Amerika Serikat dan Rusia terus berupaya mencapai perdamaian di Ukraina. Rusia telah menyetujui gencatan senjata 30 hari pada 18 Maret 2025, namun pasukannya masih menyerang infrastruktur Ukraina di sejumlah wilayah.
Tidak hanya itu, Vladimir Putin mengajukan sejumlah syarat terkait gencatan senjata dan menuntut Amerika Serikat mencabut 7 sanksi ekonomi yang berdampak pada lembaga keuangan, perusahaan pangan, dan kapal-kapal Rusia.
Sikap tersebut jelas menunjukkan bahwa Putin belum memercayai Amerika Serikat. Itu sangat beralasan, sebab Rusia memiliki sentimen negatif dan kecurigaan terhadap negeri Paman Sam dan negara-negara Barat. Dan itu disebabkan oleh ulah Amerika Serikat sendiri.
Rusia Merasa “Dikhianati”
Mengutip analisis Nino Oktorino dalam bukunya yang berjudul Ukraina: The Road to Armageddon, bubarnya Uni Soviet membuat Rusia di bagian Eropanya menemukan dirinya berada kembali di dalam perbatasan Ketsaran Rusia abad ke-16.
Dibandingkan wilayah Uni Soviet, wilayah baru Rusia menyusut hingga 25 persen, sementara kehilangan sekitar 50 persen penduduknya.
Kendati demikian, pada mulanya ada euforia di dalam bangsa Rusia untuk menciptakan institusi-institusi demokratis, bersahabat dengan Amerika Serikat, dan meraih kualitas kehidupan yang sama dengan standar Barat.
Mikhail Gorbachev menginginkan Uni Soviet “bergabung kembali dengan rumah Eropanya”. Tujuan Presiden Boris Yeltsin adalah Rusia akan diterima sebagai anggota penuh dari negara-negara kapitalis yang maju secara ekonomi. Bahkan, demi mencapai tujuan tersebut. Yeltsin melancarkan kebijakan liberal radikal yang mengguncang negerinya.
Awnya, pihak Barat memberikan angin terhadap impian tersebut. Bernafsu untuk mendorong transformasi Rusia, mereka memberikan Rusia akses ke berbagai forum demokrasi dan memberikan aneka kredensial demokratik yang diperlukan.
Rusia pun diajak bergabung dalam pertemuan-pertemuan G-7 (yang dinamakan kembali sebagai G8) dan menjadi anggota Council of Europe. Pada tahun 1992, Yeltsin bahkan menyatakan keinginannya untuk bergabung dengan NATO ketika Kongres Amerika Serikat mulai mendesak perluasan aliansi militer Trans-Atlantik tersebut.
Kendati Perang Dingin telah berakhir dan Uni Soviet telah ambruk, beberapa pemikir dan tokoh kunci pembuat kebijakan luar negeri di Washington yang sangat anti-komunis dan anti-Rusia, tetap tidak memercayai bahkan sebuah Rusia “yang telah dikalahkan”.
Seperti diklaim kolumnis Amerika George Will pada tahun 1996, ekspansionisme ada “dalam DNA orang Rusia”. Bagi mereka, perluasan NATO merupakan sebuah kebijakan penjamin terhadap kemungkinan kebangkitan kembali Rusia.
Pemerintahan Clinton mengambil alih pemikiran ini, memberikan cap baru bagi aliansi militer Perang Dingin tersebut sebagai sebuah kekuatan peradaban, yang akan meluaskan demokrasi ke negara-negara bekas Komunis.
Pada mulanya, kebijakan perluasan NATO ini tidak populer. Presiden Jacques Chirac dari Prancis mengeluh bahwa hal itu tidak mempertimbangkan “kesensitifan Rusia”. Di Washington, di luar Gedung Putihnya Clinton, hampir tidak ada orang yang menyukainya.
Pentagon dan Kepala Staf Gabungan menentangnya. Jenderal Barry McCaffrey memperingatkan bahwa apabila Amerika tidak berhati-hati, “kita akan menemukan diri terhisap dalam lumpur terkutuk Eurasia” yang dapat menyebabkan “perang dengan Rusia.”
Kendati Rusia dengan sengit menyampaikan keluhannya, kebijakan Clinton tetap berjalan, selalu dengan asumsi bahwa Kremlin tidak berada dalam posisi untuk melakukan tindakan selain berkoar-koar menghadapi arah perluasan.
