Golkar Setelah Setnov

Ketua Umum Golkar Setya Novanto dan Sekjen Golkar Idrus Marham/istimewa

Koran Sulindo – Kalimat di surat bertulisan tangan itu semua berhuruf besar, pendek, dengan nada memerintah. Surat Setya Novanto (Setnov) dari dalam penjara Komisi Pemberantasan Korupsi di sekitaran Kuningan Jakarta itu, meminta tak ada wacana memberhentikan dirinya. “Tidak ada pembahasan pemberhentian sementara/permanen terhadap saya selaku ketua umum Partai Golkar,” tulis Setnov kepada Dewan Pimpinan Pusat Partai Golkar.

Tersangka dugaan kasus korupsi pengadaan KTP Elekreonik (e-KTP) itu juga menulis surat kepada pimpinan DPR, namun lebih panjang dan dengan nada memohon.

Surat pertama itu membuat rapat pleno Golkar di kantor DPP Golkar di kawasan Slipi pekan lalu berlangsung alot, penuh teriakan, dan beberapa kali gebrakan di meja. Namun setelah sekitar separuh hari kemudian, rapat yang berlangsung setelah waktu lohor itu ditutup hampir tengah malam dengan hasil sama dan sebangun dengan isi surat Setnov. Ketua Umum yang naik ke pucuk pimpinan Golkar pada 2016 itu sementara masih tetap erat genggamannya.

Sekjen Golkar Idrus Marham ditetapkan sebagai Pelaksana Tugas (Plt) Ketua Umum, dan akan duduk di situ hingga gugatan praperadilan yang diajukan Setnov putus.

Jika gugatan Setnov kembali menang seperti praperadilan pertama lalu, jabatan Plt ini berakhir dan Setnov ketua umum lagi. Jika gugatannya ditolak, Plt bersama ketua harian melaksanakan rapat pleno untuk memutuskan Setnov mengundurkan diri sebagai Ketum. Jika Setnov tak mau, Golkar akan menyelenggarakan musyawarah nasional luar biasa (Munaslub).

Namun arah pertempuran internal memperebutkan posisi puncak di partai yang lahir  dan tumbuh bersama Orde Baru Soeharto itu nampak jelas masih akan bersambung. Menurut Ketua Harian Partai Golkar Nurdin Halid, dalam menjalankan tugas Plt ketua umum harus membicarakannya bersama ketua harian, koordinator bidang, dan bendahara umum.

Luka dan Berdarah-darah

Sejak berdiri 1964, Golkar telah memiliki 10 orang ketua umum yang rata-rata memiliki masa jabatan 5 tahun. Namun sejak reformasi 1998 dan seterusnya Golkar adalah partai yang terus dihantami seterunya, luka dan berdarah-darah, tapi tetap terus berdiri.

Dimulai sejak mundurnya Presiden Soeharto pada Mei 1998, partai yang digunakan Orde Baru sebagai salah satu senjatanya itu, diserang wacana pembubaran karena bagian dari riwayat Orba yang berdarah. Berkat kelihaian dan pengalaman lebih 30 tahun sebagai partai penguasa, wacana itu pelan-pelan pudar dan dilupakan orang. Pada Pemilihan Umum 1999, partai berlambang pohon beringin itu justru keluar sebagai pemenang kedua, di belakang Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan.

Jotosan-jotosan dari luar itu berbarengan dengan pertempuran terus-menerus di internal partai, bahkan sejak partai itu mendeklarasikan diri sebagai “Partai Baru” di bawah kendali alumunus menteri Orba, Akbar Tandjung. Sejak itu, pergantian ketua umum tak lagi mulus dalam lima tahunan seperti normalnya partai di Indonesia.

Akbar yang memimpin sejak 1998, hanya mampu bertahan 6 tahun, ditendang Jusuf Kalla pada 2004. Politisi cum pedagang dari timur Indonesia itu mampu bertahan duduk manis normal 5 tahun di Anggrek Neli, Slipi, Jakarta Barat.

Namun berbareng dengan habisnya periode pertama pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 2009, JK waktu itu wakil presiden, ia tak dipakai lagi SBY dalam Pilpres berikutnya, berakhir pula genggaman JK.

Ia digusur pedagang lain yang lagi dekat dengan kekuasaan, Aburizal Bakrie pada 2009. Pedagang yang moyangnya dari Lampung, Sumatera ini, bertahan hingga 7 tahun sebelum memilih calon presiden yang keliru pada Pilpres 2014 lalu, dan digoyang ketika memasuki 2 tahun masa kepempinannya yang kedua walau sama seperti Pemilu 1999, Golkar lagi-lagi mencuri urutan kedua pemenang Pemilu 2014 di bawah PDIP. Setnov masuk dan langsung merapatkan diri ke Presiden Joko Widodo, yang merangkulnya untuk menyeimbangkan posisi politiknya.

Setelah Setnov

Baru persis setahun menjadi orang nomor satu di bawah partai berwarna dominan kuning itu, Setnov sudah digoyang. Ketika politisi yang merintis karier dari onderbouw Golkar, Kosgoro ini ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi e-KTP pada Juli lalu, goyangan itu mulai kencang tapi dapat ia hentikan dengan kemenangan di sidang praperadilan pada 29 September 2017.

Namun goyangan itu makin kencang ketika Setnov kembali ditetapkan sebagai tersangka kasus yang sama pada awal November lalu. Di dalam tubuh partai ia memang terlihat masih kuat, tapi serangan dari luar partai dari makin kencang dan sistematis.

Ketika dibawa dari Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo ke gedung KPK dan langsung ditahan dinihari itu juga, Setnov merajuk ke mana-mana, di hadapan wartawan, bahwa ia sudah meminta perlindungan diri ke Presiden Jokowi, Kapolri, Jaksa Agung, dan seterusnya. Mereka ramai-ramai buang badan. Kalla, yang namanya tak disebut Setnov sebelum masuk bui KPK itu, makin kencang menggoyangnya, dan tiap hari muncul di media massa nasional.

Tak banyak lagi bahu yang bisa dipakai bersandar Setnov. Ia berkejaran dengan waktu. Putusan sidang praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan akhir November ini satu-satunya yang tersisa untuk bisa melompat balik ke kursinya di Slipi dan dunia politik Indonesia. Tapi nampaknya hukum takkan lagi berpihak padanya, seperti pada praperadilan pertama lalu, dan Setnov nampaknya tahu. [Didit Sidarta]