OPINI – Satu-dua bulan terakhir kita didera sebuah nama yang muncul ke permukaan media, Mulyono. Sebuah nama ‘ejekan’ untuk Presiden Joko Widodo (Jokowi). Nama kecil sebelum berganti Joko Widodo–sebuah ritual biasa di kalangan orang Jawa, biar anak tumbuh lebih baik, lebih sehat, dan harapan baik lainnya.
Mulyono menjadi icon baru untuk mengejek Jokowi, yang semula lebih sering dinamai ‘Mukidi’ merujuk nama olok-olok negatif. Ada juga nama ‘Raja Jawa’ yang merujuk pada Jokowi.
Apakah hal ini berpengaruh pada popularitas Jokowi dan keluarganya, tidak. Masyarakat hanya sekadar mengolok-olok belum sampai pada suatu agenda yang mengikis legitimasinya.
Olok-olok ini ditanggapi konsultan/tim media keluarga Jokowi dengan memakai si bungsu Kaesang Pangarep sebagai ujung tombak perlawanan. Kaesang memakai kaos bergambar siluet ‘Jokowi’ dengan tulisan ‘Putra Mulyono’. Ini perlawanan gaya pasemon, dunia semu, dunia main-main khas Jawa. Keluarga Jokowi tahu persis bagaimana memainkan emosi masyarakat Indonesia, mereka piawai di wilayah ini, selalu berperan sebagai korban (playing victim).
Kita masih ingat ketika masa kampanye pemilihan presiden, saat cawapres Gibran Rakabuming salah omong mengatakan ‘ibu hamil harus minum asam sulfat’, olok-olok ‘samsul’ segera membanjir karena keterbatasan pengetahuan Gibran.
Tim konsultannya segera menjawab semua olok-olok tersebut dengan pasemon (eufemisme) gaya Jawa, memakai kaos dengan sablon nama ‘Samsul’. Mereka tahan malu dan ndableg.
Mereka memakai kekuatan lawan sebagai bahan menangkal serangan.
Gaya perlawanan seperti ini menjadi trade mark keluarga Pak Jokowi, gaya sang bapak mungkin lebih halus. Ketika dulu diejek ‘plonga-plongo,’ Jokowi menanggapi dengan kalem, “aku rapapa.” Artinya, aku tidak apa-apa, tidak sakit hati. Seolah-olah dia ikhlas menerima kondisinya, sehingga serangan terhadap plonga-plongonya menjadi tawar.
Gaya politik seolah mengalah ini sering berhasil menuai dukungan, terutama dari masyarakat dengan budaya Jawa, tidak semua serangan harus dibalas dengan serangan, ngalah dhuwur wekasane (pada akhirnya yang mengalah lebih tinggi derajatnya). Ini laku politik yang pas pada pemilik suara dengan taraf pendidikan pas-pasan (rendah).
Gaya Trump sebagai pembanding
Sedikit berbeda, tapi bisa jadi pembanding, gaya berpolitik Donald Trump di masa kampanyenya untuk presiden Amerika hari-hari ini. Kita melihat segala cara dipakai Trump untuk muncul di semua lini. Apa saja tentang Trump selalu menjadi berita. Kaum liberal yang menjadi lawannya, senang membencinya. Kaum konservatif, khususnya kaum pinggiran yang kalah, senang dengan semua retorikanya yang tidak tahu adat, tidak ada sopan santun, dan menabrak semua norma dan nilai.
Trump berbohong hingga ‘level olimpiade’ sehingga media berhenti melakukan cek fakta atas kebohongan-kebohongannya itu. Ia menganjurkan kekerasan, sekalipun beberapa kali anjuran itu berbalik mengancam nyawanya.
Trump adalah wakil dari orang-orang Amerika yang frustasi (dan depresi) melihat keadaan dan nasibnya. Pendukungnya sebagian besar orang kulit putih yang berpendidikan rendah, umumnya hidup di pedesaan. Untuk penduduk “kelas bawah Amerika” ini, Trump adalah penyelamat, Sang Mesias. Mereka tidak peduli akan kebohongan dan bombastisnya ketika bicara.
Trump tahu persis tentang hal ini. Dan dia juga tahu persis bagaimana memainkannya di panggung kekuasaan. Dia seorang entertainer. Ada alasan mengapa Trump selalu berbohong, bombastis, dan tidak mau tunduk pada banyak aturan. Ia selalu ingin menjadi pusat perhatian.
