Garuda Rugi Hampir Rp3 Triliun Sepanjang 2017

Koran Sulindo – PT Garuda Indonesia Tbk merugi sepanjang 2017 lalu. Hingga kuartal III 2017, total pendapatan perusahaan tercatat hanya 3,2 juta dolar Amerika Serikat, sementara kerugian hingga 221,9 juta (sekitar Rp 3 triliun. Angka ini naik 408,7 persen jika dibandingkan kerugian pada periode yang sama tahun 2016 sebesar USD 43,6 juta.

Direktur Keuangan dan Manajemen Risiko Garuda Indonesia, Helmi Imam Satriyono, mengatakan pada kuartal I-2017, Garuda hanya mencatat kerugian sebesar 99,1 juta dolar AS. Beban finansial ini lantas dialihkan kepada Direktur Utama yang baru, Pahala Mansury. Namun kerugian malah terus membengkak di kuartal II tahun 2017 menjadi 184,7 juta dolar AS.

“Pada periode ini, Garuda Indonesia harus menanggung non recurring expense yang dikomposisi dari pembayaran tax amnesty sebesar USD 137 juta,” kata Helmi di Jakarta, Selasa (23/1).

Lebih separuh sebagian kerugian itu berasal dari pembayaran tebusan amnesti pajak. Selain itu, perseroan juga harus membayar denda atas kasus persaingan bisnis kargo dengan Australia sebesar USD 8 juta. Garuda didakwa melakukan kartel.

Pada 2014 lalu, Garuda juga mencatat rugi sebesar Rp4,8 triliun. Direktur Utama Garuda waktu itu, Arif Wibowo, mengatakan faktor utama yang berkontribusi pada rugi perseroan tahun lalu adalah dari biaya sewa pesawat. Banyaknya pesawat baru yang datang membuat kapasitas kursi meningkat, tetapi tidak dibarengi dengan peningkatan penjualan.

Menurutnya, rental cost berkontribusi rata-rata sekitar 28% terhadap total biaya yang dikeluarkan perseroan. Sedangkan, kenaikan harga avtur sebesar 2% year-on-year pada tahun lalu hanya berkontribusi 12% terhadap total biaya.

Dikelola Orang yang tak Tahu Bisnis Penerbangan

Sebelumnya, Asosiasi Pilot Garuda menyatakan di tubuh maskapai itu juga terjadi salah urus dalam pengelolaan awak pesawat.

“Garuda ini dikelola oleh orang yang tidak tahu `airline business` akhirnya tidak bisa mengelola SDM dengan baik. Kalau orang Garuda yang tahu masalah penerbangan, mungkin tidak seperti ini,” kata Presiden Asosiasi Pilot Garuda (APG) Bintang Hardiono, di Jakarta, Selasa (23/1/2018), seperti dikutip antaranews.com.

Sistem baru dikeluhkan karena pengaturan dan pergantian jadwal kerja awak pesawat mengganggu operasional penerbangan sehingga mengakibatkan seringnya penundaan “delay” keberangkatan pesawat.

Sistem lama yang menggunakan Crewlink, diganti menjadi Sabre pada 2 Desember lalu, bertepatan dengan “peak season” (puncak liburan). Akibatnya, banyak pesawat yang delay.

“Kami merasa malu terhadap pelayanan penumpang. Ujung dari permasalahan ketika Garuda terjadi `delay`pada Desember. Itu membuat kami seluruh penerbang merasa resah,” katanya.

Sistem Sabre diklaim dapat menyempurnakan pelacakan pesawat, kontrol dan pencegahan gangguan serta operasi manajemen awak kabin.

Namun Ketua Umum Serikat Pekerja Garuda Indonesia (Sekarga) Ahmad Irfan mengatakan sistem Sabre tersebut belum sempurna tapi lamgsung dioperasikan.

“Kalau sistem lama, penerbangannya `cancel` maka krunya terlihat tidak bergerak. Ini pesawatnya tidak bergerak, krunya bergerak sehingga jadwalnya berantakan,” kata Ahmad. [DAS]