Yogyakarta pada tahun 1814 (foto:weaponsandwarfare.com)

Koran Sulindo –Berhasil mengalahkan Belanda di Jawa yang diakhiri dengan Kapitulasi Tuntang, Inggris masih punya pekerjaan rumah yakni mengalahkan kerajaan-kerajaan Jawa.

Di antara mereka yang paling ngotot adalah Kasultanan di Yogyakarta di bawah kepemimpinan Sultan Hamengkubuwono II. Ketika akhirnya Yogyakarta mulai diserbu pada 18 Juni 1812 keraton itu kalah.

Kejatuhan itu berbuntut penjarahan brutal tentara Inggris di Keraton. Sultan HB II harus merelakan semua senjatanya dilucuti tentara Inggris. Ia terpaksa menyerahkan keris, pedang dan cundrik pusakanya.

Bagi orang-orang Jawa, tentu saja itu peristiwa adalah aib terbesar. Hanya sekali dalam sejarah Jawa, istana yang menjadi lambang daulatnya kekuasaan diserbu, dirampok dan dihinakan tentara Eropa.

Disebut sebagai Geger Sepehi, karena dari 1.200 tentara Inggris hampir separonya merupakan tentara Sepoy dari India.

Baca juga: Baca juga: Invasion of Java, Inggris Bukan Lawan Sebanding Kompeni

Penyerahan yang diikuti pembuangan Sultan HB II pada awal Juli 1812 itulah yang penanda dimulainya penjarahan besar-besaran pada Keraton Yogyakarta.

Ingris merampas semua pusaka Keraton termasuk Kiai Paningset, Kiai Sangkelat, Kiai Urub, Kiai Jinggo, Kiai Gupito, Kiai Joko Piturun, dan Kiai Mesem. Mereka bahkan merampas kancing baju Sultan HB II yang terbuat dari berlian.

Meski kelak senjata-senjata pusaka itu dikembalikan saat penobatan Sultan HB III, pedang dan cundrik tak pernah kembali dan diberikan Thomas Stanford Raffles kepada Lord Minto di India.  Persembahan itu adalah bukti takluk Keraton Yogyakarta kepada Inggris.

Tak hanya senjata, Inggris juga menjarah gamelan, wayang, ribuan kitab-kitab sejarah Jawa, serta naskah-naskah daftar tanah. Bahkan dalam babad Bedhahing Ngayogyakarta tercatat pedati-pedati selama empat hari berturut-turut mengangkut harta rampasan itu ke kediaman Residen Yogya John Crawfurd.

Tak mau kalah dengan sang residen, sebagai letnan gubernur sekaligus panglima perang Raffles tak kalah maruk dalam menjarah. Diperkirakan ia merampok harta keraton senilai 200.000 hingga 1.200.000 dollar Spanyol.

Sedangkan tangan kanannya, Kolonel Rollo Gillespie, panglima perang Inggris di Jawa mengangkut 800.000 dolar Spanyol dengan 74.000 untuk dirinya sendiri sementara sisanya dibagi kepada perwira-perwira lain. Tak lupa, Gillespie juga menyisihkan 7.000 dollar Spanyol kepada Legiun Mangkunegaran pimpinan Pangeran Prang Wedana yang setia membantunya.

Babad Bedhahing Ngayogyokarta juga menyebut penjarahan tak hanya sebatas harta keraton saja. Serdadu Inggris merangsek ke keputren dan merampas semua perhiasan perempuan keraton termasuk melucuti pakaian dan perhiasan salah seorang istri resmi putra mahkota.

Menurut babad itu, bahkan seorang seorang perwira Inggris mati kena tikam ketika perempuan keraton ketika berniat membawanya harta rampasan perang.

Nasib paling buruk sebenarnya justru menimpa pustaka-pustaka keraton. Hingga saat ini mereka tak pernah kembali ke Jawa. Di antaranya termasuk 55 naskah yang dicuri Raffles yang sebagian diserahkan kepada Royal Asiatic Society pada tahun 1830.

Belum lagi yang ada pada Colin Mackenzie yang memiliki 66 naskah sedangkan John Crafurd yang merampas 45 naskah sebagian besar dijual kepada British Museum di tahun 1842.(TGU)