Koran Sulindo – De Ongekroonde van Java atau Raja Jawa tanpa Mahkota, itulah julukan yang diberikan kalangan Pemerintah Kolonial Belanda kepada Raden Hadji Oemar Said Tjokroaminoto. Dengan posisinya sebagai ketua organisasi yang sangat besar pada masanya, Sarekat Islam, Tjokro memang memiliki pengaruh besar terhadap anggota organisasi itu. Juga terhadap banyak kaum pribumi di Tanah Jawa. Bagi banyak orang Jawa, ia dianggap sebagai ksatria piningit karena kerap melakukan kebaikan bagi banyak orang.
Namun, sebelum itu ada seorang bangsawan Jawa yang mendapat julukan De Javanese Prins (Pangeran dari Tanah Jawa) atau De Mooie Sos (Sos yang Tampan) dari bangsawan Belanda. Dialah Raden Mas Panji Sosrokartono, kakak kandung dari Raden Ajeng Kartini. Selama 29 tahun, Kartono mengembara di Eropa dan menguasai 24 bahasa di dunia plus 10 bahasa Nusantara. Di Wina, Austria, dia dijuluki Si Jenius dari Timur. Ia mengembara di Eropa sejak tahun 1897.
Tahun 1927, ia kembali ke Nusantara dan berkeinginan mendirikan sekolah sebagaimana dicita-citakan adiknya yang telah wafat, Kartini. Kartono ingin pula mendirikan perpustakaan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.
Untuk menghimpun modal, ia awalnya melamar menjadi koresponden The New York Herald untuk Hindia Belanda. Namun, koran tersebut sudah berganti pemilik dan merger dengan koran lain.
Kartono memang pernah menjadi wartawan koran itu di Wina, untuk meliput Perang Dunia I. Ia bisa menjadi wartawan The New York Herald setelah melewati serangkaian tes. Salah satu tes-nya, calon wartawan harus meringkas berita dalam bahasa Prancis menjadi kurang dari 30 kata dan kemudian menerjemahkan berita itu ke dalam bahasa Inggris, Spanyol, dan Rusia. Kartono lulus dan mendapat gaji US$ 1.250, gaji yang cukup besar dan dapat hidup mewah di Eropa pada masa itu, sebagaimana diungkapkan Bung Hatta dalam bukunya, Memoir.
Untuk melancarkan pekerjaannya sebagai wartawan, Panglima Perang Amerika Serikat memberi pangkat mayor kepada Sosrokartono. Tahun 1918, ia juga kemudian diangkat sebagai penerjemah tunggal untuk pasukan Sekutu. Kartono pernah pula menjadi Kepala Penerjemah Liga Bangsa-Bangsa, yang pada tahun 1921 menjadi Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations Organization). Kartono juga sempat menjadi staf Kedutaan Besar Prancis di Den Haag, Belanda.
Pada masa pengembaraannya di Eropa itulah, ia kerap mengirimi buku dan buletin kepada Kartini dan adik-adiknya yang lain. Buku-buku dan penerbitan dari Kartono banyak memberikan pencerahan bagi Kartini untuk memajukan bangsanya secara progresif.
Namun, ketika kembali ke Hindia Belanda, Kartono malah dicap sebagai orang komunis oleh pemerintah kolonial. ”Itu merupakan bentuk fitnah yang sangat keji yang saya rasakan, namun tidak berdaya terhadapnya,” tulis Kartono dalam suratnya kepada Nyonya Abendanon, sebagaimana dimuat dalam buku Surat-Surat Adik R.A. Kartini (2005). Ia pun bersumpah tidak pernah menganut paham komunis. ”Tapi kepada Anda, Nyonya yang mulia, saya bersumpah atas kubur ayah saya dan Kartini bahwa saya sama sekali tak pernah menganut paham komunis, dulu tidak, sekarang pun tidak. Tidak ada yang lebih saya inginkan daripada bekerja untuk pendidikan mental sesama bangsa saya, dalam artian yang telah dimaksudkan oleh Kartini.”
Ia sempat ditawari untuk menjadi bupati dan Direktur Museum Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen, namun ia menolak. ”Saya mau beristirahat dulu,” katanya memberi alasan.
Kartono tetap bulat pada tekadnya untuk mendirikan sekolah dan perpustakaan. Ia lalu menemui sejumlah tokoh pergerakan kemerdekaan di Indonesia untuk mendapatkan dukungan. Dalam upayanya tersebut, ia antara lain menemui Ki Hajar Dewantara, yang mendukung keinginannya itu.
