Koran Sulindo – Setelah Komisi Pemilihan Umum (KPU) menyatakan petahana Joko “Jokowi” Widodo terpilih kembali menjadi presiden untuk periode 2019 -2024, lawannya Prabowo Subianto langsung mengumumkan rencananya untuk menggugatkeputusan KPU tersebut ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Langkah hukum yang diambil Prabowo sama seperti yang dilakukannya pada pemilihan presiden 2014. Meski, akhirnya MK menolak seluruhnya permohonan yang diajukan karena tidak adanya bukti yang cukup.
Tulisan ini akan menjabarkan proses hukum yang harus dilalui Prabowo dan kemungkinan bahwa tuntutannya kali ini juga akan berakhir sia-sia.
Wewenang MK
MK adalah salah satu pemegang kekuasaan kehakiman di Indonesia dengan empat wewenang. Kewenangan tersebut mencakup:
Menguji kesesuaian suatu undang-undang dengan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
Memutus sengketa kewenangan lembaga negara.
Memutus pembubaran partai politik.
Memutus sengketa hasil pemilihan umum (pemilu).
Bila dikaitkan dengan kasus Prabowo, maka permohonan Prabowo masuk ke dalam kewenangan MK yang terakhir.
Dalam tuntutannya kali ini, Prabowo ingin MK membatalkan hasil penghitungan suara yang ditetapkan oleh KPU dan mengumumkan Prabowo sebagai pemenang sesuai dengan hasil penghitungan suara yang dilakukan kubunya.
Kronologi Hukum
Secara kronologis, pemeriksaan kasus Prabowo akan diawali dengan pengajuan permohonan ke bagian kepaniteraan MK yang menjalankan fungsi administratif peradilan.
Selanjutnya, bagian kepaniteraan memeriksa kelengkapan syarat-syarat. Syarat-syarat tersebut termasuk kelengkapan identitas pemohon, uraian bahwa kasusnya masuk ke dalam salah satu wewenang MK, serta tuntutan yang diminta kepada hakim.
Berdasarkan hasil pemeriksaan tersebut, MK akan memberitahukan kepada Prabowo sebagai pemohon apakah berkasnya sudah lengkap atau belum. Bila belum lengkap, pemohon harus segera melengkapi dan memperbaiki permohonan dalam waktu kurang lebih satu hari.
Permohonan yang dinyatakan memenuhi persyaratan akan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi (BRPK). Permohonan yang telah terdaftar akan dimuat pada laman MK dan salinannya disampaikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan, dalam konteks ini adalah kubu Prabowo, kubu Jokowi, dan KPU.
Selanjutnya MK akan menetapkan dan memberitahukan hari sidang pertama kepada semua pihak dengan agenda “Pemeriksaan Pendahuluan”.
Dalam “Pemeriksaan Pendahuluan,” hakim mengkonfirmasi tuntutan pemohon dan memberikan nasihat terkait tuntutan yang diajukan. Setelah sidang tersebut, pemohon diberikan kesempatan untuk memperbaiki tuntutannya dalam jangka waktu dua sampai tiga hari.
Setelah diperbaiki, maka dilakukan “Pemeriksaan Persidangan” untuk memeriksa substansi perkara untuk membuktikan kebenaran tuntutan yang diajukan. Dalam tahap ini, hakim akan mendengarkan penjelasan pemohon, penjelasan KPU, pemeriksaan alat bukti, hingga pemeriksaan ahli yang diundang. Proses ini membutuhkan setidaknya minimal dua kali sidang, satu untuk mendengarkan pihak pemohon dan satu lagi untuk pihak lain yang terkait.
Alat bukti yang diakui di hadapan persidangan adalah bukti tertulis; keterangan para pihak; keterangan saksi; keterangan ahli; keterangan pihak lain; alat bukti lain; dan petunjuk.
Secara mendetail, yang dimaksud dengan bukti tertulis disini adalah Keputusan KPU tentang rekapitulasi hasil penghitungan suara; Keputusan KPU tentang penetapan pasangan calon presiden dan wakil presiden beserta lampirannya; Keputusan KPU tentang penetapan nomor urut pasangan calon presiden dan wakil presiden beserta lampirannya; berita acara; dan salinan rekapitulasi hasil penghitungan suara yang ditandatangani oleh penyelenggara pemilihan presiden.
