Keluhuran Tradisi
DI Bandunglah persahabatan Sosrokartono dengan Bung Karno mulai terjalin. Bahkan, ada yang mengatakan, Sosrokartono merupakan salah satu guru spiritual Bung Karno.
Mungkin karena itu pula, kehidupan Kartono menjadi terus dikuntit polisi rahasia Hindia Belanda (PID). Maka, pada tahun 1927, dia memutuskan keluar dari Taman Siswa.
Pada tahun 1930, Kartono mendirikan rumah penyembuhan dengan nama Dar-Oes-Salam, di rumahnya di Jalan Pungkur Nomor 7 Bandung dan kemudian pindah ke Jalan Pungkur Nomor 19. Ia menyebut dirinya Mandor Klungsu. Dalam bahasa Jawa, klungsu berarti ‘biji asam’. Tapi, oleh banyak warga Bandung, Kartono juga mendapat banyak panggilan, seperti Wonderdokter, Juragan Dokter Cai Pengeran, Dokter Alif, Om Sos, Eyang Sosro, dan Ndoro Sosro.
Rumah penyembuhan di Jalan Pungkur itu berupa rumah panggung dari kayu dengan dinding gedek atau anyaman bambu. Rumah itu dibangun memanjang membentuk huruf “L” sepanjang Jalan Pungkur. Namun, bangunan tersebut kini sudah tak ada lagi, sudah berganti rumah toko dan bukan milik keluarga Kartono.
Dalam buku Panggil Aku Kartini Saja (1997), sastrawan besar Indonesia Pramoedya Ananta Toer mengungkapkan kelebihan Kartono sebagai seorang spiritualis. Mengutip kesaksian seorang dokter Belanda di CBZ (yang kini menjadi RSUP Dokter Cipto Mangunkusumo, Jakarta) pada 1930-an, Pram mengatakan dokter itu menyaksikan Kartono menyembuhkan perempuan melahirkan, yang menurut para dokter CBZ sudah tak mungkin tertolong lagi. Setelah diberi minum air putih oleh Kartono, kesehatan perempuan itu pun pulih kembali.
Peristiwa semacam itu juga pernah terjadi ketika Kartono masih mengembara di Eropa. Dalam buku R.M.P. Sosrokartono: Sebuah Biografi yang ditulis Solichin Salam (1987) diceritakan, Kartono menyembuhkan seorang anak yang sedang sakit, anak dari kenalannya, dengan hanya meletakkan telapak tangannya ke dahi anak itu. Hanya dalam hitungan detik, anak berusia 12 tahun tersebut langsung pulih kesehatannya. Padahal, sebelumnya, anak tersebut telah dibawa ke beberapa dokter untuk diobati.
Yang hadir melihat cara Kartono menyembuhkan sang anak menjadi terheran-heran, termasuk para dokter yang sebelumnya gagal menyembuhkan. Dari kejadian tersebut ada seorang ahli psychiatrie dan hypnose yang menjelaskan, Sosrokartono sebenarnya punya daya pesoonalijke magneetisme yang sangat besar tapi tidak ia sadari.
Karena itulah, Kartono kemudian memutuskan menetap di Paris untuk belajar psychometrie dan psychotecniek di sebuah perguruan tinggi di kota itu. Namun, karena lulusan jurusan bahasa dan sastra, ia hanya diterima sebagai toehoorder saja. Perguruan tinggi tersebut memang hanya khusus untuk mahasiswa-mahasiswa lulusan medisch dokter.
Kecewalah Kartono karena hanya dapat menimba ilmu yang sangat terbatas. Inilah antara lain yang mendorong dia untuk kembali ke Tanah Air dan menetap di Bandung.
Namun, sebelum pulang ke Jawa, Kartono memberanikan diri menemui Gubernur Jenderal W. Rooseboom pada 14 Agustus 1899 sewaktu Rooseboom masih di Belanda, belum ke Batavia untuk menjalankan tugasnya. Kartono bisa relatif mudah menemui Rooseboom karena memang namanya sudah terkenal di kalangan elite Eropa. Seperti ditulis Solichin Salam dalam bukunya, Kartono dalam kesempatan itu meminta Rooseboom benar-benar memperhatikan pendidikan dan pengajaran kaum pribumi di Hindia Belanda.
Pada tahun yang sama, dosen pembimbingnya di Universitas Leiden, Profesor Dr. J.H.C. Kern, juga mengundang Kartono untuk menjadi pembicara dalam Kongres Ke-25 Bahasa dan Sastra Belanda pada bulan September. Kongres tersebut diselenggarakan di Gent, Belgia, dan membicarakan hal-ihwal bahasa dan sastra Belanda di berbagai negara.
Lalu, apa topik apa yang dibawakan Sosrokartono dalam kongres itu? Kartono ternyata mempersoalkan hak-hak kaum pribumi di Hindia Belanda yang tak dipenuhi pemerintah kolonial. Ia meminta pemerintah kolonial Belanda memberikan pengajaran bahasa Belanda dan bahasa internasional lain di Hindia Belanda
Pidatonya untuk kongres itu diberi judul “Het Nederlandsch in Indie (‘Bahasa Belanda di Indonesia’)”. Dalam buku Di Negeri Penjajah: Orang Indonesia di Negeri Belanda yang ditulis Harry A. Poeze (2008) dimuat isi pidato Kartono.
“Bangkitlah, hai Putra-Putri Jawa. Serbulah bukit ilmu pengetahuan yang ada di depanmu. Sungguh jauh dari maksud saya untuk menjadikan kamu menjadi orang Belanda. Pertama-tama kamu harus menyadari bahwa kamu itu orang Jawa dan tetap orang Jawa. Kamu bisa saja menguasai kemajuan orang Eropa, tanpa mengorbankan kepribadianmu dan sifat-sifatmu. Kamu harus menguasai bahasamu dan di samping itu bahasa Belanda, tidak untuk menggantinya, tetapi untuk memperkaya.
“Tanaman membutuhkan air dan udara untuk pertumbuhannya, ia tidak berubah menjadi air atau udara, sedang ia tetap mengikuti jalan pertumbuhannya sendiri. Dengan tegas saya menyatakan diri saya sebagai musuh dari siapa pun yang berniat menjadikan kita orang Eropa dan menginjak-injak adat istiadat dan kebiasaan kita yang suci. Selama matahari dan bulan bersinar, mereka akan saya tantang!”
”Dengan tegas saya menyatakan diri saya sebagai musuh dari siapa pun yang akan membikin kita [Hindia Belanda] menjadi bangsa Eropa atau setengah Eropa dan akan menginjak-injak tradisi serta adat kebiasaan kita yang luhur lagi suci. Selama matahari dan rembulan bersinar, mereka akan saya tantang!” demikian isi pidato Sosrokartono yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
Keluhuran tradisi, menurut pandangannya, harus dipertahankan oleh orang-orang pribumi di mana pun berada. Dan, dengan wawasan yang terbuka karena dapat memahami bahasa-bahasa dari negara lain dan pengetetahuan yang bertambah banyak, masyarakat pribumi dapat mempertahankan kemuliaan tradisi dan harga dirinya.