Ilustrasi Hakim Mahkamah Konstitusi. www.mkri.id
Ilustrasi Hakim Mahkamah Konstitusi. www.mkri.id

Meskipun menuai banyak kritik, sidang perkara gugatan batas usia calon presiden-calon wakil presiden terus berjalan, dan kini hampir sampai di ujung keputusan.

Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman meng­­ungkap gugatan perkara batas usia calon pre­siden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) sudah selesai diperiksa dan kini tinggal menunggu putusan. Hal itu disampaikan Anwar ketika menjawab pertanyaan mahasiswa pada kuliah umum di Universitas Islam Sultan Agung (UISA), Sema­rang, Jawa Tengah.

“Insya Allah pemeriksaannya sudah selesai, tinggal nunggu putusan,” ujar Anwar yang ditayangkan di YouTube UISA, Sabtu (9/9).

Sebagai contoh, Anwar menyinggung Nabi Muhammad SAW mengangkat seorang panglima perang yang berusia belasan tahun. “Saya sudah kasih contoh tadi, bagaimana Nabi Muhammad mengangkat seorang panglima perang umurnya belasan tahun. Muhammad al-Fatih yang melawan kekuasan Bizantium, mendobrak Konstantinopel, sekarang menjadi Istanbul, usianya berapa? 17 tahun,” kata Anwar.

Kendati demikian, Anwar meminta pernyataannya tidak dikaitkan dengan gugatan usia capres cawapres yang sedang berjalan.

“Saya tidak menyinggung apapun putusan. Jangan dikaitkan dulu. Tapi memang betul, banyak, Perdana Menteri Inggris juga yang sekarang umurnya berapa? Coba cek di Google, yang dulu-dulu juga di beberapa negara,” kata dia.

Ia menyebut saat ini terdapat pula gugatan mengenai usia maksimal capres-cawapres yang kini dalam pemeriksaan.

Adapun Anwar mengaku tak ingin berbicara lebih jauh mengenai batas usia capres cawapres. Ia pun meminta masyarakat untuk menunggu putusan MK.

“Sesudah kesimpulan, prosesnya pembahasan perkara, pengambilan keputusan, dan drafting putusan di RPH,” kata Kepala Biro Hukum Administrasi dan Kepaniteraan (Kabiro HAK) MK Fajar Laksono, Selasa (29/8).

Bukan domain MK

Beberapa pengamat hukum berpendapat syarat usia capres-cawapres bukanlah urusan MK. DPR dan pemerintahlah yang berwenang membuat undang-undang.

Ahli hukum tata negara dari Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera, Bivitri Susanti, serta pengajar hukum pemilu Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Titi Anggraini. Mereka berdua punya kesamaan yakni memandang urusan peraturan syarat usia capres-cawapres bukanlah domain MK.

“MK itu bukan lembaga legislatif. MK itu tugasnya betul-betul spesifik yakni menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar,” kata Bivitri Susanti, kepada detikcom, Jumat (4/8/2023).

Bivitri mendasarkan pandangannya pada Pasal 24C Undang-Undang Dasar Negara Tahun 1945. Tugas MK bukanlah membuat per­aturan perundang-undangan seperti menetapkan syarat usia capres-cawapres. Tugas membuat peraturan syarat mi­nimal usia capres-cawapres justru meru­pakan tugas DPR dan pemerintah. Ini sudah diatur dalam Pasal 20 UUD 1945.

“Menurut saya, ini (gugatan terhadap syarat usia capres-cawapres dalam UU Pemilu) bukan isu konstitusional,” kata Bivitri.

Titi Anggraini, dihubungi terpisah oleh detikcom, menjelaskan bahwa Pasal 6 ayat 2 UUD 1945 telah mengamanatkan bahwa syarat-syarat presiden dan wakil presiden diatur dalam undang-undang, bukan di UUD 1945 ini sendiri, jadi ini bukan isu terkait konstitusi UUD 1945.

“Masalah syarat usia capres-cawapres adalah masalah pilihan kebijakan hukum pembentuk UU, bukan merupakan isu yang konstitusionalitasnya ditentukan Mahkamah Konstitusi (MK),” kata Titi.