Ki Hajar mengizinkan Kartono membangun perpustakaan di Taman Siswa Bandung, yang diberi nama Darussalam, yang berarti ‘Rumah Kedamaian’. Dalam suratnya ke Abendanon pada 19 Juli 1926, Kartono mengatakan, ”Perpustakaan ini tidak disebut dengan nama yang lazim melainkan merupakan lambang dari suatu pengertian baru, suatu cita-cita baru. Namanya Darussalam, yang berarti rumah kedamaian.”
Bukan hanya di Bandung, Kartono juga mendirikan perpustakaan Panti Sastra di Tegal, Jawa Tengah. Untuk yang di Tegal, Kartono dibantu adiknya, Raden Ajeng Kardinah.
Selain koleksi pribadi, buku-buku yang mengisi kedua perpustakaan itu berasal dari sumbangan 2 orang insinyur perusahaan kereta api Staats Spoorwegen, 3 orang partikelir bangsa Belanda, 2 orang perempuan Belanda, 3 orang Jawa, dan 1 orang Tionghoa. “Semboyannya tanpo rupo tanpo sworo, yang berarti tidak berwarna, tiada perbedaan, tiada perselisihan,” kata Kartono.
Ia kemudian juga diangkat sebagai Kepala Sekolah Menengah Nasional Bandung oleh Ki Hajar. Yang mengusulkan Kartono memegang posisi itu adalah adik Ki Hajar, R.M. Suryodiputro.Keluhuran Tradisi
DI Bandunglah persahabatan Sosrokartono dengan Bung Karno mulai terjalin. Bahkan, ada yang mengatakan, Sosrokartono merupakan salah satu guru spiritual Bung Karno.
Mungkin karena itu pula, kehidupan Kartono menjadi terus dikuntit polisi rahasia Hindia Belanda (PID). Maka, pada tahun 1927, dia memutuskan keluar dari Taman Siswa.
Pada tahun 1930, Kartono mendirikan rumah penyembuhan dengan nama Dar-Oes-Salam, di rumahnya di Jalan Pungkur Nomor 7 Bandung dan kemudian pindah ke Jalan Pungkur Nomor 19. Ia menyebut dirinya Mandor Klungsu. Dalam bahasa Jawa, klungsu berarti ‘biji asam’. Tapi, oleh banyak warga Bandung, Kartono juga mendapat banyak panggilan, seperti Wonderdokter, Juragan Dokter Cai Pengeran, Dokter Alif, Om Sos, Eyang Sosro, dan Ndoro Sosro.
Rumah penyembuhan di Jalan Pungkur itu berupa rumah panggung dari kayu dengan dinding gedek atau anyaman bambu. Rumah itu dibangun memanjang membentuk huruf “L” sepanjang Jalan Pungkur. Namun, bangunan tersebut kini sudah tak ada lagi, sudah berganti rumah toko dan bukan milik keluarga Kartono.
Dalam buku Panggil Aku Kartini Saja (1997), sastrawan besar Indonesia Pramoedya Ananta Toer mengungkapkan kelebihan Kartono sebagai seorang spiritualis. Mengutip kesaksian seorang dokter Belanda di CBZ (yang kini menjadi RSUP Dokter Cipto Mangunkusumo, Jakarta) pada 1930-an, Pram mengatakan dokter itu menyaksikan Kartono menyembuhkan perempuan melahirkan, yang menurut para dokter CBZ sudah tak mungkin tertolong lagi. Setelah diberi minum air putih oleh Kartono, kesehatan perempuan itu pun pulih kembali.
Peristiwa semacam itu juga pernah terjadi ketika Kartono masih mengembara di Eropa. Dalam buku R.M.P. Sosrokartono: Sebuah Biografi yang ditulis Solichin Salam (1987) diceritakan, Kartono menyembuhkan seorang anak yang sedang sakit, anak dari kenalannya, dengan hanya meletakkan telapak tangannya ke dahi anak itu. Hanya dalam hitungan detik, anak berusia 12 tahun tersebut langsung pulih kesehatannya. Padahal, sebelumnya, anak tersebut telah dibawa ke beberapa dokter untuk diobati.
Yang hadir melihat cara Kartono menyembuhkan sang anak menjadi terheran-heran, termasuk para dokter yang sebelumnya gagal menyembuhkan. Dari kejadian tersebut ada seorang ahli psychiatrie dan hypnose yang menjelaskan, Sosrokartono sebenarnya punya daya pesoonalijke magneetisme yang sangat besar tapi tidak ia sadari.
