Koran Sulindo – “Waktu telah tiba bagiku untuk mendirikan partai sendiri,“ kata Bung Karno. “Pada 4 Juli 1927, dengan dukungan enam kawan dari Algemeene Studieclub, aku mendirikan PNI. Rakyat sudah siap, Bung Karno sudah siap. Sekarang tidak ada yang menahan kami, kecuali Belanda.“
Gagasan mendirikan sebuah partai nasionalis itu bermula dari pembicaraan Bung Karno dengan Budiarto— salah seorang aktivis Perhimpunan Indonesia yang baru pulang ke Tanah Air. Gagasan itu didukung pula oleh sejumlah tokoh nasionalis, seperti Mr Iskaq Tjokroadisoerjo, Mr Soenario, dan Dr Tjipto Mangunkusumo. Tanggal 4 Juli 1927—yang dipilih karena kekaguman Bung Karno terhadap Declaration of Independence Amerika Serikat—paratokoh pergerakan ini berkumpul di rumah MrIskaq di kawasan Regentsweg, Bandung.
Dalam pertemuan itu disepakati untuk mendirikan Perserikatan Nasional Indonesia. Sebagai ketua dipilih Soekarno dan sekretaris merangkap bendahara ditunjuk Mr Iskaq Tjokroadisoerjo. Dalam jajaran pengurus PNI tercatat Budiarto, MrSoenario, Ir Anwari, drSanusi, dan Mr Sartono. Para pemimpin PNI ini adalah orang-orang tamatan sekolah tinggi yang rela mengorbankan semua kemungkinan kedudukan dan pangkat demi mengejar cita-cita untuk urusan kebangsaan. Setahun kemudian, Mei 1928, nama itu diubah menjadi Partai Nasional Indonesia (PNI).
PNI adalah anak kandung pergerakan nasional, yang hadir ditengah kekosongan gerakan radikal masa itu. Beberapa bulan sebelumya, akhir tahun 1926, pemberontakan PKI terhadap pemerintah jajahan meletus di Banten. Di awal tahun 1927, pemberontakan merebak pula di Silungkang, Sumatera Barat. Namun, karena ketidaksiapan para pemimpin partai, pemberontakan itu dengan cepat ditumpas. Sekitar 13.000 orang ditangkap, kira-kira 4.500 dijebloskan ke penjara, dan 1.308 dikirim ke Boven Digul, Irian, yang khusus dibangun untuk mengasingkan para pemberontak PKI.
Guncangan yang ditimbulkan pemberontakan PKI tersebut sangat besar bagi gerakan kebangsaan masa itu. Sejak itu hingga Perang Dunia II, rakyat pedesaan tak pernah lagi memainkan peranan aktif dalam pergolakan politik. Dan pemerintah jajahan Belanda pun tidak pernah lagi bersikap toleran terhadap gerakan-gerakan antipenjajahan yang radikal.
Lalu, bagaimana PNI menjalankan program-programnya pada masa seperti itu? Dan bagaimana partai ini bertahan menghadapi berbagai tekanan dari pemerintah kolonial Belanda?
Asas PNI adalah sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi yang didasarkan pada marhaenisme. Program PNI disusun sederhana. Dalam anggaran dasarnya dicantumkan tujuan perserikatan, yaitu mengusahakan kemerdekaan Indonesia.
Untuk mencapai tujuan itu, perserikatan akan bekerjasama dengan semua organisasi di Indonesia yang mengejar tujuan yang sama. PNI memilih non-kooperasi dan hidup dengan swadaya sebagai prinsip perjuangannya.
Untuk itu, PNI menyebutkan dalam tiga hal pokok rancangan usahanya.Pertama adalah usaha politik: memperkuat rasa kebangsaan umumnya dan kesadaran atas persatuan bangsa Indonesia khususnya, memajukan pengetahuan sejarah kebangsaan, dan memperkukuh hubungan dengan bangsa-bangsa Asia lain-lain, menumpas segala rintangan bagi kemerdekaan diri (hak-hak luar biasa dari Gubernur Jenderal Hindia Belanda untuk membuang dan mengasingkan, pembatasan perjalanan) dan tantangan bagi kehidupan politik (berserikat, berkumpul, penyiaran bercetak, mengeluarkan pikiran). Kedua adalah usaha ekonomi: memajukan penghidupan yang merdeka, memajukan perdagangan kebangsaan, kerajinan, bank-bank, koperasi-koperasi. Ketiga adalah usaha sosial: memajukan pengajaran bersifat kebangsaan, memperbaiki kedudukan kaum wanita (membasmi poligami, perkawinan paksaan, dan perkawinan anak-anak), memerangi pengangguran, memajukan pemindahan lain ke pulau di Indonesia, mendirikan dan menyokong perkumpulan-perkumpulan sekerja, memajukan kesehatan rakyat, dan membasmi pengisapan madat dan peminum alkohol.
