Ilustrasi/sahabaticw.org

Koran Sulindo – Ada komunikasi yang terhambat, sehingga terjadi ketegangan di tengah masyarakat terkait rencana pengesahan sejumlah rancangan undang-undang (RUU). Berbagai elemen mahasiswa pun menggelar aksi protes berhar-hari menentang pengesahan itu. Yang mereka protes antara lain sejumlah materi yang ada dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP).

“Ada komunikasi yang tidak berjalan sebagaimana mestinya. Kan Presiden Joko Widodo sudah bertemu jajaran kepemimpinan DPR. Presiden juga sudah mengumumkan penundaan pengesahan empat RUU. Mestinya, ketika mahasiswa unjuk rasa, pimpinan DPR membuat pernyataan dan meyakinkan mahasiswa bahwa empat RUU itu benar ditunda,” tutur Prof. Dr. Muhammad Fauzan, Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Soedirman, Purwokerto, Jawa Tengah, Rabu (25/9).

Prof. Fauzan juga mengungkapkan, terkait penundaan tersebut harus diinformasikan pula bahwa itu bukan sekadar menunda pengesahan. Bukan tinggal disahkan nantinya. “Tapi, itu juga artinya memberikan ruang yang seluas-luasnya kepada publik untuk ikut menyempurnakan persoalan-persoalan materi yang masih dianggap menimbulkan kontroversi dari keempat RUU itu,” tuturnya.

Mengenai adanya desakan ke presiden agar jangan menandatangani RUU yang sudah disetujui, Prof. Fauzan menjelaskan, sistem tata negara positif kita menentukan bahwa 30 hari setelah ada persetujuan namun presiden tak menandatangani RUU itu menjadi undang-undang, RUU itu tetap akan menjadi undang-undang yang akan diberlakukan.

“Makanya, mungkin, desakan untuk membuat perppu [peraturan pemerintah pengganti undang-undang] juga sah-saja saja. Tapi, kalau itu dilakukan, nanti akan selalu seperti itu: kebijakan yang telah diambil presiden karena ada desakan ke presiden kemudian jadi berubah haluan,” kata Prof. Fauzan. Padahal, lanjutnya, hukum tata negara kita juga memberi ruang: jika tak setuju dengan materi yang ada di undang-undang yang sudah disahkan, bisa menggugat melalui Mahkamah Konstitusi.

Dalam RKUHP, salah satu poin yang menjadi kontroversial di tengah masyarakat adalah pasal penghinaan kepada presiden. “Itu kan memang harus dikomunikasikan dan dijelaskan. Rumusannya harus jelas, jangan menimbulkan multitafsir. Ini kan yang dimaksud sebagai penghinaan tentunya presiden sebagai pribadi. Karena, setiap orang, siapa pun dia, tanpa melihat latar belakang kedudukannya, kan harus tetap dijamin hak-haknya, harkat dan martabatnya harus dilindungi, terlebih presiden,” ujar Prof. Fauzan lagi.

Menurut dia, sepanjang yang dikritik, bahkan dihina sekalipun, adalah kebijakannya, ya, tidak menjadi persoalan. “Tapi, kalau yang dituju itu adalah pribadinya, itu menjadi soal. Makanya, dalam RUU itu, masalah ini merupakan delik aduan,” tuturnya.

Memang, menyatakan pendapat itu bebas. “Tapi, ‘bebas’ dalam konteks negara hukum kan tidak bebas tanpa batas. Bukan berarti kita boleh menghina orang. Kalau mengkritisi kebijakan orang selaku pejabat publik, itu tidak masalah. Misalnya kebijakan Bantuan Langsung Tunai atau kebijakan yang berkaitan dengan kartu prakerja, itu kan bisa dikritik, apakah kebijakan itu justru dapat membuat orang menjadi malas, enggak semangat, enggak serius dalam mencari pekerjaan, untuk mandiri. Kritik seperti itu enggak apa-apa. Nah, ini juga harus diberi pemahamannya kepada masyarakat,” ujar Prof. Fauzan.

Ia pun menyatakan perlunya dicari titik temu dari berbagai materi di RKUHP yang dianggap menyimpan banyak persoalan. “Itulah perlunya dihadirkan pihak-pihak yang menilai materi-materi yang ada di RKUHP itu banyak yg multitafsir, masih lemah, masih belum jelas. Tanpa adanya dialog, saya pikir itu akan menjadi persoalan juga di kemudian hari,” tutur Prof. Fauzan.

Lebih lanjut dijelaskan, RKUHP sudah 50 tahun lebih dibahas. “Ini menyiratkan juga sebenarnya dialog sudah dilakukan. Hanya memang, ketika merumuskan menjadi sebuah ketentuan kan bisa menimbulkan tafsir macam-macam dari berbagai kalangan. Nah, agar tidak menimbulkan tafsir yang bermacam-macam, berbagai pihak harus bertemu,” ungkapnya.

Sebagai guru besar tata negara, Prof. Fauzan menilai RKUHP yang berisi 600-an pasal itu tidak semuanya jelek. “Ini kan untuk menyesuaikan dengan hukum yang tumbuh berkembang di masyarakat. Karena, harus diingat, KUHP yang sekarang ini kan dibuat lebih dari 100 tahun yang lalu, yang pastinya itu akan dipengaruhi oleh kepentingan pemerintah kolonial Belanda. Nilai-nilai yang dibawa tentunya juga nilai-nilai penguasa di sana. Pembuatnya orang-orang kolonial, dipengaruhi oleh hukum yang berlaku di Belanda. Karena itu, saya mengapresiasi RKUHP,” katanya.

Jajaran kepemimpinan DPR dan Presiden Joko Widodo telah sepakat menunda pengesahan RKUHP. Pemerintah juga berharap pembahasan RKUHP dilanjutkan oleh anggota DPR periode 2019-2024 mendatang.

“Ya, kami berharap carry over. Kita lihat kan Bamus [Badan Musyawarah DPR] tidak mengagendakan sekarang,” kata Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly kepada wartawan di Kompleks MPR/DPR/DPD, Senayan, Jakarta, Selasa lalu (24/9).

Ketua DPR Bambang Soesatyo sebelumnya juga telah menyatakan pihaknya akan mengkaji kembali setiap pasal bermasalah. Selain itu, DPR akan menggencarkan sosialisasi agar tidak terjadi kekeliruan dan kesalahpahaman di masyarakat. [YMA]