rafinasi di beberapa daerah.

“Impor gula harus dibatasi sesuai kebutuhan dong. Kebutuhan manusia Indonesia katakanlah rata-rata 11 kg setahun per orang. Jadi jangan dilebih-lebihkan,” kata Soemitro dalam rapat kerja nasional bertajuk Keberpihakan Pemerintah terhadap kesejahteraan petani tebu di Jakarta pekan lalu, seperti dikutip Antaranews.com.

Lalu sebenarnya berapa produksi gula lokal dan jumlah impor yang dibutuhkan? Dalam soal ini, tak ada data yang sama.

Asosiasi Gula Indonesia (AGI) menyatakan produksi gula mentah dalam negeri cenderung menurun dalam 3 tahun terakhir. Pada 2016, produksi gula mentah hanya 2,21 juta ton, turun dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai 2,48 juta ton. Turunnya produksi ini mengakibatkan meningkatnya angka impor gula mentah yang mencapai 3,2 juta ton pada tahun lalu.

Kementerian Perindustrian menargetkan produksi lokal tahun ini sebesar 2,7 juta ton, kuota impor gula mentah pada 2017 dipersiapkan sebanyak 3,4 juta ton.

Kemendag memproyeksikan produksi gula nasional tahun ini hanya 1,2 juta, sementara kebutuhan gula mencapai 3 juta ton. Kekurangannya? Jelaslah, kementerian ini bergegas akan mengimpor. Setelah bulan lalu para begal garam berpestapora, kini giliran para begal gula.

Kalau Pak Jokowi mau jagongan lagi dengan petani tebu, ia pasti akan dibombardir keluhan-keluhan yang sama seperti 3 tahun lalu. [Didit Sidarta]