Pada pembukaan perdagangan hari Senin (25/04), harga Crude Palm Oil atau CPO tercatat mengalami lonjakan kenaikan. Apakah ini berhubungan dengan larangan ekspor yang dikeluarkan oleh Presiden Joko Widodo?

Dari data Refinitiv, harga CPO tercatat mengalami kenaikan 3,60 persen atau menjadi MYR (ringgit Malaysia) 6.585/ton. Analis Komoditas Reuters, Wang Tao menilai kenaikan harga CPO masih mungkin akan terkoreksi.

Saat ini pasar minyak nabati dunia sedang diterpa kabar yang tidak sedap. Perang Rusia-Ukraina mengakibatkan pasokan minyak biji matahari mengalami hambatan. Krisis cuaca juga dikabarkan mempengaruhi produksi minyak kedelai. Kekeringan yang melanda Amerika Selatan telah berimbas pada panen kedelai mereka.

Sementara itu Malaysia mengalami kekurangan tenaga kerja untuk perkebunan Kelapa Sawit mereka. Selama ini Malaysia sangat tergantung pada tenaga kerja asing di kebun Kelapa Sawit dan sektor produksi CPO.

Masalah itu bertambah rumit dengan adanya kebijakan penghentian ekspor minyak goreng dan bahan bakunya termasuk CPO oleh pemerintah Indonesia.

Selama ini Indonesia menyumbang 60 persen pasokan disusul dengan Malaysia yang menyumbang sekitar 25 persen pasokan global. Sedangkan negara India adalah pembeli terbesar minyak sawit, disusul oleh China, Pakistan dan Mesir.

Tekanan Ekonomi Paska Larangan Ekspor

Sawit sendiri selama ini memberikan kontribusi yang cukup besar dalam perdagangan ekspor Indonesia. Sepanjang tahun 2021, sawit dan produk turunannya menyumbang US$35,5 miliar atau setara dengan 500 triliun rupiah lebih. Pendapatan itu kemudian menempatkannya sebagai salah satu produk utama penghasil devisa.

Bahkan Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Margo Yuwono pekan lalu mengumumkan adanya surplus perdagangan Indonesia senilai US$4,53miliar akibat kinerja ekspor yang tumbuh lebih tinggi yaitu 44,36 persen dibandingkan dengan impor yang sebesar 30,85 persen.

Margo mengungkapkan bahwa ekspor lemak dan minyak yang didominasi CPO mencapai US$3,07 miliar. Angka tersebut mengalami kenaikan sebesar 27 persen dari bulan Februari lalu.

Ekonom Bhima Yudhistira mengatakan bahwa Indonesia bisa kehilangan devisa sebesar Rp43 triliun dalam sebulan jika larangan ekspor CPO benar-benar dijalankan. Imbasnya adalah tekanan atau pelemahan tajam terhadap rupiah.

Hal ini sepertinya terbukti, dengan jebloknya rupiah melawan dolar AS sejak perdagangan Senin (25/04). Rupiah langsung jeblok ke level 0,55 persen begitu perdagangan dibuka. Nilai rupiah merosot ke 14.435/US$ di pasar. Penurunan tersebut merupakan yang terlemah sejak Desember 2021.

Selain akibat sentimen pasar komoditas, pelemahan rupiah dimungkinkan juga karena adanya kebijakan agresif The Fed untuk melandaikan tingkat inflasi di AS dengan suku bunga yang lebih agresif.

Akibat lain adalah turunnya harga tandan buah sawit (TBS) di tingkat petani. Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasi) menyebutkan penurunan bahkan mencapai 40 persen. Harga TBS sebelumnya di kisaran harga 3.000 rupiah setiap kilogram kemudian turun seketika hingga di bawah 2.000 rupiah.

Hal ini tentu menjadi dilema tersendiri bagi pemerintah, sebab ketergantungan pada ekspor komoditas berbasis sawit terlanjur mendominasi ekonomi Indonesia. Maka perlu ada kehati-hatian dalam menindaklanjuti kebijakan larangan ekspor tersebut agar tidak merugikan banyak pihak terutama pelaku ekonomi kecil seperti pekebun atau buruh kebun.[WID]