Lebih lanjut, Goenawan yang penulis dan pendiri Tempo mengatakan, penghargaan sastra bukanlah tujuan utama penulis. Ketiadaan ukuran yang pasti, subyektivitas penyelenggara, juga kendala bahasa membuat penghargaan atas karya-karya penulis selalu berpotensi menimbulkan kontroversi.

Tradisi penghargaan sendiri sudah hadir sejak masa Yunani lama, 200 tahun SM. Hadiah Nobel untuk sastra, yang dianggap sebagai prestasi puncak dalam bidang kesusastraan dunia, pun tak lepas dari polemik dan kelemahan dalam penjurian. Juri Nobel sastra, yang dirahasiakan namanya, dianggap tidak cukup banyak mengenal sastra dunia karena kemungkinan terkendala bahasa asli dari asal negara sastrawan, misalnya dari Indonesia. Juga karya-karya sastrawan Rusia, seperti Leo Tolstoy tidak mendapat penghargaan, karena ditulis dalam bahasa Rusia yang tak diketahui juri dengan baik.

“Jadi, kalau hadiah Nobel saja menimbulkan kerancuan karena yang diumumkan adalah nama penulisnya, bukan karyanya, apalagi peghargaan penulis atau sastrawan di Indonesia. Lebih baik (penulis) fokus pada karya,” kata Goenawan.

Satupena disarankan lebih baik berfokus pada membenahi dunia kepenulisan. Misalnya, bagaimana penulis mendapatkan hak-hak, dan royaltinya dibayarkan dengan baik, serta melawan pembajakan. Yang juga lebih mendasar, bagaimana agar masyarakat bisa lebih luas mengapresiasi karya sastra.

Baca juga: Gerak Sejarah PNI

Selama ini, pengajaran sastra di sekolah adalah menghafal nama dan judul buku. Bukan pada memahami, melakukan kritik, dan mengapresiasi karya. Chairil Anwar itu menjadi penyair besar karena dia tekun melakukan kritik pada karya sastra. Perbaikan besar-besaran dalam pendidikan sastra di sekolah lebih penting ketimbang fokus pada penghargaan.

Menjawab pertanyaan tentang peran media dalam menumbuhkan perkembangan sastra, Goenawan mengatakan, kekurangan sastra kita adalah menelaah karya kita sendiri. Harus diakui, media di Indonesia kurang menyediakan ruang untuk karya sastra. Ruang perbincangan tentang sastra semakin menyempit dan makin berkurang pula elaborasi kritik sastra.

Tradisi menulis risalah sangat penting sebagai bagian refleksi dari apa yang telah kita tuliskan. Soal format, bisa online, cetak, itu bukanlah masalah. Yang penting, kita harus menumbuhkan apresiasi dan kritik penulisan, termasuk pada karya sastra. [AT]