Koran Sulindo – Presiden Joko Widodo menandatangani Peraturan Presiden (Perpres) No.72 Tahun 2020 pada 24 Juni lalu. Ini merupakan revisi atas Perpres sebelumnya yaitu Perpres No. 54 tahun 2020 yang baru ditandatangani Jokowi pada 3 April lalu.
Perpres teranyar Jokowi ini kembali mengubah secara drastis postur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2020, di mana pendapatan berkurang sedangkan belanja bertambah banyak. “Di sini kami, di Perpres No.72 menampung hal-hal baru yaitu perluasan dan perpanjangan kebijakan insentif perpajakan untuk dunia usaha,” ujar Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati saat rapat dengar pendapat dengan Komisi XI DPRI beberapa waktu lalu.
Dalam Perpres No.54 tahun 2020, insentif perpajakan kepada dunia usaha ini hanya diberikan sampai September 2020. Tetapi kemudian diperpanjang hingga Desember 2020. Insentif perpajakan ini adalah diskon PPh 21 dan PPh 22 dan percepatan restitusi PPN.
Perpanjangan insentif kepada dunia usaha ini tentu akan berdampak pada sisi pendapatan dalam APBN. Sedangkan dari sisi belanja, Perpres No.72 tahun 2020 menampung sejumlah hal baru seperti subsidi UMKM dan pembayaran risiko kredit modal kerja bagi UMKM yang sebelumnya menurut Sri Mulyani tak ada di Perpres No. 54 tahun 2020. Selain itu, bantuan sosial tunai diperpanjang hingga Desember nanti meski dengan jumlah yang lebih rendah. Diskon tarif listrik juga diperanjang dari semula hanya tiga bulan menjadi enam bulan. Dari sisi belanja, juga ada tambahan Dana Insentif Daerah (DID) untuk pemulihan ekonomi nasional di daerah dan untuk tambahan belanja penanangan Covid-19 di daerah.
Akibatnya, pendapatan negara yang semula di Perpres No. 54 tahun 2020 sebesar Rp 1.760,88 triliun turun menjadi Rp 1.699,95 triliun atau terpangkas sebesar Rp 60,94 triliun. Sementara di sisi belanja terjadi pembengkakan yaitu dari Rp 2.613,82 triliun menjadi Rp 2.739,17 triliun.
Membengkaknya belanja, sementara pendapatan mengempis, menyebabkan defisit anggaran meningkat menjadi Rp 1.039,22 triliun atau 6,34 dari PDB. Sebelumnya di Perpres No. 54 tahun, defisit anggaran sebesar Rp 852,94 triliun atau 5,07% dari PDB.
Sri Mulayani mengatakan akibat Covid-19, pembiyaan dari utang dalam APBN 2020 meningkat sebesar Rp 903,46 triliun menjadi Rp 1.645,3 triliun dari dari semula sebesar Rp 741,8 triliun. Untuk meringankan beban utang tersebut, pemerintah dan Bank Indonesia (BI) pun bersepekat untuk berbagi beban (burden sharing), langkah yang oleh sejumlah kalangan dianggap mencederai independesi BI sebagai otoritas moneter.
Sri Mulyani menjelaskan dalam burden sharing ini, utang yang dibagi bebannya bersama BI hanya yang terkait dengan belanja untuk kebutuhan manfaat publik (public goods) dengan total sebesar Rp 397,56 triliun. Rinciannya adalah belanja kesehatan sebesar Rp 87,55 triliun; belanja perlindungan sosial sebesar Rp 203,9 triliun serta belanja padat karya dan dukungan sektoral dan pemerinatah daerah sebesar Rp 106,11 triliun.
Pemerintah akan menerbitkan Surat Berharga Negara (SBN) atau utang untuk membiayai tiga pos belanja publik tersebut. SBN tersebut akan dibeli oleh Bank Indonesia melalui mekanisme private placement dengan bunga sebesar BI Reserve-Repo Rate dan bunga tersebut ditanggung sepenuhnya oleh Bank Indonesia.