Unipolar vs Bipolar
Sesudah berakhirnya Perang Dingin dan bubarnya Uni Soviet, beberapa politisi di Amerika Serikat melontarkan konsep sebuah dunia unipolar yang didominasi oleh negara mereka sendiri. Mereka berusaha mengonsolidasikan keadaan geopolitik yang menguntungkan Amerika.
Hal tersebut diiringi dengan usaha setengah hati untuk mengintegrasikan Rusia ke dalam kerangka keamanan Barat, seperti kemitraan program perdamaian dan Dewan NATO-Rusia (pada tahun 2002).
Akibatnya, para politisi utama Rusia menjadi semakin cemas akan suatu pengepungan strategis terhadap negeri mereka. Untuk pertama kalinya, Yeltsin mengklaim pada tahun 1995 agar Rusia dipandang dengan lebih hormat.
Hubungan bilateral kedua negara mencapai suatu titik rendah ketika Presiden Barrack Obama menyebut Rusia sebagai sebuah “kekuatan regional”.
Kebijakan pemerintahan Obama, sebagaimana yang dinyatakan oleh menteri luar negerinya, Hillary Clinton, menekankan kepemimpinan global Amerika Serikat dan komitmen negara tersebut terhadap demokrasi dan hak-hak asasi manusia.
Rusia dan sejumlah “kekuatan baru” lainnya, terutama Republik Rakyat China, menantang klaim “keluarbiasaan” dan kepemimpinan global Amerika Serikat.
Kendati kebanyakan negara ini dengan senang hati bekerja sama dengan Amerika serikat dalam isu-isu yang menjadi keprihatinan bersama, tetapi ketika kepemimpinan Amerika berubah menjadi hegemoni, masalah pun muncul.
Rusia tentu saja tidak berencana menghadapi blok sistem aliansi Barat tetapi mereka menolak asumsi bahwa tatanan keamanan Atlantik bersifat universal dan harus diterapkan secara global.
Bahkan bekas menteri pertahanan Amerika Robert Gates pun mencela “keangkuhan para pejabat pemerintah, akademisi, pengusaha, dan politisi Amerika setelah keruntuhan (Uni Soviet), yang mendikte Rusia dalam urusan dalam negeri dan masalah internasional mereka … sehingga menyebabkan ketidaksukaan dan kebencian dalam jangka panjang”.
Sejak tahun 1992, salah satu keinginan utama Rusia adalah meraih kembali statusnya sebagai sebuah kekuatan besar dan diperlakukan sebagai rekan sederajat oleh Amerika Serikat, suatu tujuan yang terus-menerus gagal.
Rusia semakin terpukul ketika pada tahun 2004 Uni Eropa menerima sepuluh negara anggota baru, tetapi mengecualikan negara-negara eks-Soviet. Sementara Perjanjian Roma menyatakan bahwa setiap negara Eropa dapat melamar menjadi anggota European Economic Community, semakin jelas bahwa Rusia, karena alasan ekonomi, politik dan budaya, tidak akan dipertimbangkan untuk menjadi anggota.
Semua peristiwa tersebut membuat Rusia semakin tidak senang dan semakin yakin bahwa janji-janji yang dibuat Barat sebelumnya telah diingkari.
Pada masa jabatan kedua Yeltsin sebagai presiden, Rusia meninggalkan kebijakan luar negeri yang berbasiskan ideologi liberal Barat dan mulai digantikan oleh elite yang anti-Barat.
Vladimir Putin mulai berkuasa sebagai perdana menteri pada tahun 1999. Pada tahun berikutnya ia diangkat oleh Boris Yeltsin yang sakit-sakitan sebagai presiden. Putin dengan cepat memperoleh reputasi sebagai seorang pemimpin yang tangguh setelah menindas gerakan separatis Chechnya.
Ekspansi sistem kapitalis global ke wilayah eks-Soviet sejak awal 1990-an menyebabkan intensifikasi perjuangan kelas transnasional dan ketegangan geopolitik Timur-Barat, terutama antara Amerika Serikat dan Rusia.
Namun, setelah diperkuat secara ekonomi oleh ketergantungan industri dunia pada minyak dan gas, Rusia menjadi sebuah negara yang dikelola oligarki yang memasuki sebuah persaingan baru dengan Amerika Serikat—kali ini tanpa sebuah komponen ideologi.
Sejak akhir dasawarsa 1990-an, Kremlin bertekad untuk mengalahkan Amerika Serikat lewat permainannya sendiri, permainan kompetisi/dominasi dunia kapitalis, antara lain dalam aspek kontrol ekonomi, politik dan militer atas negara-negara eks-Soviet, yang satu demi satu mulai menjauh dari cengkeraman Moskow… [BP]