Gringsing: Wastra Kuno Warisan Suku Bali Aga

Tenun Gringsing (foto: goodnewsfromindonesia.com)

Suluh Indonesia – Penduduk asli Bali, kabarnya telah datang ke Pulau Bali, sebelum gelombang migrasi Hindu-Jawa. Suku Bali Aga adalah salah satu sub-suku bangsa Bali yang menganggap diri mereka sebagai penduduk Bali yang asli. Bali Aga disebut juga dengan Bali Pegunungan karena sejumlah suku Bali Aga terdapat di Desa Trunyan.

Ada 3 gelombang migrasi penduduk yang pernah terjadi di Pulau Bali. Gelombang pertama berlangsung pada zaman prasejarah. Gelombang kedua penyebaran masyarakat ke Bali terjadi ketika momen perkembangan agama Hindu di wilayah Nusantara. Ketiga, gelombang migrasi berlangsung saat Majapahit runtuh dan terjadinya proses Islamisasi di Pulau Jawa.

Dari ketiga gelombang migrasi tersebut, dua gelombang migrasi pertama lah yang disebut dengan Suku Bali Aga. Sementara itu, mereka yang datang pada gelombang ketiga, mayoritas berasal dari Pulau Jawa. Oleh karena itu, mereka mendapatkan sebutan sebagai Suku Bali Jawi.

Orang Bali yang berasal dari Suku Bali Aga memiliki tempat hidupnya tersendiri. Mereka biasa membangun komunitas di kawasan pegunungan. Dalam kesehariannya, orang Bali Aga terbiasa dengan aturan adat yang begitu ketat. Kawasan tempat tinggal orang dari Suku Bali Aga adalah Desa Tenganan dan Desa Trunyan.

Masyarakat Tenganan di Karang Asem memiliki tradisi menenun kain yang sudah berusia ratusan tahun bernama gringsing yang biasanya digunakan dalam upacara khusus. Kain gringsing adalah satu-satunya kain tenun tradisional Indonesia yang dibuat menggunakan teknik dobel ikat dan memerlukan waktu yang cukup lama dalam pembuatannya. Desa Tenganan terletak di Kecamatan Manggis, Kabupaten Karangasem.

Masyarakat Bali Aga (foto: payungcoklat.blogspot.com

Kain Gringsing

Penenunan kain Gringsing di Tenganan Pegringsingan menggunakan teknik menenun khusus dobel ikat, di dunia hanya ada 3 tempat teknik tenun dobel ikat seperti ini yaitu di India, Jepang dan Indonesia.

Kata gringsing berasal dari gring yang berarti ‘sakit’ dan sing yang berarti ‘tidak’, sehingga bila digabungkan menjadi ‘tidak sakit’. Maksud yang terkandung di dalam kata tersebut adalah seperti penolak bala. Di Bali, berbagai upacara, seperti upacara potong gigi, pernikahan, dan upacara Sasih Sambah serta upacara keagamaan lain, dilakukan dengan bersandar pada kekuatan kain Gringsing.

Dalam proses pembuatan Kain tenun Gringsing ini dari awal sampai akhir menggunakan tangan, tidak sedikitpun menggunakan mesin, baik itu mulai dari proses pembuatan benang tenun sampai menjadi selembar kain. Hingga kadang butuh waktu sampai 5 tahun, tidak heran harganyapun menjadi tidak murah.

Berdasarkan mitos kain tenun ini berawal dari Dewa Indra yang mengajarkan para wanita menenun, dengan mengagumi keindahan malam hari dan memaparkan keindahan tersebut dalam hasil tenun, seperti keindahan bulan, bintang dan suasana langit. Sehingga hasil tenun umumnya cenderung berwarna gelap dan digunakan dalam setiap ritual keagamaan yang memiliki kekuatan magis untuk menolak bala dan menangkal pengaruh negatif.

Proses pembuatan kain tenun dobel ikat seperti kain Gringsing ini, bisa memakan waktu 2 sampai 5 tahun, menggunakan bahan-bahan alami dari alam termasuk juga dalam pewarnaan. Dalam proses tenun mungkin hanya butuh waktu sekitar 2 bulan tetapi proses pembuatan motif dobel ikatnya butuh waktu lama, sehingga tidak mengherankan harga kain tersebut bisa sangat mahal.

Proses Pembuatan

Semua proses pembuatan dengan tangan menggunakan alat-alat konvensional. Mulai dari proses pemintalan benang menggunakan alat pintal tradisional, bahan benang sendiri dari kapuk berbiji satu dan itupun hanya bisa ditemukan di pulau Nusa Penida.

Motif kain gringsing hanya menggunakan tiga warna yang disebut Tri Datu. Pewarna alami yang digunakan dalam pembuatan motif kain gringsing adalah ‘babakan’ (kelopak pohon) Kepundung putih  (Baccaurea racemosa) yang dicampur dengan kulit akar mengkudu (Morinda citrifolia) sebagai warna merah, minyak buah kemiri (Aleurites moluccanus) berusia tua (± 1 tahun) yang dicampur dengan air serbuk/abu kayu sebagai warna kuning, dan pohon Taum untuk warna hitam.

Tenun Gringsing (foto: goodnewsfromindonesia.com)

Setelah menjadi benang kemudian direndam dengan minyak kemiri, perendaman tersebut minimal 40 hari dan paling lama 1 tahun, dan itupun air rendaman harus diganti berselang 25-49 hari sekali.

Perendaman dimaksud untuk membuat benang lebih kuat dan lembut, semakin lama rendaman maka hasilnya akan semakin baik. Untuk buah kemiri sendiri bisa didapatkan langsung di desa adat Tenganan, buah kemiri yang digunakan adalah yang benar-benar sudah matang serta sudah jatuh sendiri dari pohonnya.

Pohon kemiri menjadi salah satu pohon dilindungi oleh awig-awig (aturan) desa Tenganan. Dimanapun pohon kemiri tumbuh tidak boleh dipanen sendiri dan harus dibiarkan matang sampai jatuh sendiri, sehingga nantinya bisa dengan mudah untuk mendapatkan kemiri berkualitas baik.

Setelah selesai mengalami proses perendaman benang, kemudian dipintal menjadi sehelai kain dengan panjang (sisi pakan) dan lebar (sisi lungsi). Ketika sudah menjadi selembar kain, maka kain tersebut akan diikat sesuai pola yang ditentukan, kemudian dilakukan proses pencelupan warna sehingga membentuk motif dan warna yang sesuai. Penataan benang, proses pengikatan dan pencelupan warna kain dilakukan pada kedua sisi yaitu sisi panjang dan lebar dikenal dengan teknik dobel ikat.

Masyarakat Tenganan Pegringsingan yang menganut agama Hindu percaya bahwa segala sesuatu pekerjaan yang diawali dengan upacara keagamaan maka pasti akan memperoleh keselamatan. Proses penenunan kain Gringsing sangat memperhatikan aturan yang sudah diwariskan secara turun temurun. Mereka tetap menjaga dan melindungi keaslian setiap tata cara dan proses dalam pembuatan kain ini agar nilai-nilai ritual dalam keagamaan tetap terjaga.

Dalam kehidupan keseharian masyarakat Tenganan, berkesenian yang merupakan bagian dari kepercayaan yang dipersembahkan berdasar atas nilai-nilai-nilai keyakinan dan ajaran ketuhanan. Keindahan yang tertuang berkembang secara tradisional dari satu generasi ke generasi berikutnya. Kain Gringsing merupakan suatu bentuk keindahan dan telah menjadi persyaratan dalam setiap peristiwa upacara. [NoE]

Baca juga: