Gerakan Non Blok, Persatuan Anti Kolonialisme dan Imperialisme Terbesar dalam Sejarah

Para pimpinan negara penggagas Gerakan Non-Blok dalam Konferensi Belgrade (1961), dari kiri ke kanan: PM India Jawaharlal Nehru, PM sekaligus Preiden Ghana Kwame Nkrumah, Presiden Mesir Gamal Abdel Nasser, Presiden Indonesia Soekarno, dan Presiden Yugoslavia Josip Broz Tito.(Dok. Non-Aligned Movement)

Kebangkitan gerakan kemerdekaan di berbagai belahan dunia setelah berakhirnya Perang Dunia II mampu meruntuhkan kekuasaan kolonial. Semangat kemerdekaan bangsa-bangsa kemudian berhasil dikonsolidasikan melalui Konferensi Asia-Afrika (KAA) tahun 1955 di Bandung. KAA menghasilkan Dasa Sila Bandung sebagai kesatuan cita-cita menghancurkan kolonialisme dan imperialisme di dunia. Dari Bandung itu pula lahir semangat membangun gerakan anti imperialisme terbesar di dunia yaitu Gerakan Non Blok atau juga dikenal sebagai Non Aligned Movement.

Pasca Perang Dunia II poros fasisme Jerman-Italia-Jepang telah runtuh, menyisakan dua kekuatan besar yaitu Amerika Serikat (AS) dan sekutunya yang dikenal sebagai blok barat, di lain sisi ada Uni Soviet dan Cina sebagai kekuatan blok timur. Blok barat yang dipimpin AS berisikan negara-negara kolonialis lama seperti Inggris, Prancis, Spanyol juga Belanda yang masih memiliki wilayah jajahan di berbagai belahan dunia termasuk di Asia dan Afrika.

Negara-negara kolonialis yang terdesak oleh gerakan kemerdekaan lalu berhasil mendorong lahirnya Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) sebagai perlindungan terakhir, sambil mencari cara mempertahankan kekuasaan atas tanah jajahan. Selain itu blok barat membentuk Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) pada 4 April 1949 sebagai aliansi politik dan militer dibawah kepemimpinan AS. NATO awal dideklarasikan beranggotakan Amerika Serikat, Belgia, Kanada, Denmark, Prancis, Islandia, Italia, Luksemburg, Belanda, Norwegia, Portugal, Spanyol dan Inggris.

Blok barat dengan NATO-nya menggunakan tameng PBB untuk melindungi segala aksi militer agresifnya termasuk agresi militernya ke Indonesia tahun 1948 dan perang Korea. Pakta perjanjian NATO juga memuat pernyataan bahwa serangan bersenjata terhadap satu atau lebih dari anggotanya akan dianggap sebagai serangan terhadap mereka semua, jika serangan bersenjata tersebut terjadi, anggota NATO menjalankan hak pembelaan diri (termasuk pengerahan militer bersenjata) berdasar Pasal 51 Piagam PBB.

Untuk membendung agresifitas AS-NATO, lalu Uni Soviet membentuk Pakta Warsawa pada 14 Mei 1955. Pakta Warsawa adalah aliansi pertahanan kolektif yang didirikan oleh Uni Soviet dan tujuh negara lainnya di Eropa Tengah dan Timur yaitu Albania, Bulgaria, Cekoslowakia, Jerman Timur, Hongaria, Polandia, dan Rumania.

NATO dan Pakta Warsawa saling bertentangan secara ideologis dan saling membangun kekuatan militer. Perlombaan senjata pun berlangsung secara masif sepanjang Perang Dingin.

KAA dan Gerakan Non Blok lahir

Tidak ingin terseret dalam arus besar blok barat dan timur, negara-negara Asia dan Afrika sebagai negeri yang baru merdeka membangun persekutuan sendiri dengan watak anti kolonialisme. Satu dekade setelah Indonesia merdeka, Presiden RI Sukarno bersama pemimpin dunia lainnya menggelar Konferensi Asia-Afrika yang diselenggarakan pada tanggal 18-24 April 1955. Pertemuan ini juga dikenal dengan sebutan Konferensi Bandung. Konferensi dihadiri oleh delegasi dari dua puluh sembilan (29) negara yang mewakili 1,5 miliar penduduk atau separuh lebih dari jumlah manusia di dunia saat itu.

KAA di Bandung bertujuan mengambil sikap dalam menghadapi perang dingin yang berkecamuk, serta mendukung dekolonisasi negara-negara di bawah pendudukan kolonial. Dengan kata lain, KAA diadakan untuk mendukung perjuangan kemerdekaan nasional seluruh bangsa di dunia tanpa berpihak pada blok apapun.

Kemudian pada tahun 1961, berdasarkan prinsip-prinsip Dasa Sila Bandung, Gerakan Non-Blok (GNB) dibentuk melalui Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Pertama di Beograd, Yugoslavia, pada tanggal 1 – 6 September 1961. GNB didirikan atas prakasa pemimpin-pemimpin besar dunia yaitu, Presiden RI Sukarno, Presiden Mesir – Gamal Abdul Nasser, PM India – Pandit Jawaharlal Nehru, Presiden Yugoslavia – Joseph Broz Tito dan Presiden Ghana – Kwame Nkrumah.

KTT tersebut dihadiri oleh 25 negara, yaitu Afghanistan, Aljazair, Yaman, Myanmar, Kamboja, Sri Lanka, Kongo, Kuba, Siprus, Mesir, Ethiopia, Ghana, Guinea, India, india, Irak, Lebanon, Mali, Maroko, Nepal, Arab Saudi, Somalia, Sudan, Suriah, Tunisia, dan Yugoslavia.