Seperti ditulis Ali Sastroamidjojo (salah satu tokoh penting PNI dari masa awal pendiriannya) dalam memoarnya, “Pada pokoknya tujuan politik PNI pada waktu itu adalah ‘mencapai Indonesia Merdeka‘. Cara mencapai tujuan itu ialah dengan suatu ‘massa aksi yang sadar berdasarkan kekuatan dan kemampuan diri sendiri‘.
Tentang struktur kenegaraan Indonesia Merdeka, PNI menyatakan, partai hanya akan mengakui suatu susunan pemerintahan yang dibentuk dari rakyat dan oleh rakyat.PNI kemudian dikenal sebagai partai politik penting pertama yang beranggotakan bangsa Indonesia, mencita-citakan kemerdekaan politik, berpandangan kewilayahan yang meliputi batas-batas Indonesia yang nantinya berlaku, serta berideologi nasionalisme.
Pada Mei 1929, PNI telah punya cabang-cabang di kota-kota besar di Jawa dan satu cabang di Palembang serta menyatakan memiliki anggota sebanyak 3.860 orang (sebagian besar di Bandung, Batavia, dan Surabaya).Dan pada akhir tahun 1929, jumlah anggota partai ini mencapai 10.000 orang.
Di bawah kepemimpinan Soekarno, PNI berkembang pesat, terutama karena kemampuan Soekarno berpidato dalam rapat-rapat umum di depan khalayak rakyat. “Pandai benar Bung Karno menjelaskan teori-teorinya yang muluk-muluk kepada rakyat secara sederhana….Langsung mengena hati rakyat. Dan tercapailah maksudnya, supaya rakyat mengerti akan asas dan tujuan PNI. Ini, menurut keyakinan Bung Karno, adalah penting sekali. Kalau rakyat sudah mengerti, maka tumbuhlah kemauan mereka untuk mencapai apa yang dicita-citakan. Dan kemauan ini akan membangunkan kesanggupan rakyat untuk bertindak. Pengertian kemauan dan tindakan inilah pokok daripada teori Bung Karno yang dinamakan teori ‘nationalegeest, nationale wil, nationale daad‘,“kata Ali Sastroamidjojo dalam memoarnya,Tonggak-Tonggak di Perjalananku.
Selain itu, para aktivis PNI lainnya—baik di tingkat pusat maupun di daerah—bekerja dengan semangat luar biasa. Untuk mengatasi kesukaran berkomunikasi dengan rakyat banyak, misalnya, diadakan pembinaan kader-kader yang bertugas menghubungi rakyat jelata secara langsung. Untuk itu diadakan kursus-kursus kader secara teratur di kota-kota kabupaten. Dan sedapat mungkin, calon-calon kader diambil dari pemuda-pemudi dari kampung dan desa, terutama mereka yang pernah mendapat pendidikan di sekolah.
Baca juga : PNI di Masa Awal Kemerdekaan
Rapat-rapat umum dan kursus-kursus kader dengan segera menarik perhatian rakyat untuk bergabung dengan PNI. Pada Kongres II, 18-20 Mei 1929, di Jakarta, PNI mengambil keputusan akan mengadakan kursus-kursus istimewa untuk mengajarkan sosialisme, anarkhisme, komunisme, dan sebagainya, supaya orang-orang dapat menjunjung “nasionalisme“-nya sendiri dengan sadar dan supaya orang dapat memisahkan diri dari salah-satu isme-isme (aliran-aliran) yang lain itu. Berkat kursus-kursus tersebut, para kader PNI cakap dalam menyebarkan cita-cita partai kepada masyarakat luas.
