Gedung Indonesia Menggugat: Saksi Bisu Perjuangan Sukarno

Pembukaan Residentie-Gerecht Landraad tahun 1905. (Sumber: KITLV)

Perjuangan kemerdekaan Indonesia tidak hanya terekam dalam dokumen-dokumen sejarah, tetapi juga dapat ditemukan dalam bangunan-bangunan bersejarah yang masih berdiri hingga saat ini.

Salah satu bangunan yang memiliki peran signifikan dalam perjalanan sejarah tersebut adalah Gedung Indonesia Menggugat di Bandung. Bangunan ini bukan hanya saksi diam atas peristiwa penting yang melibatkan Sukarno dan rekan-rekannya, tetapi juga simbol perlawanan terhadap kolonialisme yang membangkitkan semangat nasionalisme.

Melansir laman kemdikbud, Gedung Indonesia Menggugat berlokasi di Jalan Perintis Kemerdekaan 5, Babakan Ciamis, Kecamatan Sumur Bandung. Gedung ini menjadi tempat berlangsungnya persidangan penting pada Agustus hingga Desember 1930, di mana Sukarno bersama anggota Partai Nasional Indonesia (PNI), Maskun Sumadireja, Gatot Mangkupraja, dan Supriadinata menghadapi tuntutan di pengadilan.

Kala itu, bangunan ini berfungsi sebagai landraad atau pengadilan tingkat pertama di bawah pemerintahan Hindia-Belanda. Mereka dituduh melanggar pasal-pasal yang dikenal sebagai de hatzaai artikelen atau pasal-pasal penyebar kebencian.

Awalnya, gedung ini dibangun pada tahun 1907 sebagai rumah tinggal dengan gaya arsitektur neo-klasik yang telah disesuaikan dengan kondisi tropis. Pada tahun 1917, bangunan tersebut direnovasi dan dialihfungsikan menjadi gedung pengadilan.

Jalan tempat gedung ini berdiri dahulu disebut Landraadweg. Karena awalnya difungsikan sebagai tempat tinggal, desain bangunan ini memiliki karakteristik berbeda dibandingkan kantor pemerintahan.

Dua ruangan di sisi kanan bangunan utama diyakini dahulu merupakan kamar utama, sementara dua ruangan di sisi kiri kemungkinan berfungsi sebagai ruang makan keluarga dan ruang tamu. Ketika gedung ini menjadi pengadilan, sebuah ruangan berukuran 3 x 6 meter digunakan untuk sidang Sukarno dan rekan-rekannya.

Persidangan berlangsung setiap hari Senin hingga Kamis, mulai 18 hingga 22 Desember 1930. Sukarno dan kawan-kawannya didakwa melanggar pasal 153, 169, dan 171 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, yang melarang tindakan yang dapat memicu kekacauan, mendorong perlawanan terhadap pemerintah, atau menyebarkan informasi palsu yang mengganggu ketertiban umum.

Pasal-pasal tersebut termasuk de hatzaai artikelen (pasal-pasal penyebar kebencian). Menurut pasal 153 perbuatan-perbuatan berbicara, menulis, baik yang dilakukan secara langsung maupun tidak langsung dikategorikan sebagai tindak pidana yang dapat mengakibatkan kekacauan dalam masyarakat.

Pasal 169 memuat larangan organisasi-organisasi yang menganjurkan para anggotanya menyerang pemerintah. Sementara pasal 171 berhubungan dengan laporan-laporan palsu yang dirancang dengan maksud mengacaukan ketentraman umum.

Di dalam pasal 153 juga meliputi segala macam kegiatan yang dapat dikategorikan sebagai tindakan melawan hukum. Dalam persidangan, mereka didampingi oleh tim pembela yang terdiri dari Mr. Sartono, Mr. Sastro Mulyono, Mr. Suyudi, dan Idi Prawiradiputra, seorang anggota Volksraad.

Meskipun Sukarno menyampaikan pembelaan luar biasa melalui pledoinya yang berjudul Indonesië klaagt aan (Indonesia Menggugat) pada 18 Agustus 1930, pembelaan tersebut tidak berhasil mengubah keputusan hakim.

Vonis hukuman dijatuhkan pada 22 Desember 1930 setelah 20 hari penyusunan keputusan setebal 66 halaman. Hakim memvonis Sukarno empat tahun penjara, Gatot Mangkupraja dua tahun, Maskun Sumadireja satu tahun delapan bulan, dan Supriadinata satu tahun tiga bulan. Keputusan tersebut dibacakan oleh ketua majelis hakim, Mr. R. Siegerbeek van Heukelom.

Saat ini, gedung bersejarah tersebut dikenal sebagai Gedung Indonesia Menggugat, nama yang diambil dari judul pledoi Sukarno dalam persidangan. Dalam pledoi tersebut, Sukarno mengkritik keras kondisi politik dunia dan penderitaan masyarakat Indonesia akibat penjajahan.

Gedung ini tidak hanya menjadi simbol perlawanan terhadap ketidakadilan, tetapi juga menjadi monumen penting yang mengingatkan kita akan semangat dan pengorbanan besar dalam perjuangan menuju kemerdekaan bangsa. [UN]