Secara prinsip GNB bertujuan untuk memperjuangkan dan menentang segala bentuk imperialisme, kolonialisme, neo-kolonialisme, rasisme dan dominasi atas suatu bangsa. GNB juga sepakat untuk tidak memihak pada aliansi militer manapun serta tidak mencampuri urusan dalam negeri negara lain dan hidup berdampingan dengan damai. Selain itu GNB dengan tegas menolak penggunaan kekuatan dalam hubungan internasional juga membangun kerjasama internasional berdasarkan persamaan hak.

Negara-negara pendiri GNB tidak membentuk organisasi, melainkan menyepakati pembentukan gerakan untuk menghindari implikasi birokrasi bagi kerja sama mereka. Disepakati pula bahwa GNB akan mengembangkan posisinya terhadap situasi global secara independen, yang mencerminkan kepentingan negara-negara anggotanya.

Anti Kolonialisme dan Imperialisme

Sebagaimana di terangkan oleh pemimpin revolusi di Rusia, bahwa imperialisme adalah bentuk baru dari kolonialisme. Imperialisme adalah tahap tertinggi dari kapitalisme yang dalam keadaan sekarat menuju kematiannya. Kapitalisme tidak lagi bisa hidup sebatas mengeksploitasi dalam negerinya sehingga melakukan perluasan kekuasaan dengan menjajah bangsa lain.

Begitu pula presiden pertama RI Sukarno menyebut bahwa imperialisme adalah musuh rakyat sedunia dan tidak diperbolehkan untuk hidup, tumbuh dan berkembang.

Dalam pidato bertajuk Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah, Sukarno dengan lantang bersuara :

“Kita aktif, kita berjuang! Aktif untuk apa? Berjuang untuk apa? Kita ikut serta aktif dalam perjuangannya umat manusia untuk mencapai Dunia Baru tanpa ‘exploitation de l’homme par l’homme’ dan tanpa ‘exploitation de nation par nation’. Kita tidak netral dan tidak dapat netral, misalnya, dalam menghadapi imperialisme, kolonialisme, atau neokolonialisme. Kita tidak boleh membiarkan imperialisme, kolonialisme, neo-kolonialisme itu hidup. Kita harus aktif menentang imperialisme, kolonialisme, neo-kolonialisme itu.”

Kecaman terhadap Imperialisme dan kolonialisme tidak semata diarahkan kepada Belanda dan Jepang yang pernah menjajah Indonesia, tapi juga terhadap negeri-negeri imperialis seperti Amerika dan Inggris. Seperti sikap Sukarno atas agresi AS di Vietnam.

“Oo, Vietnam! Betapa buasnya imperialisme di Vietnam itu! Dengan hak apa imperialis berbuat demikian di Vietnam itu? Dengan hak apa mereka membunuh, membakar, mengebom, meracun, membinasakan segala apa yang kumelip di beberapa daerah di sana itu? Dan jika dunia tidak waspada, jika bangsa-bangsa yang cinta damai tidak bersatupadu bertindak menentang kejahatan di sana itu, maka pastilah dunia nanti mengalami bencana yang lebih luas dan lebih ngeri lagi,” seru Sukarno.

Pandangan Sukarno tetang perjuangan melawan imperialisme kemudian juga menginspirasi banyak bangsa dan pemimpin dunia lalu menjadi ruh pembentukan Gerakan Non Blok.

Dalam deklarasi GNB 1961 yang dikenal dalam deklarasi Beograd, negara-negara peserta memandang bahwa imperialisme adalah sumber dari segala penjajahan Asia, Afrika dan Amerika latin, oleh karena itu harus dimusnahkan dari muka bumi.

Negara anggota GNB juga mendeklarasikan hak setiap negara untuk menentukan nasib, memperoleh kemerdekaan. Setiap negara juga berhak untuk mengembangkan ekonomi dan kebudayaan tanpa ada intimidasi.

Terkait dengan perang dingin, negara anggota GNB menyatakan tidak memihak atau terlibat dengan blok manapun dan menyerukan perdamaian dunia dengan prinsip menjunjung kemerdekaan setiap bangsa dari penjajahan. Oleh karena itu GNB mendesak penjajahan di Afrika, Asia dan seluruh dunia dihapuskan.

Deklarasi Beograd juga menentang keras penggunaan senjata nuklir, senjata pemusnah masal dan sejata biologis untuk digunakan terhadap negara manapun. GNB mendesak adanya pelucutan senjata sebagai syarat utama terciptanya perdamaian sejati.

Sebagai sebuah gerakan anti imperialisme terbesar di dunia GNB adalah sebuah capaian politik luar biasa. Bangsa-bangsa yang selama hidupnya terjajah telah bangkit menjadi kekuatan besar sehingga bisa didengar gaungnya di dunia.

Sebagaimana disampaikan oleh Fidel Castro ketika menjadi Ketua GNB tahun 1979 dalam pidatonya:

Perdamaian dengan keadilan, perdamaian dengan kemerdekaan, perdamaian dengan kebebasan, perdamaian untuk semua benua dan untuk semua bangsa. Kita sepenuhnya menyadari bahwa kita tidak akan mencapainya tanpa perjuangan yang keras, tetapi kita harus percaya bisa mencapainya meskipun ada imperialisme, neo-kolonialisme, rasisme, Zionisme, ekspansionisme, dan kaum reaksioner yang masih ada di dunia. Kekuatan negara-negara kita sangat besar. Belum pernah sebelumnya kemajuan dan kesadaran politik rakyat kita semaju ini.”

[PAR]