PNI juga mendirikan beberapa perkumpulan sekerja, seperti Persatoean Motoris Indonesia di Bandung (dari sopir-sopir), Sarekat Anak Kapal Indonesia di Tanjungpriok, Batavia (dari kelasi-kelasi), Persatoean Djongos Indonesia di Surabaya, dan Perkumpulan O.J.S Indonesia di Surabaya (dari maskapai trem Jawa Timur). Selain itu, anggota-anggota PNI juga mendirikan banyak koperasi. Tapi, kesuksesan utama PNI adalah membangkitkan semangat kemerdekaan yang mulai menyala dimana-mana di seluruh seantero Tanah Air. Bahasa Melayu yang dijunjung PNI sebagai “bahasa Indonesia“ sesungguhnya diakui pula oleh golongan lain. Merah Putih (warna dari PNI dan Perhimpunan Indonesia) dijunjung jadi warna kebangsaan Indonesia. Dan lagu “Indonesia Raya“ yang oleh PNI ditunjuk sebagai lagu kebangsaan dianggap demikian pula oleh orang-orang.
Pertengahan Desember 1929, Sukarno berhasil memprakarsai pendirian Permufakatan Perhimpunan-Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI). Badan ini merupakan federasi dari sejumlah partai politik dan organisasi massa, yaitu: PNI, Partai Syarikat Islam (yang pada tahun 1929 berubah namanya menjadi Partai Syarikat Islam Indonesia, disingkat PSII), Budi Utomo, Pasundan, Kaum Betawi, Sumatranen-bond, dan klub-klub studi. Federasi ini memberi harapan untuk aksi bersama serta memberi pula kesempatan ke PNI untuk mempropagandakan asasnya sendiri di lapangan yang lebih luas. Federasi ini terutama memberi pengaruh ke PNI karena timbulnya pergaulan yang erat antara pemimpin-pemimpin pergerakan.
Kesuksesan PNI itu ternyata membuat gerah pemerintah kolonial Hindia Belanda. Maka, akhir Desember 1929, aparat pemerintah jajahan melakukan penggeledahan semua kantor dan rumah para pemimpin PNI. Soekarno dan tiga tokoh PNI lainnya (Maskun, Supriadinata, Gatot Mangkupraja) ditangkap dan diajukan ke pengadilan, dengan tuduhan melakukan penghasutan. Oleh Landraad di Bandung, Soekarno dihukum empat tahun penjara dan tiga tokoh PNI lainnya masing-masing dua tahun.
Setelah Soekarno masuk penjara, kegiatan PNI pun praktis berhenti. Pada 25 April 1931 digelar kongres luar biasa, yang memutuskan pembubaran PNI. Pemrakarsa pembubaran PNI ini adalah Mr Sartono, yang berpendapat bahwa, dengan ketetapan hukum terhadap keempat pimpinan partai, PNI bisa dianggap sebagai partai ilegal. Untuk melanjutkan pergerakan sebaiknya dibentuk partai baru. Dan memang hanya beberapa hari kemudian, 29 April 1931, Sartono memprakarsai pendirian Partai Indonesia (Partindo).
Sementara itu, beberapa tokoh PNI yang tidak setuju dengan pembubaran partai kemudian membentuk Golongan Merdeka. Belakangan, Golongan Merdeka bersama Sutan Sjahrir mendirikan PNI-Baru. Lalu, setelah pulang ke Tanah Air, Mohammad Hatta bergabung dengan PNI-Baru.
Saat bebas dari penjara, Desember 1931, Soekarno segera berusaha mempersatukan kembali gerakan nasionalis yang terpecah sejak ia mendekam dalam bui. Namun, upaya itu tak sepenuhnya berhasil. Bung Karno pun memutuskan bergabung dengan Partindo, yang lebih sejalan dengan gagasan-gagasan pergerakannya, terutama dalam hal aksi-massa. Bergabungnya Bung Karno segera menghidupkan Partindo. Pada Juli 1933, Partindo menyatakan telah punya 20.000 anggota.
Maraknya gerakan kebangsaan, terutama yang radikal dan non-kooperastif, membuat pemerintah jajahan Belanda gerah. Satu persatu para tokoh pergerakan ditangkapi. Di akhir tahun 1932, para pemimpin Permi (Pergerakan Muslimin Indonesia) dan PSII di Minangkabau—yang menentang “Peraturan Sekolah-sekolah Liar“ (Wilde Scholen Ordantie)—ditangkap dan diasingkan ke Boven Digul.