Saat ini, Trump tahu bahwa dia mungkin akan kalah dari Kamala Harris. Namun, dia tahu persis cara membalikkan keadaan. Dia selalu mengucapkan sesuatu yang kontroversial, yang membikin pendukungnya bersorak kesenangan, dan musuhnya gemas hingga giginya menggerutuk. Tidak soal bagi Trump. Yang penting adalah dia jadi pusat perhatian.
Trump sangat mengantisipasi kritik. Ketika dikritik, dia bukannya akan mundur. Dia malah akan menambahi kebohongannya; ia akan menambah dosis kebencian itu; dan ia akan makin menyebarkan insinuasi jahat tentang orang yang memusuhinya.
Cara-cara berpolitik Trump ada kemiripan dengan cara Dinasti Jokowi, melawan kritik dengan memakai kritik tersebut sebagai senjata balik. Seolah mengaku kalah kemudian menusuk lawan dengan serangan balik.
Orang Indonesia jarang memakai kata-kata hiperbola. Orang Indonesia lebih suka ‘pasemon’ atau eufemisme, cenderung menghalus-haluskan yang keras dan kasar.
Kalau dikritik atau diserang, mereka akan menambah dosis kebohongan atau kebenciannya.
Contohnya Kaesang si ‘Putra Mulyono’ ini. Dia tahu persis bahwa Mulyono itu adalah nama olok-olok untuk bapaknya. Dia tahu persis bahwa dia diserang karena mendapat aneka ragam fasilitas karena dia anak Mulyono, yang kemudian sering diolok sebagai Raja Jawa. Dia bukannya malu atau menghindar dari olok-olok itu. Dia memakainya sebagai ‘lambang kebanggaan.’
Begitu juga Gibran dengan nama Samsul untuknya. Apakah dia malu dengan kesalahannya? Tidak. Dia memakainya sebagai kebanggaan. Seolah ingin mengatakan: Gua Samsul, lu mau apa? Gua Putra Mulyono lu mau apa?
Oleh para konsultan mereka, sikap ini diambil karena tahu persis psikologi orang Indonesia, Jawa pada khususnya, bahwa orang akan kasihan pada keikhlasan, kepasrahan yang tampak natural tersebut. Dengan berlaku seperti itu, keluarga ini juga tahu persis bahwa mereka tengah membangun sebuah barisan pendukung yang besar, yang terpisah dari para pengoloknya.
Mereka mengerti bahwa sebagian besar orang Indonesia adalah orang-orang sederhana, kategori bodoh, dan plonga-plongo. Mayoritas ini akan bersimpati kepada dirinya. Mereka akan melihatnya sebagai orang sederhana, mengalah sebagai korban serangan lawan.
Kita jadi paham Kaesang dengan percaya diri dengan mengenakan kaos “Putra Mulyono.” Dia tahu, si Raja Jawa, orang yang mencarikan dia pekerjaan dan karir, tetap populer. Orang-orang partainya juga tahu itu inilah cara paling ampuh melawan olok-olok Mulyono, dan serangan pada ketua umumnya tentang plesiran ke Amerika nebeng jet privat.
Jokowi tetap percaya diri. Di ujung masa kekuasannya dia kemana-mana, meresmikan apapun yang masih bisa diresmikan. Beras Bansos yang diimpor 2 juta ton akan cukup sampai masa pergantian presiden.
Dan para pengkritik Jokowi beserta keluarga besarnya tetap saja gregetan karena Jokowi sekeluarga bahkan tampak semakin pede.
Dinasti Jokowi memainkan politik perhatian dengan cara main-main, pasemon gaya Jawa. Mereka tahan malu dan ndableg. Mereka memainkan pasemon dengan sangat halus. Hal itu menyedot perhatian kalangan bawah dan menengah bawah – kelompok yang sangat berharap dapat bansos dan segala bantuan dari negara.
Meski masih ada satu hal yang belum secara efektif/belum berhasil dilakukan: yakni menunjukkan bahwa Dinasti Jokowi tidak serendah hati yang dipikirkan orang. Mereka tidak sesederhana yang diperkirakan orang. Istri dan anak mantunya masih sering tampak pamer kemewahan, pamer harta: tas, sepatu, perhiasan bermerek semua. Dan sebagian dari kemewahan itu terbukti adalah hasil ‘nebeng.’ [KS]