Lionel Messi dari Argentina

Koran Sulindo – Sepakbola menjadi cabang olahraga terpopuler di kolong langit.  Olahraga yang dimainkan oleh dua puluh dua orang ini konon bermula dari negeri Tiongkok dan mengalami kemajuan yang pesat di kawasan Eropa, khususnya Inggris, pada awal abad ke-19.

Bagi penyuka sepakbola, tendang-menendang bola bisa dimainkan di mana saja dan pada usia berapa pun, yang penting sudah bisa berdiri dan berlari. Bisa di sawah yang berlumpur sehabis panen, di pekarangan rumah, di jalan beraspal, hingga di lapangan dalam tampilan dan kelengkapan modern berupa stadion.

Dalam perkembangannya, sepakbola sudah menjadi sebuah industri besar, berseliweran uang triliunan rupiah yang mengitarinya. Transfer pemain dan membangun infrastruktur stadion menjadi sebuah investasi yang menguntungkan.

Selain dari penjualan tiket masuk, pemasukan terbesar dari produsen berbagai produk, yang bersedia membayar mahal untuk memajang merek produknya,  mulai dari kostum pemain hingga di pinggir lapangan, yang terlihat mata.

Sesungguhnya variabel terpenting dalam sepakbola adalah memunculkan rasa kegemasan dan penasaran bagi para penggemar suatu klub atau tim nasional yang sedang berlaga. Emosi yang membuncah terkadang keluar dari lingkaran akal sehat. Ada yang memaki wasit yang dianggap kurang berpihak pada kesebelasan yang dijagokannya. Bahkan ada yang berharap pemain lawan cedera atau mendapatkan kartu merah, sehingga kekuatan klub lawan melemah dan klub atau tim nasional idolanya memenangkan pertandingan.

Tak mengherankan jika pada pertandingan Piala Dunia yang digelar di Rusia pada tahun 2018 ini, media sosial dibanjiri puja dan cela. Bukan hanya kata-kata, tapi gambar-gambar dan meme para pemain yang dipuja dan dicela bermunculan setiap hari.

Lionel Messi, bintang cemerlang dari Argentina, menjadi bulan-bulanan tatkala melalui titik penalti gagal menceploskan bola ke gawang Islandia. Pertandingan berakhir seri satu-satu. Dan, pada laga selanjutnya, Argentina kalah telak tiga gol dari Kroasia.

Sepengalaman saya, kegemaran seseorang atau sekelompok orang yang terwadahi dalam klub penggemar (fans club) sulit dicari alasan yang hakiki mengapa orang(-orang) itu menyukai suatu klub atau tim nasional tertentu. Jangan ditanya mengapa suka klub Chelsea atau ngefans tim nasional Spanyol.

Saking ngefans terhadap suatu klub atau tim nasional rasa gemas dan penasaran yang berlebihan bisa menimbulkan tindakan yang negatif, bahkan menjurus kepada perbuatan kriminal, yang disebut hooliganism.

Menurut pakar psikologi dari Universitas Novi Sad, Serbia, Miklos Biro, sikap hooliganism atau keberandalan bukan semata-mata muncul dari fanatisme terhadap klub atau tim nasional, tetapi didorong pula dengan adanya ketimpangan ekonomi dan kecemburuan sosial di kalangan anak-anak muda tertentu. Dan, sepakbola seperti memberikan ruang untuk berekpresi negatif itu.

Rasa gemas dan penasaran dari sebuah pertandingan menjalar menjadi emosi yang meletupkan kegembiraan dan kekecewaan, itulah drama sepakbola di luar lapangan: berteriak, menjerit histeris, melompat-lompat dengan wajah ceria, atau berpelukan meluapkan rasa kegembiraan.

Tindakan para pemain di atas lapangan hijau bisa menjadi penyulut dan peredam emosi para penonton sepakbola. Perilaku sportif para pemain akan menjadi peredam, bahkan menjadi contoh, bagi penggemar sepakbola. Mereka ingin mengatakan: kemenangan bukanlah segalanya.Berlaga di lapangan dengan mengindahkan fair play adalah keindahan yang lain yang bisa dirasakan oleh denyut hati.

Perilaku itu dipertontonkan oleh Romelu Lukaku pada laga Belgia kontra Tunisia di Spartak Stadium, Moskow, Sabtu lalu (23/6). Penyerang Timnas Belgia asal klub Manchester United itu menerima umpan terobosan dari Kevin de Bruyne. Pada saat bersamaan. kiper Tunisia keluar dari gawang membuat kontak fisik dengan Lukaku hingga Lukaku terjatuh di kotak penalti.

Wasit yang melihat kejadian tersebut langsung menghampiri Lukaku untuk memastikan ada pelanggaran.Namun, Lukaku buru-buru mengangkat tangan dan mengatakan jika hal tersebut bukanlah pelanggaran di kotak penalti.

Sikap pemain bertubuh tinggi besar dan hitam itu terkadang menjadi penglipur lara bagi fans yang kalah. Bersalaman dan berpelukan antar-pemain dan antar-pelatih usai laga menjadi tontonan yang tak kalah menariknya dari laga sengit sebelumnya.

Saling sikut, saling jegal, bahkan saling maki, juga menjadi drama dan “indah”-nya sepakbola. Membuat gemas dan penasaran para penggemarnya. Menang atau kalah. Sedih atau bahagia. Bagaimana dengan Anda? [Didang Pradjasasmita, Penggemar Sepakbola]