Koran Sulindo, Jakarta – Literasi mengenai puisi sejak dulu selalu menjadi hal menarik. Puisi menjadi tempat melampiaskan sebuah perasaan, baik kritik maupun keresahan.
Di jaman orde baru, puisi menjadi senjata untuk menyampaikan kritik kepada pemerintah. Pengungkapan kritik seringkali menjadi problematika, padahal kritik merupakan suatu pengingat yang bisa memperbaiki hal yang dianggap salah.
Meskipun kepemimpinan sudah berganti namun diakui Gemi Mowhak, seorang penyair, penulis buku ”Sirami Jakarta dengan cinta : sebuah kumpulan puisi humanis romantis, Indonesianus, dan sajak megak” yang menjadi narasumber acara Workshop Inner Writing Poetry mengatakan, kalau keadaan sekarang ini tidak jauh berbeda dengan jaman dulu meskipun untuk para penyair kalau memang mau berkarya tidak perlu takut untuk menuangkan aspirasinya.
”Tidak berbeda juga sih (dengan jaman orde baru) masih agak mirip-mirip, tapi kalau kita ingin berpuisi ya ditulis aja,” kata Gemi.
Gemi menambahkan, di era keterbukaan seperti sekarang ini semakin banyak tempat untuk menuangkan ekspresi melalui sebuah puisi. Media sosial menjadi tempat yang sering digunakan oleh para penulis puisi, selain bisa mendapatkan validasi dari para pembacanya, mereka juga mendapatkan popularitas.
Beliau juga berpesan agar para penyair ketika menuangkan perasaannya di dalam puisi jangan sampai terbatas, melainkan harus bisa bebas, beliau mengutip dari kata-kata W.S. Rendra bahwa kalau berkesenian jangan terlepas dari lingkungan.
”Berani aja dalam menulis, jangan ada takut kalau berkarya, apapun yang ada di unek-unek kita, apa yang ada di hati harus kita keluarkan,” pungkasnya.
Berikut adalah beberapa puisi karya Gemi Mowhak
Acara Workshop Inner Writing Poetry sendiri diadakan di ruang PDS HB Jassin, Gedung Ali Sadikin di Kawasan Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat (29/09/2024). Dalam rangka memperingati Hari Literasi Internasional yang diperingati setiap tanggal 8 September 2024 kemarin.
Acara ini dimoderatori Budi Sumarno yang menghadirkan nara sumber, selain Gemi Mohawk, ada Helvi Tiana Rosa dan Remmy Novaris. Hadir juga Jamal Tukimin, sastrawan Singapura, keturunan asal Purworejo. [IQT]