Karena itulah, Kartono kemudian memutuskan menetap di Paris untuk belajar psychometrie dan psychotecniek di sebuah perguruan tinggi di kota itu. Namun, karena lulusan jurusan bahasa dan sastra, ia hanya diterima sebagai toehoorder saja. Perguruan tinggi tersebut memang hanya khusus untuk mahasiswa-mahasiswa lulusan medisch dokter.
Kecewalah Kartono karena hanya dapat menimba ilmu yang sangat terbatas. Inilah antara lain yang mendorong dia untuk kembali ke Tanah Air dan menetap di Bandung.
Namun, sebelum pulang ke Jawa, Kartono memberanikan diri menemui Gubernur Jenderal W. Rooseboom pada 14 Agustus 1899 sewaktu Rooseboom masih di Belanda, belum ke Batavia untuk menjalankan tugasnya. Kartono bisa relatif mudah menemui Rooseboom karena memang namanya sudah terkenal di kalangan elite Eropa. Seperti ditulis Solichin Salam dalam bukunya, Kartono dalam kesempatan itu meminta Rooseboom benar-benar memperhatikan pendidikan dan pengajaran kaum pribumi di Hindia Belanda.
Pada tahun yang sama, dosen pembimbingnya di Universitas Leiden, Profesor Dr. J.H.C. Kern, juga mengundang Kartono untuk menjadi pembicara dalam Kongres Ke-25 Bahasa dan Sastra Belanda pada bulan September. Kongres tersebut diselenggarakan di Gent, Belgia, dan membicarakan hal-ihwal bahasa dan sastra Belanda di berbagai negara.
Lalu, apa topik apa yang dibawakan Sosrokartono dalam kongres itu? Kartono ternyata mempersoalkan hak-hak kaum pribumi di Hindia Belanda yang tak dipenuhi pemerintah kolonial. Ia meminta pemerintah kolonial Belanda memberikan pengajaran bahasa Belanda dan bahasa internasional lain di Hindia Belanda
Pidatonya untuk kongres itu diberi judul “Het Nederlandsch in Indie (‘Bahasa Belanda di Indonesia’)”. Dalam buku Di Negeri Penjajah: Orang Indonesia di Negeri Belanda yang ditulis Harry A. Poeze (2008) dimuat isi pidato Kartono.
“Bangkitlah, hai Putra-Putri Jawa. Serbulah bukit ilmu pengetahuan yang ada di depanmu. Sungguh jauh dari maksud saya untuk menjadikan kamu menjadi orang Belanda. Pertama-tama kamu harus menyadari bahwa kamu itu orang Jawa dan tetap orang Jawa. Kamu bisa saja menguasai kemajuan orang Eropa, tanpa mengorbankan kepribadianmu dan sifat-sifatmu. Kamu harus menguasai bahasamu dan di samping itu bahasa Belanda, tidak untuk menggantinya, tetapi untuk memperkaya.
“Tanaman membutuhkan air dan udara untuk pertumbuhannya, ia tidak berubah menjadi air atau udara, sedang ia tetap mengikuti jalan pertumbuhannya sendiri. Dengan tegas saya menyatakan diri saya sebagai musuh dari siapa pun yang berniat menjadikan kita orang Eropa dan menginjak-injak adat istiadat dan kebiasaan kita yang suci. Selama matahari dan bulan bersinar, mereka akan saya tantang!”
”Dengan tegas saya menyatakan diri saya sebagai musuh dari siapa pun yang akan membikin kita [Hindia Belanda] menjadi bangsa Eropa atau setengah Eropa dan akan menginjak-injak tradisi serta adat kebiasaan kita yang luhur lagi suci. Selama matahari dan rembulan bersinar, mereka akan saya tantang!” demikian isi pidato Sosrokartono yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
Keluhuran tradisi, menurut pandangannya, harus dipertahankan oleh orang-orang pribumi di mana pun berada. Dan, dengan wawasan yang terbuka karena dapat memahami bahasa-bahasa dari negara lain dan pengetetahuan yang bertambah banyak, masyarakat pribumi dapat mempertahankan kemuliaan tradisi dan harga dirinya.
Bung Karno Adalah Kesatria
PADA tahun 1930, ketika diadili oleh Pemerintah Kolonial Belanda di Landraad Bandung, Bung Karno sempat menemui Sosrokartono. Peristiwanya terjadi pada malam hari sebelum hakim membacakan keputusannya di siang keesokan harinya. Bung Karno dan beberapa orang kawannya mendatangi kediaman Kartono tanpa janji terlebih dulu.
