Genosida, 25 Tahun Sejarah Kelam Rwanda

Peringatan 25 tahun genosida Rwanda [Foto: Istimewa]

Koran Sulindo – Menolak lupa. Demikian dua kata yang acap kita dengar hari-hari ini menjelang pemilihan umum serentak di Indonesia. Dua kata itu selalu dilekatkan dengan pelanggaran berat hak asasi manusia (HAM) masa lalu. Terlebih calon presiden dan para pendukungnya yang terlibat pemilu kali ini masih sama: terduga pelanggar HAM berat!

Barangkali dua kata itu juga digunakan rakyat Rwanda untuk terus menghidupkan sejarah kelam negeri itu 25 tahun yang lalu. Pasukan pemerintah dan Suku Hutu membantai Suku Tutsi. Sekitar 800 ribu orang tewas selama 100 hari. Kejahatan kemanusiaan itu lalu disebut: genosida!

Lantas mengapa diperingati? Tentu saja bukan untuk mengungkit-ungkit kepedihan dan luka mendalam. Peringatan itu dilakukan sebagai pembelajaran agar tidak melakukan kesalahan serupa di masa mendatang.

Seperti yang dilaporkan Aljazeera pada Minggu (7/4), Rwanda akan memperingati genosida yang terjadi pada 1994 itu selama sepekan. Itu menandai 25 tahun genosida di sana. Peristiwa itu dinilai sebagai salah satu kejahatan kemanusiaan terburuk di abad ke-20 karena lebih dari 800 ribu orang dinyatakan tewas.

Di seberang Kigali, Ibu Kota Rwanda, persiapan untuk memperingati peristiwa yang membawa duka mendalam tersebut sudah dilakukan sejak Minggu kemarin. Di stadion Kota Amphora, para pemuda tampak berlatih untuk tampil pada peringatan peristiwa itu. Umumnya mereka yang hadir di stadion berkapasitas 30 ribu orang itu belum lahir ketika 800 ribu orang Suku Tutsi dibantai oleh pasukan pemerintah dan warga dari Suku Hutu.

Di samping Suku Tutsi, sebagian warga Hutu turut menjadi korban pada peristiwa itu. “Kita sudah seharusnya tidak pernah melupakan masa lalu kita,” tutur Deborah Mwanganjye, 19 tahun ketika mengikuti latihan bersama teman-temannya di bawah hujan gerimis sore. “Kita perlu mengingatnya untuk tidak melakukan kesalahan yang sama di masa depan.”

Seperti teman-temannya, Mwanganjye punya pengalaman pribadi atas genosida itu. Hanya ayahnya yang selamat dari peristiwa itu. Keluarganya semuanya terbunuh. “Sulit untuk menerimanya, tapi itulah kehidupan,” kata Mwanganjye sambil menarik napas dalam dan menatap langit yang berawan.

Ketika genosida itu terjadi, jumlah penduduk Rwanda diperkirakan mencapai sekitar delapan juta jiwa. Merujuk kepada catatan resmi pemerintah, separuh dari penduduk Rwanda yang kini berjumlah 12 juta jiwa lahir setelah peristiwa genosida itu.

Berbeda dengan cerita Mwanganjye, seorang pemuda yang sedang neduh di tribun stadion itu, Jean Michel Iradukunda, 19 tahun agaknya lebih beruntung. Ia salah satu dari sedikit orang yang tidak kehilangan anggota keluarganya dalam peristiwa itu. “Orang tua saya dan semua saudara kandung saya masih hidup. Saya tahu saya sangat beruntung. Tapi, saya merasakan kesedihan teman-teman saya yang kehilangan kerabatnya,” kata Iradukunda.

Selepas genosida itu, Rwanda yang berada di Afrika Tengah itu melarang masyarakat menempelkan label etnis, nama suku di KTP. Pemerintah mendorong masyarakat untuk mengenalkan diri mereka sebagai orang Rwanda; bukan Hutu, Tutsi atau Twa. Itu sebabnya, kejahatan diskriminasi terhadap seseorang karena latar belakang etnis di sana bisa dihukum penjara seumur hidup.

Maurice Kwizerimana, misalnya, mengatakan, pihaknya tidak perlu mengenalkan dirinya dengan menggunakan latar belakang etnis. Karena itu hanya mengarah pada hal-hal buruk dan diskriminasi. “Saya melihat diri saya sebagai orang Rwanda. Label etnis hanya akan membawa Anda ke arah genosida,” kata pengurus yayasan merawat anak-anak jalanan itu.

Bergerak
Ketika peristiwa genosida itu terjadi pada 7 April 1994, Kwizerimana baru berusia lima tahun. Ia tahu betapa beruntungnya dirinya karena bisa selamat dari situasi itu. Pasalnya, setiap orang yang dicurigai sebagai Tutsi pasti akan dibunuh tak peduli itu seorang bayi. Para pelakunya mengincar semua orang dengan menggedor rumah-rumah yang dicurigai Tutsi. Seorang tetangga lantas menemui keluarga Kwizerimana dan menyuruhnya untuk mengenakan gaun.

Ia pun berpura-pura menjadi perempuan. Dan barangkali karena itu pula ia bisa selamat dari peristiwa itu. Sepupunya tak seberuntung dirinya. Sepupunya itu diperkosa lalu dibunuh, kata Kwizerimana. Setelah 25 tahun, ketiga orang ini merasa bangga akan negaranya hari ini. Mereka bangga sebagai rakyat Rwanda. Meski punya masa lalu yang kelam, mereka terus bergerak dan melangkah.

“Negara kami memiliki masa depan yang cerah. Kekuatan negara kami adalah para pemudanya,” kata Iradukunda.

Kendati telah berlalu 25 tahun, tak lalu ideologi kesukuan atau supremasi atas sebuah masyarakat terkikis habis. Analisis pengamat politik Thiery Gatete di Kigali mengatakan, pihaknya setuju dengan pendapat ketiga pemuda itu. Akan tetapi, Rwanda masih harus menempuh waktu yang lama agar kejadian serupa tidak terulang kembali.

Ideologi tentang supremasi kesukuan itu masih menghinggapi di pola pikir beberapa orang. Tidak banya memang, tapi masih ada beberapa orang begitu. Oleh karenanya, semua rakyat Rwanda harus bersatu padu untuk berbuat lebih banyak lagi untuk memastikan bahwa ideologi demikian akan ditentang dan berharap mampu mengubah pola pikir mereka, kata Gatete.

“Melarang label etnis adalah langkah pertama. Kita harus mengambil lebih banyak langkah untuk memberantas ideologi berbahaya yang menyebabkan genosida,” kata Gatete menambahkan.

Selepas genosida 1994 itu, lebih dari 100 ribu orang ditangkap karena dinilai berperan dalam pembantaian. Ribuan orang saat ini menjalani hukuman penjara karena peristiwa itu. Namun, para pemuda Rwanda menginginkan adanya rekonsialiasi sebagai langkah untuk mencapai masa depan gemilang.

“Saya tentu saja tidak bisa melupakan peristiwa buruk yang menimpa keluarga saya. Tapi, saya telah memaafkan para pelaku. Ini jalan terbaik untuk dilakukan jika kita ingin Rwanda bergerak maju,” kata Mwanganjye. [Kristian Ginting]