Sulindo – Pemahaman keliru menghasilkan pendekatan dan kebijakan yang keliru pula. Kekeliruan itu bertambah, ketika yang digunakan adalah paradigma usang.
Salah satunya, yang seringkali diulang tentang Papua, termasuk oleh media konvensional, adalah anggapan seolah seluruh masyarakatnya masih bercorak tribalism. Dalam masyarakat ‘tribe’ ini yang berpengaruh adalah pranata lama beserta para tokohnya, seperti “tokoh adat”, “kepala suku”, tokoh agama, tokoh masyarakat, dan entah tokoh apalagi. (di Papua kini ada plesetan “selain tokoh, juga ada toko, warung, dan kios…” 😀🤣).
Pranata dan kelompok “tokoh” ini masih eksis, tapi pengaruhnya berangsur menyusut, menjadi sekadar simbol belaka.
Celakanya, banyak yang kurang paham bahwa sejak era Orde Baru Soeharto sudah terjadi kooptasi dan politisasi atas pranata-pranata “tradisional” tersebut (tidak saja di Papua tapi di seluruh Indonesia).
Proses kooptasi dan politisasi sejak lama membuat lembaga dan tokoh-tokohnya ini tidak lebih dari sekadar ekstension kekuatan politik (dan ekonomi) di luar dirinya…
Maka tak mengheran ada “tokoh” yang sering dimunculkan oleh media TV nasional, tapi oleh anak-anak muda Papua tokoh-tokoh ini dinilai karikatural mirip badut…
Ketika “kisruh” Papua menghentak dan menggema ke panggung politik nasional (dan internasional), bermunculanlah ke permukaan para “tokoh” ini.
Tapi mereka bukan memunculkan dirinya sendiri atau dimunculkan oleh media-media konvensional arus utama.
Sebagian mereka memang sengaja dimunculkan, seperti para punakawan yang diangkat dari kotak kemudian digerakkan dan “berbunyi” sesuai kehendak Ki Dalang dalam sebuah pentas wayang.
****
Saat heboh demo dan rusuh di Papua akibat persekusi dan aksi rasis di Jawa Timur, pendapat kumpulan tokoh di atas diperdengarkan. Seolah mereka representasi riil, dan lebih parah lagi, seolah mereka masih punya pengaruh mengatasi kisruh yang tengah berlangsung.
Dalam heboh itu, ada kelompok strategis yang luput dari perhatian besar media-media konvensional, para penentu kebijakan, juga luput dari perhatian para ilmuwan-pengamat.
Mereka adalah generasi baru Papua, generasi muda terdidik, yang tersebar di berbagai kampus di dalam dan luar negeri, yang paradigmanya berbeda jauh dengan generasi tua mereka.
Mereka adalah bagian dari generasi milenial, generasi yang tidak mengandalkan bedil dan mesiu, tapi mengandalkan kecerdasan intelektual. Senjata mereka adalah teknologi informasi (internet).
Seperti juga generasi milineal di seluruh dunia, mereka adalah digital citizen, yang selalu terhubung (always online) dalam apa yang disebut Manuel Castells “Network Society”. Dan sebagian di antara mereka pasti sudah membaca karya Castells lainnya, “Network of Outrage and Hope: Social Movements in the Internet Age” (2012).
Sebagai warganegara digital, mereka selalu terhubung dan punya akses ke semua pusat-pusat informasi global, memahami dinamika global. Karena itu mereka sudah menjadi warga dunia modern yang rasional dan aktif.
Jangkauan daya pikirnya dan orientasinya bercorak global.
Inilah generasi muda, generasi baru yang sedang dan akan terus tumbuh dan berkembang di Papua. Perubahan demografik menunjukkan jumlah mereka semakin bertambah dan signifikan.
Bagaimana memahami corak dan karakter generasi baru ini?
Secara politik, kata ilmuwan politik Marvin Rintala, generasi muda adalah sekelompok orang yang mengalami “the same basic historical experiences” pada usia pembentukan-diri (formative years), yaitu berusia antara 17-25 tahun.
Rintala menambahkan, karena punya pengalaman historikal mendasar yang sama dalam usia formatifnya, kelompok ini punya ‘political beliefs’ tertentu yang khas, beda dengan lainnya. Mereka berpikir dan beraksi atas dasar ‘political beliefs’ tersebut.
Adakah “the same basic historical experience” yang mereka alami, yang ikut membentuk ‘political beliefs’ mereka? Ada! Bahkan sudah ada sejak generasi tua mereka, dan mereka juga alami saat ini.
‘Memoria passionis’, ingatan kolektif tentang kegetiran masa lalu yang menurun ke masa sekarang, adalah salah satunya.
Saya kira definisi dari Rintala ini secara longgar bisa dipakai untuk memahami generasi muda Papua yang eksis dan sedang tumbuh saat ini.
Kepada mereka-lah perhatian harus diberikan,….sebab masa depan Papua ada di tangan mereka, dan akan ditentukan oleh mereka. [Manuel Kaisiepo]