Begitu sampai di depan pintu dan belum mengetuk daun pintu, seorang pembantu membukakan pintu dan menyampaikan bahwa kedatangan Bung Karno dan kawan-kawan telah ditunggu Sosrokartono. Begitu masuk, di dalam juga sudah disediakan kursi yang jumlahnya pas dengan para pemuda itu, dengan posisi melingkar dan di tengahnya adalah Kartono.
Para pemuda itu belum lagi mengucapkan apa-apa, Sosrokartono sudah mendahului berbicara. “Soekarno adalah seorang satria. Pejuang seperti satria boleh saja jatuh, tetapi ia akan bangkit kembali. Waktunya tidak lama lagi,” tutur Kartono.
Keesokan harinya, hakim memutuskan hukuman paling berat buat Bung Karno, empat tahun penjara. Bung Karno lalu mengajukan banding atas putusan itu ke Raud van Justitie, namun ditolak. Sejarah kemudian mencatat, Bung Karno “tak patah”. Ia bangkit kembali, berjuangan memerdekan bangsanya, sehingga bangsa Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945.
Putra seorang asisten Sosrokartono, Kayanto Soepardi namanya, pernah mengatakan, dirinya masih ingat rumah penyembuhan Kartono tak pernah sepi. Tamunya mulai dari orang Belanda, pribumi, hingga Cina peranakan.
Menurut Kayanto sebagaimana dimuat di majalah Tempo pada tahun 2006 lampau, dirinya pernah melihat Bung Karno datang menemui Kartono. Ketika itu, Kartono menuliskan huruf “alif” dalam bahasa Arab (yang merupakan huruf pertama lafaz “Allah”) di atas kertas putih seukuran prangko. Kemudian, kertas tersebut diselipkannya ke salah satu sisi dalam kopiah Bung Karno. Tak diketahui apa maksudnya.
Bung Karno juga bukan sekali-dua datang ke rumah Kartono. Kayanto mendapat informasi ini dari ayahnya. Bukan hanya untuk berkosultasi, tapi Bung Karno juga menimba ilmu bahasa dari Kartono.
Penampilan Kartono sehari-hari, diceritakan Kayanto, selalu memegang tongkat, memakai beskap berwarna putih lengan panjang, mengenakan topi (mirip mahkota) warna hitam, juga berkalung tasbih, yang menggantung hingga ke dadanya. Janggutnya putih, dengan sorot mata yang tajam dan tak banyak bicara.
Sebagai penyembuh, Kartono memang biasanya menggunakan air bening dan kertas putih yang ia tuliskan huruf “alif” untuk mengobati orang yang sedang sakit. Kertas bertulisan “alif” itu direndam dalam air bening sebelum diminum pasiennya. Selain itu, ia juga kerap memberi nasihat yang menenangkan pasien dan keluarganya.
Pada tahun 1942, separo badan Kartono lumpuh. Ia dipanggil menghadap Sang Mahapencipta pada 8 Februari 1952 dan dimakamkan di Sedo Mukti, Desa Kaliputu, Kudus. Makamnya di samping makam ibu dan bapaknya, pasangan Ngasirah dan R.M.A. Sosroningrat. Di nisannya yang sebelah kiri ditulis kata-kata terpilih Kartono: Sugih tanpa banda, digdaya tanpa aji. Di nisan sebelah kanan ditulis kalimat: Trimah mawi pasrah (rela menyerah terhadap keadaan yang telah terjadi), suwung pamrih tebih ajrih (kosong pamrih, jauh dari rasa takut), langgeng tan ana susah tan ana bungah (langgeng, tak kenal duka tak kenal suka), anteng manteng sugeng jeneng (diam sungguh-sungguh, maka akan selamat sentosa).
Raden Mas Panji Sosrokartono merupakan anak ketiga dari delapan bersaudara. Ia lahir pada 10 April 1877 di Pelemkerep, Mayong, Jepara, Jawa Tengah. Setelah tamat dari Europesche Lagere School di Jepara, Kartono meneruskan pendidikannya ke HBS di Semarang. Pada tahun 1898, ia meneruskan pendidikan ke Belanda, dengan masuk Sekolah Teknik Tinggi Delft. Tapi. Karena merasa tak cocok, Kartono pindah ke Jurusan Bahasa dan Kesusastraan Timur Universitas Leiden dan lulus, sehingga berhak mendapat gelar doctorandus in de oostersche talen. [Purwadi Sadim]