Agustus 1933, Soekarno kembali ditangkap. Kali ini, tanpa pengadilan, Soekarno diasingkan ke Flores dan kemudian ke Bengkulu. Bulan Februari 1934, Hatta, Sjahrir, dan pemimpin-pemimpin PNI Baru lainnya ditangkap dan diasingkan ke Boven Digul (pada tahun 1934 Hatta dan Sjahrir dipindahkan ke Pulau Banda, Maluku). Akibat penangkapan para pemimpin tersebut, gerakan anti-kolonialisme radikal yang didasarkan pada asas non-kooperatif setelah tahun 1934 praktis meredup. Yang masih berkiprah hanyalah gerakan-gerakan yang berasaskan kooperatif, terutama di Volksraad (parlemen bentukan pemerintah jajahan Belanda).
Di bulan Desember 1935 terbentuk Partai Indonesia Raya (Parindra), yang merupakan fusi dua organisasi massa moderat: Persatuan Bangsa Indonesa dan Budi Utomo. Sebagai ketua ditunjuk Dr Sutomo.Sejumlah tokoh pergerakan moderat—seperti MH Thamrin yang anggota Volksraad—ikut bergabung. Pada November 1936, Haji Agus Salimmembentuk suatu kelompok yang sifatnya kooperatif dengan nama Barisan Penyadar PSII. Tapi, belakangan Barisan Penyadar ini secara resmi dikeluarkan dari PSII. Sayap PSII yang radikal menyusun diri kembali.
Sementara itu, November 1936, Partindo membubarkan diri. Dan bulan Mei 1937,Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo) berdiri. Organissai ini didirikan dan dipimpin sejumlah tokoh pergerakan radikal, seperti Mohammad Yamin dan Amir Sjarifuddin. Tujuan Gerindo adalah parlemen penuh bagi Indonesia tetapi atas kerjasama dengan Belanda dalam melawan ancaman bersama, yaitu fasisme, khususnya fasisme Jepang.
Pada Mei 1939, organisasi-organisasi nasionalis Indonesia yang penting—kecuali PNI-Baru—membentuk Gabungan Politik Indonesia (Gapi), yang menghendaki dibentuknya parlemen penuh bagi bangsa Indonesia. Bulan Desember tahun itu juga, Gapi menggelar Kongres Rakyat Indonesia di Batavia, yang dipandang sebagai suatu keberhasilan besar bagi dunia pergerakan nasional.
Baca juga : Nasionalisme-Radikal dan Masa Pasang PNI
Sejalan dengan itu, September 1939, pasukan Hitler menyerbu Polandia, menandai dimulainya Perang Dunia II di Eropa. Pada Mei 1940, pasukan Hitler menyerbu dan menduduki negeri Belanda. Akibatnya, pemerintah Belanda lari ke pengasingan di London, ibukota Kerajaan Inggris.
Tak lama kemudian, Jepang menyatakan bergabung dengan Jerman dan Italia. Pada 10 Januari 1942, penyerbuan Jepang ke Indonesia dimulai. Dan tanggal 8 Maret 1942, pihak Belanda di Jawa menyerah kepada pasukan Jepang dan Gubernur Jenderal van Starkenborgh ditawan pihak Jepang. Sejak itu berakhirlah kekuasaan penjajah Belanda di bumi Indonesia.
Di masa pendudukan Jepang, tokoh-tokoh pergerakan terkemuka—termasukSoekarno-Hatta—memutuskanbekerjasama dengan pemerintah pendudukan Jepang, demi tujuan yang lebib luhur: kemerdekaan bangsa Indonesia. Namun, ada pula yang memilih melakukan gerakan bawah tanah melawan Jepang, dengan tujuan yang sama: Indonesia Merdeka. Tokoh-tokoh yang bergerak dibawah tanah ini antara lain Tan Malaka, Sjahrir, dan Amir Sjarifuddin. [Imran Hasibuan, Pemimpin Redaksi Suluh Indonesia]
(Tulisan ini pernah dimuat pada Januari 2016)