MK sudah punya pengalaman lewat putusan MK Nomor 58/PUU-XVII/2019 dan putusan Nomor 15/PUU-V/2007. MK menyebutkan bah­wa perihal batas usia tidak terdapat per­soalan konstitusional sebab, menurut Mah­ka­mah, hal itu sepenuhnya meru­pakan kewenangan pembentuk UU.

Perkara syarat usia capres-cawapres dalam UU Pemilu adalah open legal policy atau kebijakan hukum pembentuk undang-undang. Menurut Bivitri Susanti, MK harus menolak gugatan tersebut. MK perlu konsisten karena pada persidangan sebelumnya MK pernah menolak gugatan serupa dengan argumen masalah seperti itu adalah ranah open legal policy.

Titi Anggraini juga berpendapat sama, dia berharap MK menolak gugatan itu. Namun lebih dari itu, MK juga perlu tetap menjaga kepercayaan publik karena putusan MK sebelumnya telah diapresiasi banyak pihak, yakni putusan soal perkara sistem pemilu proporsional terbuka atau tertutup.

Urusan politik

Bivitri menilai gugatan terhadap syarat umur capres-cawapres dalam UU Pemilu bukanlah fenomena hukum konstitusional, melainkan fenomena politik juga. Dia menguraikan gejala-gejala yang dia amati.

“Kalau soalnya adalah umur, ini memang tugas pembuat UU untuk menentukan, karena isunya bukan isu konstitusional,” kata Bivitri.

“Kenapa saya melihat ini sebagai fenomena politik? Sebab, pengajunya salah satunya adalah PSI yang kita tahu sangat dekat dengan Pak Jokowi dan keluarganya. Kemarin PSI baru dikunjungi Pak Prabowo di kantor DPP PSI. Saya melihat ini sebagai langkah PSI mendekatkan diri ke keluarga Pak Jokowi,” kata Bivitri.

Menurut Bivitri, belum ada hasil penelitian yang cukup meyakinkan yang menyatakan ada korelasi positif antara usia dan kualitas kebijaksanaan dalam kepemimpinan. Padahal, pandangan politik kebijakan yang perlu diakomodir dalam undang-undang perlu didasarkan pada data yang reliabel.

Sikap DPR dan Pemerintah

Sebelumnya, pada Selasa (1/8) lalu, DPR dan pemerintah memberikan keterangan dalam sidang uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 mengenai batas minimal usia calon presiden dan calon wakil presiden dari 40 tahun menjadi 35 tahun. DPR dan Pemerintah memberikan sinyal setuju dengan batas usia capres-cawapres menjadi 35 tahun itu.

Pihak DPR menjelaskan bahwa MK bisa memutuskan perkara syarat usia capres-cawarpes ini meskipun aturan usia capres-cawapres adalah urusan open legal policy DPR dan pemerintah. Soalnya, urusan open legal policy bukan berarti selalu tidak bertentangan dengan konstitusi. Bisa saja, produk open legal policy juga bertentangan dengan konstitusi. Maka pada titik itulah MK bisa masuk.

Pimpinan Komisi III DPR Habi­burkhman menjadi wakil DPR di MK saat sidang uji materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu di Mahkamah Konstitusi.

Dari pihak pemerintah, ada Staf Ahli Kemendagri, Togap Simangunsong, yang tampil di ruang sidang MK. Dia menjelaskan ada Pasal 38D ayat 1 UUD 1945 yang menyebut soal hak seseorang di hadapan hukum. Ada pula Pasal 28D ayat 3 UUD 1945 yang menyatakan setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.

Soal usia, pemerintah meminta hakim MK mempertimbangkan soal perkembangan usia produktif penduduk.

“Pemerintah menyerahkan sepe­nuhnya kepada kebijaksanaan Yang Mulia, Ketua dan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi RI untuk mempertimbangkan dan menilai konstitusionalitas pasal a quo UU Pemilu terhadap UUD 1945,” tutur Togap Simangunsong.[KS-05]