Koran Sulindo – Penghargaan kepada penulis atau penghargaan sastra bukanlah hal penting atau utama. Tetap menulis dan berkarya menghasilkan beragam tulisan bermutu, memperbaiki ekosistem kepenulisan, itulah hal sangat penting yang perlu bersama dikembangkan, termasuk oleh Persatuan Penulis Indonesia, Satupena.
Wartawan senior Goenawan Mohamad mengatakan hal tersebut ketika tampil sebagai pembicara dalam sarasehan daring (Sadaring) Satupena ke-2 yang digelar pada Ahad siang (22/8). Bahkan, berbagai hal bisa membuat suatu penghargaan menimbulkan kontroversi dan polemik tidak produktif.
Selain itu, tidak ada ukuran yang pasti dalam penghargaan penulis, termasuk dalam sastra. Jadi sebaiknya penghargaan terhadap penulis mesti dilihat sebagai undangan untuk melakukan pembahasan atau discourse lebih dalam tentang karya penulis tersebut.
Sebagian penghargaan, sayangnya, tidak berfokus pada karya namun pada sosok penulis atau pengarang. Padahal, publik bisa membaca sendiri bagaimana karya penulis yang diberi penghargaan, lalu menilai apakah penghargaan tersebut beralasan atau tidak.
Baca juga: Meester in de Rechten Pendiri PNI
Dewi Lestari dalam pengantar Sadaring melukiskan posisi suatu penghargaan tersebut bagi seorang penulis. Ibarat makanan, “Penghargaan itu seperti makanan penutup yang manis. Ada atau tidak, bukan jadi masalah. Yang penting adalah makanan utamanya atau karya itu sendiri,” katanya.
Penghargaan adalah dinamika dunia kepenulisan, apresiasi atas kerja keras kita sebagai penulis. Namun, seperti halnya apresiasi pembaca, maka penghargaan adalah sesuatu yang tak bisa dikendalikan penulis. Sebaiknya, penulis fokus pada hal-hal yang dapat dikendalikan, yakni menjaga kualitas karyanya.
Sadaring Satupena ke-2 yang dihadiri hampir 200 peserta ini dimoderatori Debra H. Yatim dan Geger Riyanto bertema “Penulis, Pengharagaan, dan Marwahnya”. Sayangnya Eka Kurniawan batal hadir. Sebelum diskusi, penyair Dyah Merta membacakan puisi tentang seorang ibu yang kesulitan memberikan susu pada anaknya.
Lebih lanjut, Goenawan yang penulis dan pendiri Tempo mengatakan, penghargaan sastra bukanlah tujuan utama penulis. Ketiadaan ukuran yang pasti, subyektivitas penyelenggara, juga kendala bahasa membuat penghargaan atas karya-karya penulis selalu berpotensi menimbulkan kontroversi.
Tradisi penghargaan sendiri sudah hadir sejak masa Yunani lama, 200 tahun SM. Hadiah Nobel untuk sastra, yang dianggap sebagai prestasi puncak dalam bidang kesusastraan dunia, pun tak lepas dari polemik dan kelemahan dalam penjurian. Juri Nobel sastra, yang dirahasiakan namanya, dianggap tidak cukup banyak mengenal sastra dunia karena kemungkinan terkendala bahasa asli dari asal negara sastrawan, misalnya dari Indonesia. Juga karya-karya sastrawan Rusia, seperti Leo Tolstoy tidak mendapat penghargaan, karena ditulis dalam bahasa Rusia yang tak diketahui juri dengan baik.
“Jadi, kalau hadiah Nobel saja menimbulkan kerancuan karena yang diumumkan adalah nama penulisnya, bukan karyanya, apalagi peghargaan penulis atau sastrawan di Indonesia. Lebih baik (penulis) fokus pada karya,” kata Goenawan.
Satupena disarankan lebih baik berfokus pada membenahi dunia kepenulisan. Misalnya, bagaimana penulis mendapatkan hak-hak, dan royaltinya dibayarkan dengan baik, serta melawan pembajakan. Yang juga lebih mendasar, bagaimana agar masyarakat bisa lebih luas mengapresiasi karya sastra.
Baca juga: Gerak Sejarah PNI
Selama ini, pengajaran sastra di sekolah adalah menghafal nama dan judul buku. Bukan pada memahami, melakukan kritik, dan mengapresiasi karya. Chairil Anwar itu menjadi penyair besar karena dia tekun melakukan kritik pada karya sastra. Perbaikan besar-besaran dalam pendidikan sastra di sekolah lebih penting ketimbang fokus pada penghargaan.
Menjawab pertanyaan tentang peran media dalam menumbuhkan perkembangan sastra, Goenawan mengatakan, kekurangan sastra kita adalah menelaah karya kita sendiri. Harus diakui, media di Indonesia kurang menyediakan ruang untuk karya sastra. Ruang perbincangan tentang sastra semakin menyempit dan makin berkurang pula elaborasi kritik sastra.
Tradisi menulis risalah sangat penting sebagai bagian refleksi dari apa yang telah kita tuliskan. Soal format, bisa online, cetak, itu bukanlah masalah. Yang penting, kita harus menumbuhkan apresiasi dan kritik penulisan, termasuk pada karya sastra. [AT]