Ilustrasi/Dicky D

Koran Sulindo – Tepat pada peringatan hari kelahiran Pancasila tahun ini kata gotong royong kembali bergema. Tidak saja karena kata tersebut identik dengan Pancasila, tapi Indonesia membutuhkan semangat kebersamaan itu untuk menghadapi penyebaran wabah Covid-19 saat ini.

Sejak terdeteksi kali pertama pada Maret lalu, Presiden Joko Widodo mengimbau semua masyarakat agar bergotong royong menjadi pahlawan kemanusiaan terhadap sesama dalam menghadapi Covid-19. Seruan serupa juga muncul dari Ketua DPR Puan Maharani dengan mengutip Bung Karno bahwa inti sari Pancasila adalah gotong royong.

Karena itu, Puan meminta agar masyarakat Indonesia tidak terpaku kepada istilah pembatasan sosial berskala besar tapi Indonesia membutuhkan semangat gotong royong berskala besar untuk melawan Covid-19. Menarik menelusuri istilah gotong royong ini dan bagaimana nilai-nilai kebersamaan itu menjadi bagian dari kehidupan rakyat Indonesia.

Ketika Bung Karno berpidato pada 1 Juni 1945 tentang Pancasila, ia menyebutkan bisa memeras 5 asas yang terdiri atas kebangsaan Indonesia; internasionalisme atau perikemanusiaan; mufakat atau demokrasi; kesejahteraan sosial; dan menyusun Indonesia merdeka dengan bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa menjadi trisila atau 3 asas saja.

Ia mengajukan itu apabila para peserta sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia tidak setuju dengan 5 asas. Jika diperas menjadi 3 asas, maka itu terdiri atas sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi dan ketuhanan. Dan bila diperas lagi 3 asas itu, kata Bung Karno, bisa menjadi satu dasar. Apakah yang satu itu? Gotong royong.

Gotong royong, kata Bung Karno, merupakan istilah asli Indonesia. Dengan demikian, Indonesia berdiri untuk Indonesia – semua buat semua. Jadi, alangkah hebatnya menjadi negara gotong royong, kata Bung Karno. Lalu, mengapa jiwa rakyat Indonesia itu bergotong royong?

Menurut Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo) di masa awal kemerdekaan jiwa rakyat Indonesia bergotong royong itu bukanlah buatan manusia yang ada di bumi Indonesia. Namun, alam dan bumi Indonesia yang menempa rakyat berjiwa demikian.

Tanah Indonesia kaya karena iklimnya. Hujan dan panas matahari cukup menyuburkan bumi Indonesia. Kekayaannya melimpah. Dan ini yang membentuk jiwa pemurah, memberi dasar kepada jiwa Indonesia yaitu jiwa bergotong-royong. Jiwa yang bergotong royong inilah menyusun dan meletakkan dasar-dasar masyarakat di Indonesia yaitu masyarakat yang bergotong-royong.

Pendek kata, gotong royong adalah hidup bersama dan bekerja bersama; sama rata sama rasa. Atau dalam istilah yang diperkenalkan kaum kiri dikenal sebagai sosialisme. Dengan demikian, gotong royong yang menjadi inti sari Pancasila sejalan dengan cita-cita Bung Karno mewujudkan sosialisme ala Indonesia.

Meski begitu, sosialisme menurut Bung Karno tidak bisa berjalan tanpa nasionalisme dan demokrasi. Tanpa kedua hal itu, sosialisme bisa mengarah kepada anarkisme. Karena itu, Soekarno, menurut Asmara Hadi dalam Marhaenisme Dalam Alam Pikir Soekarno menyatukan ketiganya dan menjadikannya sebagai sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi yang kemudian diistilahkan sebagai marhaenisme.

Dari sini kita menjadi mengerti gotong royong yang disebut Soekarno sebagai jiwa tulen rakyat Indonesia tak terlepas dari gagasan marhaenisme yang telah dipikirkannya sejak periode 1920-an hingga 1930-an. Maka, bergotong royong boleh dibilang mewujudkan nasionalisme dan demokrasi di bidang politik dan ekonomi. Dengan itu pula gagasan marhaenisme akan terus hidup.

Pertanyaannya: sudahkah kita bergotong royong? [Kristian Ginting]