GunungTambora: Lord Byron dan Mary Shelley

Ilustrasi, letusan gunung berapi.

FRANKENSTEIN dikenal sebagai legenda horor dunia, terutama bagi masyarakat Eropa, juga Amerika Serikat.

Frankenstein sebenarnya bukanlah nama makhluk mengerikan yang melegenda itu, melainkan nama sang ilmuwan pencipta makhluk itu yakni Victor Frankenstein yang ada dalam buku Mary Shelley. Namun, sudah terlanjur tertanam bahwa monster itu sendiri sebagai Frankenstein.

Mary Shelley dan Frankenstein

Viktor Frankenstein maupun makhluk ciptaannya adalah karakter dalam novel karya penulis wanita kelahiran Inggris, Mary Shelley, berjudul Frankenstein; or The Modern Prometheus.

Novel ini pertama kali diterbitkan di London pada 1818 tanpa nama pengarang. Nama Mary baru muncul pada terbitan kedua tahun 1831. Yang menarik, secara tidak langsung, cerita Frankenstein tercipta gara-gara efek letusan Gunung Tambora.

Mary Shelley menjadi salah satu saksi peristiwa menyedihkan itu, saat ia sedang berkeliling Eropa bersama calon suaminya, seorang penyair radikal bernama Percy Bysshe Shelley. Mereka melakukan perjalanan menuju sebuah vila di Swiss milik seorang penyair Inggris, Lord Byron.

Mary Shelley menciptakan cerita pada sore hujan pada tahun 1816 di Jenewa, di mana dia tinggal bersama suaminya, Percy Bysshe Shelley, teman mereka Lord Byron dan dokter Lord Byron, John Polidori.

Rombongan terjebak di dalam ruangan oleh cuaca buruk, yang konon akibat letusan Gunung Tambora di Indonesia, mereka menghabiskan waktu dengan bercerita dan menulis cerita hantu.

Keempat orang tersebut tidak bisa keluar rumah karena cuaca buruk yang ada di luar. Kesempatan tersebut menjadi sebuah waktu yang sangat baik bagi Mary Shelley untuk merefleksikan kejadian baru yang sedang ia alami dan menuangkannya dalam sebuah tulisan. Sambil menulis, Mary Shelley menggambarkan pemandangan memilukan serta penderitaan masyarakat ke dalam novel horor yang ia tulis.

Charles Robinson dalam The Frankenstein Notebooks: A Facsimile Edition (1996), menyatakan bahwa Mary menuntaskan naskahnya pada pertengahan tahun 1817. Kemudian pada 1 Januari 1818, dengan bantuan dari Lord Byron, novel dari mimpi Mary itu diterbitkan di London dengan judul Frankenstein; or The Modern Prometheus.

Namun, saat itu yang dicantumkan sebagai penulis adalah Lord Byron yang memang sudah terkenal di Eropa. Pertimbangan lainnya, Mary kala itu masih berusia remaja.

The Modern Prometheus di bawah nama Lord Byron ternyata mendapat sambutan bagus. Maka novel Frankenstein; The Modern Prometheus diterbitkan ulang pada 1831, kali ini nama Mary Shelley tercantum sebagai pengarangnya.

Lord Byron

Puisi Lord Byron berjudul “Darkness” adalah salah satu karya sastra yang mengisahkan dampak letusan Tambora dengan indah.

Pada awal puisi itu, Byron menulis, “I had a dream which was not all a dream.” (Saya punya mimpi yang tak sepenuhnya mimpi). “The bright sun was extinguished, and the stars did wander darkling in the eternal space. Rayless, and pathless, and the icy earth swung blind and blackening in the moonless air. Morn came and went—and came, and brought no day.” (Matahari yang terang itu padam, dan bintang-bintang menggelap di angkasa yang abadi. Tanpa cahaya, tanpa jalan, dan Bumi yang beku membuta dan menghitam dalam langit tak berbulan. Pagi datang dan pergi—dan datang lagi, tanpa membawa hari).

Penggalan itu menggambarkan hari-hari gelap di Eropa yang terjadi akibat abu vulkanik Tambora yang menyembur hingga stratosfer, menyebar hingga langit Eropa, dan menyebabkan hari yang lebih gelap dibanding biasanya.

Puisi ini juga menyinggung perang yang telah usai sebagai latar waktu terjadinya letusan Tambora. Perang yang dimaksud adalah Perang Eropa dengan tokoh utama Napoleon Bonaparte.

Bahkan John William Polidori, dokter pribadi Lord Byron, juga menghasilkan karya bertajuk The Vampyre. Allan Asbjorn Jon dalam Vampire Evolution (2003) menyebut kisah Polidori ini sering dianggap sebagai nenek moyang genre vampir romantis fiksi fantasi. Seperti diketahui, vampir alias drakula kemudian juga menjadi salah satu ikon horor Eropa, seperti halnya Frankenstein.

Kisah Meletusnya Gunung Tambora

Sejumlah catatan sejarah mengungkap cerita terkait kedahsyatan letusan Tambora yang terjadi pada April 1815.

Kesaksian seputar letusan Tambora juga ditulis oleh Gubernur Hindia Belanda Thomas Stamford Raffles yang saat itu berada di Batavia. Raffles sempat menduga dentuman keras yang didengarnya merupakan serangan. Sehingga membuat Raffles memerintahkan tentaranya untuk bersiap-siap menghadapi serangan tersebut. Ia kemudian segera menyadari bahwa dentuman itu bukanlah serangan musuh, tapi letusan gunung yang membuat langit siang menjadi gelap.

Erupsi gunung berapi yang berada di Pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat ini juga memuntahkan abu sebesar 150 km kubik. Aerosol yang dikeluarkan pun mencapai 60 mega ton. Letusan juga menimbulkan kaldera dengan diameter 7 km dan sedalam 1,1 km, menjadikannya sebagai kaldera terdalam di dunia.

Diperkirakan ada lebih dari 92.000 nyawa melayang akibat letusan yang terjadi April 1815. Dampak pun juga turut dirasakan secara global ketika abu vulkanik menghalangi sinar matahari dan menyebabkan bagian utara Hemisfer mengalami penurunan suhu hingga 11 derajat Celcius, memicu terjadinya tahun tanpa musim panas di Eropa pada tahun 1816.

Sisi Positif Meletusnya Tambora

Profesor geologi Adjat Sudrajat mengungkapkan, puisi Byron, kisah Frankenstein, dan lainnya menunjukkan bahwa letusan Tambora tidak hanya berkaitan dengan kegelapan, kelaparan, wabah penyakit, dan kematian, tetapi juga kemunculan kreativitas. “Tambora di satu pihak menghancurkan kebudayaan, tetapi di pihak lain juga memunculkan kebudayaan,” katanya dalam sarasehan Tambora Menyapa Dunia di Museum Geologi Bandung (23/2/2015).

Salah satu kebudayaan yang muncul adalah karya sastra. Karya-karya sastra tersebut, kata Adjat, menunjukkan bahwa letusan Tambora tak melulu harus berarti bencana.

Betul bahwa Tambora merenggut setidaknya 117.000 nyawa, membuat tiga kerajaan di Sumbawa runtuh seketika, mengagetkan Gubernur Thomas Stamford Raffles yang sedang berkuasa di Jawa, serta memicu tsunami di pesisir-pesisir selatan Indonesia.

Meski demikian, Tambora juga mengeluarkan material yang kemudian membuat tanah di sekitarnya subur yang mendukung pertanian. Tambora membuat sejumlah orang bahkan menjadi kreatif menciptakan cerita. [S21]