Setelah melalui tahapan-tahapan di atas, maka MK harus memutus perkara ini dalam tenggang waktu paling lama 14 hari kerja semenjak permohonan dicatat dalam BRPK.
Jadwal Persidangan
Dalam Pasal 475 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, kandidat yang tidak puas terhadap hasil pemilu dapat mengajukan gugatan ke MK paling lambat tiga hari setelah KPU mengumumkan hasil perolehan suara.
Maka batas akhir Prabowo mengajukan permohonan gugatan secara resmi adalah 24 Mei.
Lalu, 11 Juni adalah waktu pencatatan permohonan pemohon dalam BRPK dan pemberitahuan sidang pertama kepada pihak-pihak yang terlibat dalam perkara ini.
Pada 14 Juni akan berlangsung “Pemeriksaan Pendahuluan” dan Prabowo diberi waktu hingga 17 Juni untuk memperbaiki permohonannya. Setelah itu, 17 hingga 21 Juni berlangsung “Pemeriksaan Persidangan”.
Akhirnya, 28 Juni 2019 menjadi hari puncak pengucapan putusan akhir.
Ada tiga opsi putusan akhir yang dapat dikeluarkan oleh MK, yakni permohonan tidak dapat diterima, permohonan ditolak, dan permohonan dikabulkan.
Permohonan tidak dapat diterima ketika pemohon dan tuntutannya tidak memenuhi syarat yang telah ditentukan. Hal ini termasuk salah tulis dalam identitas pemohon, pemohon bukanlah calon yang sah, ataupun telah lewatnya masa tenggang waktu 3 hari pengajuan tuntutan.
Permohonan ditolak ketika substansi permohonan tidak beralasan menurut hukum. Penolakan ini diterima Prabowo pada gugatannya tahun 2014 lalu. Ketika itu, MK memutuskan menolak gugatannya karena tidak terbukti adanya kecurangan secara terstruktur, sistematis, dan masif dalam pemilihan presiden dan wakil presiden 2014. Kubu Prabowo dinilai tidak dapat membuktikan adanya penekanan oleh pejabat penguasa daerah, rekayasa penyelenggara, dan adanya politik uang.
Dan sebaliknya, permohonan dikabulkan ketika substansi gugatan terbukti beralasan menurut hukum.
Jika opsi terakhir yang diputuskan, maka MK akan membatalkan keputusan KPU dan menetapkan hasil penghitungan perolehan suara yang benar.
Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dapat menangani dugaan kecurangan, namun wewenangnya hanya dibatasi hingga tahap penghitungan suara. Jika KPU sudah menetapkan hasil perhitungan suara, maka pihak yang tidak puas dengan keputusan KPU harus menempuh langkah hukum ke MK.
Bila pada akhirnya MK kembali menolak permohonan pihak Prabowo, sama seperti tahun 2014, maka sudah tidak ada lagi celah bagi Prabowo membawa lagi sengketa ini ke jalur hukum. Hal ini mengingat konstitusi telah mengatur bahwa putusan MK bersifat final dan mengikat.
Beda 2014 dengan 2019
Secara substansi permohonan, gugatan Prabowo tahun 2019 tidak akan jauh berbeda dengan gugatannya pada 2014.
Akan tetapi, peluang Prabowo untuk memenangkan perkaranya di MK jauh lebih kecil dibanding tahun 2014.
Untuk membuktikan adanya kecurangan dalam selisih hampir 16 juta suara dengan Jokowi, Prabowo harus menyiapkan bukti yang menunjukkan adanya setidaknya 100 kecurangan di 100.000 hingga 200.000 Tempat Pemungutan Suara (TPS).
Berbeda dengan tahun 2014 ketika Prabowo harus membawa bukti dari 57.000 TPS.
Permohonan kasus hanya akan diterima MK jika selisih suara yang dipersengketakan akan mengubah hasil akhir. Artinya, walaupun terbukti ada satu juta suara yang seharusnya milik Prabowo, permohonan akan tetap ditolak karena tidak mengubah hasil bahwa Jokowi lebih unggul. Oleh karenanya, rasanya nasib gugatan Prabowo tidak akan berubah kali ini. [Josua Satria Collins, Researcher at Indonesia Judicial Monitoring Society (MaPPI), Faculty of Law University of Indonesia, Universitas Indonesia]. Tulisan ini disalin dari theconversation.com.