Kikisan pohon pinus yang dijadikan sebagai pemantik api alami. (Sulindo/Ulfa Nurfauziah)
Kikisan pohon pinus yang dijadikan sebagai pemantik api alami. (Sulindo/Ulfa Nurfauziah)

Di tengah gemuruh modernisasi, kebiasaan memasak telah mengalami perubahan yang signifikan. Dari penggunaan kayu bakar, arang, hingga teknologi canggih seperti kompor gas dan kompor listrik, masyarakat terus beradaptasi dengan kenyamanan yang ditawarkan teknologi.

Namun, di beberapa pelosok desa yang jauh dari hiruk-pikuk kota, tradisi memasak dengan tungku kayu masih tetap hidup. Bagi masyarakat di sana, tungku kayu tidak hanya menjadi alat masak, tetapi juga simbol kearifan lokal yang harus mereka jaga.

Di balik nyala api tungku yang sederhana, terdapat inovasi alami yang telah diwariskan secara turun-temurun: pemanfaatan kikisan kayu pohon pinus bekas penyadapan getah sebagai pemantik.

Kikisan kayu ini berasal dari sisa pohon pinus yang telah disadap getahnya oleh para petani. Kayu tersebut masih mengandung residu getah yang melekat, menjadikannya sangat efektif untuk memulai nyala api.

Getah pohon pinus sendiri dikenal memiliki kandungan kimia yang membuatnya mudah terbakar. Mengutip beberapa sumber, dua komponen utama yang berperan penting dalam sifat ini adalah terpentin dan asam resin.

Terpentin menyusun sekitar 25% dari getah pinus dan terdiri dari senyawa hidrokarbon, terutama alpha-pinene, yang memiliki titik nyala rendah, yaitu pada kisaran 33°C – 38°C, sehingga membuatnya sangat mudah terbakar.

Selain itu, sifatnya yang mudah menguap menjadikannya cepat berubah menjadi uap saat dipanaskan, yang kemudian terbakar dengan cepat. Sebagian besar getah pinus, yaitu sekitar 66%, terdiri dari asam resin yang membantu meningkatkan kekentalan dan daya reaktivitas terhadap panas, sehingga membantu mempertahankan nyala api yang stabil.

Selain terpentin dan asam resin, getah pinus juga mengandung bahan netral sebesar 7% dan air sebanyak 2%. Meskipun jumlahnya kecil, kandungan air dapat memengaruhi sifat fisik getah, seperti viskositas dan daya bakarnya.

Getah pinus juga memiliki sifat hidrofobik, yang berarti tidak larut dalam air tetapi larut dalam pelarut organik non-polar seperti etil eter dan heksan. Ketika dipanaskan, terpentin dalam kikisan kayu menguap, meninggalkan residu yang dikenal sebagai gondorukem. Gondorukem ini juga memiliki sifat mudah terbakar, sehingga memperpanjang durasi nyala api.

Tradisi menggunakan kikisan kayu pinus sebagai pemantik api tidak hanya mencerminkan inovasi masyarakat dalam memanfaatkan sumber daya yang ada, tetapi juga menjadi bagian dari kehidupan yang erat dengan alam.

Pohon pinus yang banyak tumbuh di daerah pegunungan memberikan suplai bahan yang melimpah, murah, dan mudah diakses. Dengan memanfaatkan sisa kayu yang masih mengandung getah, masyarakat tidak hanya menghemat biaya, tetapi juga menjaga keberlanjutan lingkungan dengan memanfaatkan limbah alami.

Kandungan terpentin dan asam resin dalam residu getah pada kikisan kayu pinus adalah kunci utama mengapa bahan ini begitu mudah terbakar. Sifat ini membuat kikisan kayu pinus tidak hanya berguna dalam aplikasi rumah tangga seperti pemantik api untuk memasak, tetapi juga dalam berbagai industri.

Meski demikian, sifat mudah terbakar ini juga meningkatkan risiko kebakaran hutan, terutama di wilayah yang banyak ditumbuhi pohon pinus. Oleh karena itu, penting untuk memahami cara memanfaatkan bahan ini dengan bijak agar tradisi lama tetap lestari tanpa mengorbankan keselamatan lingkungan.

Tradisi menggunakan kikisan kayu pinus sebagai pemantik api adalah bukti bahwa teknologi modern tidak selalu menggantikan kebiasaan lama. Dalam kesederhanaannya, solusi alami ini justru menunjukkan bagaimana manusia bisa hidup selaras dengan alam.

Di tengah derasnya arus perubahan, masyarakat yang mempertahankan tradisi ini mengajarkan kita bahwa ada nilai-nilai kearifan lokal yang patut dilestarikan sebagai warisan budaya yang tak ternilai. [UN]