Bung Karno Adalah Kesatria

PADA tahun 1930, ketika diadili oleh Pemerintah Kolonial Belanda di Landraad Bandung, Bung Karno sempat menemui Sosrokartono. Peristiwanya terjadi pada malam hari sebelum hakim membacakan keputusannya di siang keesokan harinya. Bung Karno dan beberapa orang kawannya mendatangi kediaman Kartono tanpa janji terlebih dulu.

Begitu sampai di depan pintu dan belum mengetuk daun pintu, seorang pembantu membukakan pintu dan menyampaikan bahwa kedatangan Bung Karno dan kawan-kawan telah ditunggu Sosrokartono. Begitu masuk, di dalam juga sudah disediakan kursi yang jumlahnya pas dengan para pemuda itu, dengan posisi melingkar dan di tengahnya adalah Kartono.

Para pemuda itu belum lagi mengucapkan apa-apa, Sosrokartono sudah mendahului berbicara. “Soekarno adalah seorang satria. Pejuang seperti satria boleh saja jatuh, tetapi ia akan bangkit kembali. Waktunya tidak lama lagi,” tutur Kartono.

Keesokan harinya, hakim memutuskan hukuman paling berat buat Bung Karno, empat tahun penjara. Bung Karno lalu mengajukan banding atas putusan itu ke Raud van Justitie, namun ditolak. Sejarah kemudian mencatat, Bung Karno “tak patah”. Ia bangkit kembali, berjuangan memerdekan bangsanya, sehingga bangsa Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945.

Putra seorang asisten Sosrokartono, Kayanto Soepardi namanya, pernah mengatakan, dirinya masih ingat rumah penyembuhan Kartono tak pernah sepi. Tamunya mulai dari orang Belanda, pribumi, hingga Cina peranakan.

Menurut Kayanto  sebagaimana dimuat di majalah Tempo pada tahun 2006 lampau, dirinya pernah melihat Bung Karno datang menemui Kartono. Ketika itu, Kartono menuliskan huruf “alif” dalam bahasa Arab (yang merupakan huruf pertama lafaz “Allah”) di atas kertas putih seukuran prangko. Kemudian, kertas tersebut diselipkannya ke salah satu sisi dalam kopiah Bung Karno. Tak diketahui apa maksudnya.

Bung Karno juga bukan sekali-dua datang ke rumah Kartono. Kayanto mendapat informasi ini dari ayahnya. Bukan hanya untuk berkosultasi, tapi Bung Karno juga menimba ilmu bahasa dari Kartono.

Penampilan Kartono sehari-hari, diceritakan Kayanto, selalu memegang tongkat, memakai beskap berwarna putih lengan panjang, mengenakan topi (mirip mahkota) warna hitam, juga berkalung tasbih, yang menggantung hingga ke dadanya. Janggutnya putih, dengan sorot mata yang tajam dan tak banyak bicara.

Sebagai penyembuh, Kartono memang biasanya menggunakan air bening dan kertas putih yang ia tuliskan huruf “alif” untuk mengobati orang yang sedang sakit. Kertas bertulisan “alif” itu direndam dalam air bening sebelum diminum pasiennya. Selain itu, ia juga kerap memberi nasihat yang menenangkan pasien dan keluarganya.

Pada tahun 1942, separo badan Kartono lumpuh. Ia dipanggil menghadap Sang Mahapencipta pada 8 Februari 1952 dan dimakamkan di Sedo Mukti, Desa Kaliputu, Kudus. Makamnya di samping makam ibu dan bapaknya, pasangan Ngasirah dan R.M.A. Sosroningrat. Di nisannya yang sebelah kiri ditulis kata-kata terpilih Kartono: Sugih tanpa banda, digdaya tanpa aji. Di nisan sebelah kanan ditulis kalimat: Trimah mawi pasrah (rela menyerah terhadap keadaan yang telah terjadi), suwung pamrih tebih ajrih (kosong pamrih, jauh dari rasa takut), langgeng tan ana susah tan ana bungah (langgeng, tak kenal duka tak kenal suka), anteng manteng sugeng jeneng (diam sungguh-sungguh, maka akan selamat sentosa).

Raden Mas Panji Sosrokartono merupakan anak ketiga dari delapan bersaudara. Ia lahir pada 10 April 1877 di Pelemkerep, Mayong, Jepara, Jawa Tengah. Setelah tamat dari Europesche Lagere School di Jepara, Kartono meneruskan pendidikannya ke HBS di Semarang. Pada tahun 1898, ia meneruskan pendidikan ke Belanda, dengan masuk Sekolah Teknik Tinggi Delft. Tapi. Karena merasa tak cocok, Kartono pindah ke Jurusan Bahasa dan Kesusastraan Timur Universitas Leiden dan lulus, sehingga berhak mendapat gelar doctorandus in de oostersche talen. [Purwadi Sadim]