“Sehingga beban bunga bagi pemerintah untuk SBN khusus yang diterbitkan dengan private placement adalah untuk pemerintah nol dan untuk Bank Indonesia adalah sebesar Reserve Repo Rate-nya itu,” ujar Sri Mulyani saat konferensi pers bersama Gubernur BI pada 6 Juli lalu.
Berbagi Beban
Berbagi beban dengan BI juga dilakukan untuk utang yang diterbitkan pemerintah pada pos belanja untuk mendukung dunia usaha yaitu UMKM sebesar Rp123,46 triliun dan korporasi non-UMKM sebesar Rp 53,37 triliun. Meski, beban bunganya tak ditanggung sepenuhnya oleh BI tetapi dibagi dua dengan pemerintah. Total belanja untuk pos ini adalah sebesar Rp176,83 triliun. Seperti untuk belanja sektor publik (public goods) pemerintah juga akan menerbitkan SBN tetapi tidak melalui mekanisme private placement melainkan diterbitkan melalui mekanisme pasar (tradeable-marketable). Tetapi BI membeli SBN tersebut dengan menanggung sebagian beban bunganya.
“Pemerintah menanggung suku bunganya adalah 1% di bawah Reserve Repo Rate, sedangkan BI menanggung bunganya antara tadi 1% di bawah Reserve Repo Rate hingga market rate-nya,” ujar Sri Mulyani.
Dengan demikian, total pembiayaan yang beban bunganya dibagi (burden sharing) dengan Bank Indonesia adalah sebesar Rp 574,39 triliun dari total Rp 903,46 triliun pembiayaan utang karena Covid-19.
Sri Mulyani mengatakan untuk belanja lainnya yaitu yang menyangkut insentif usaha serta belanja-belanja komitmen pemerintah lainnya sebesar Rp328,87 triliun, pemerintah akan menerbtikan SBN melalui mekanisme pasar dan seluruh bunganya ditanggung oleh pemerintah. Tidak berbagi beban dengan Bank Indonesia.
“Jadi dalam hal ini kami dan Bank Indonesia tetap akan menjaga integriy dari market mechanism di mana khusus untuk yang merupakan surat berharga yang diterbitkan oleh pemerintah dan langsung dibeli Bank Indonesia yaitu pendanaannya secara langsung oleh BI, ini yang disebut debt monetisasi, itu hanya khusus untuk yang public goods sebesar Rp 397,56 triliun dengan suku bunganya Reserve Repo Rate dan ini hanya dilakukan untuk tahun 2020 atau istilahnya one off policy, khusus untuk belanja yang sifatnya public benefit atau public goods tersebut,” ujarnya.
Gubernur BI, Perry Warjiyo menjelaskan untuk burden sharing pertama yaitu belanja kategori public goods, BI akan mendapatkan kupon sebesar tingkat suku bunga BI Reserve-Repo Rate. Kemudian kupon tersebut dikembalikan BI kepada pemerintah sehingga pemerintah tidak menanggung beban bunga sama sekali. “Karena ini adalah kondisi extraordinary, tentu inilah dasar pertimbangan mengapa pendanaan dan beban itu ditanggung oleh Bank Indonesia,” ujar Perry saat konferensi pers yang sama.
Sedangkan untuk burden sharing yang kedua yaitu terkait insentif UMKM dan korporasi non-UMKM sebesar Rp176,83 triliun, BI menanggung sebagian beban bunga. Sebagai ilustrasi kalau Reserve Repo Rate sekarang untuk 3 bulan itu 4,3% dan asumsi kupon SBN di pasar sebesar 7,36%. Pemerintah akan menanggung sebesar 4,3% dikurang 1% yaitu 3,3%. Sedangkan BI akan menanggung 7,36% dikurangi 3,3% yaitu sekitar 4,06%.
Perry mengatakan burden sharing ini tidak akan berdampak terlau signifikan pada inflasi tahun ini. Dari mekanisme burden sharing yang Rp 397 triliun, jelasnya, karena hanya berlaku setahun pengaruah ke inflasi tidak terlalu besar. “Karena memang ekonomi kita demand-nya yang sangat lemah sehingga dampak terhadap inflasi tahun ini tidak akan besar. Tentu saja kita akan monitor dan kami memonitor dampak-dampak berikutnya akan bagaimana,” ujar Perry. [Julian A]